Nicolaus Dau (48) tengah melepas beberapa bola lampu listrik dari papan panel yang terpasang di dinding rumahnya. Ada 60 titik pasang untuk bola lampu di papan tersebut. Sebagian bola lampu pada papan panel tersebut menyala redup dan lainnya padam.
”Yang sudah padam ini tandanya daya baterainya terisi penuh,” ucap Nicolaus kepada Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas, 7 Juli 2019, di rumahnya di Desa Delo, Kecamatan Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Puluhan bola lampu itu adalah milik para tetangga Nicolaus di Desa Delo. Di rumah itulah tersedia layanan isi ulang tenaga baterai bola lampu listrik tersebut. Ongkos isi ulangnya hingga penuh sebesar Rp 2.000 untuk setiap bola lampu.
”Butuh waktu 8 jam sampai 10 jam agar baterai lampu terisi penuh. Apabila daya penuh, lampu ini bisa dipakai selama dua minggu untuk pemakaian yang wajar pada malam hari,” ujar Nicolaus.
Lampu-lampu itu adalah lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE) dari Hivos, lembaga internasional yang berpartisipasi dalam proyek pengembangan energi terbarukan di Sumba, yang disalurkan kepada warga Desa Delo pada 2016.
Nicolaus, bersama istrinya, Margaretha Katoda (45), adalah mitra Hivos untuk mengelola kios energi, sebuah program dalam proyek TERANG yang digagas Hivos di Sumba. Sumber listrik untuk kios energi berasal dari panel tenaga surya.
Sebenarnya, di Desa Delo bukannya tak ada aliran listrik. Pada 2016, jaringan listrik PLN sudah ada di desa itu. Hanya saja, kerapnya pemadaman listrik membuat warga di sana masih membutuhkan bola lampu LTSHE sebagai penerangan tambahan. Bahkan, bola-bola lampu Nicolaus juga disewakan seharga Rp 5.000 per bola lampu per malam.
”Biasanya, warga yang punya hajatan di rumah yang kerap menyewa bola lampu ini,” ucap Margaretha.
Hivos adalah salah satu lembaga internasional yang terlibat dalam Program Sumba Iconic Island yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sejak 2015. Program itu menetapkan Pulau Sumba sebagai pulau ikonis untuk energi terbarukan. Selain Hivos, ada pula lembaga lain bernama Resco (Renewable Energy Service Company). Resco bertugas sebagai penyedia layanan jasa perbaikan dan pemasangan LTSHE yang dibagikan Hivos.
Sinyal internet
Tak hanya menjual daya lampu, Nicolaus dan Margaretha juga menyediakan jasa penjualan paket data internet bagi warga. Sinyal seluler di Desa Delo hanya bisa untuk berkirim pesan atau melakukan panggilan. Pasangan ini menjual paket data mulai dari harga Rp 5.000 untuk data 30 megabyte hingga Rp 30.000 untuk data 250 megabyte.
”Alat-alat pemancar sinyal seluler merupakan bantuan dari Hivos dan Resco. Kami hanya sebagai mitra,” ucap Margaretha.
Keberadaan sinyal internet menarik minat pemuda-pemudi di Desa Delo dan sekitarnya. Tampak empat pemuda dan pemudi berusia 20-an tahun tak melepaskan tatapan mata mereka dari layar komputer jinjing di atas pangkuan masing-masing. Duduk di atas kursi plastik, mereka sibuk mengerjakan sesuatu dari layar komputernya. Salah satu dari mereka mengaku sedang mengunduh bahan tugas kuliah.
”Saya sedang mencari bahan jurnal untuk tugas kuliah,” ujar Yosep Giovani Da’o (20), mahasiswa Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Komputer (Stimikom) Stella Maris Sumba.
Usaha jual beli energi bagi pasangan Nicolaus dan Margaretha memberi berkah luar biasa. Pendapatan mereka, termasuk penjualan dari toko kelontong, berkisar Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta per hari atau melonjak berkali lipat dari sebelumnya. Hampir tiga tahun menjalankan bisnis tersebut, keduanya mampu membeli dua bidang tanah yang disiapkan untuk empat anak mereka.
Urusan listrik, Sumba memang tak seberuntung Jawa dan beberapa wilayah lain di Indonesia. Rasio elektrifikasi di Nusa Tenggara Timur masih 72 persen. Rasio elektrifikasi adalah perbandingan jumlah penduduk yang mendapat akses terhadap listrik dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Angka 72 persen itu merupakan yang terendah di Indonesia. (NIT/LUK)