Cengkeh menjadi penanda sejarah, sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat Sulawesi Utara, khususnya Minahasa. Cengkeh menjadi sumber kebahagiaan serta sumber keuntungan dan kemakmuran pada dekade 1970-an. Romantika cengkeh Minahasa berakhir dengan kesedihan, petani yang semula disembah-sembah kini hidup melarat.
Udara dingin diikuti angin sedikit kencang menyergap tubuh pada petang awal Agustus ketika kami mengunjungi Desa Kolongan Atas, Kecamatan Sonder, Kabupaten Minahasa, sentra cengkeh Minahasa. Letak desa itu sekitar 40 kilometer arah selatan Manado. Suasana desa tampak sepi.
Rein Tumilaar (60), petani cengkeh di desa itu, menyebutkan, sebagian warga belum pulang dari kebun, sebagian juga masih bekerja di kantor di Manado, Tomohon, dan Tondano yang melakukan perjalanan komuter setiap hari dengan jarak tempuh puluhan kilometer.
”Mereka tidak lagi berkebun. Bekerja menjadi pegawai negeri sipil lebih menjamin kehidupan daripada bergantung pada cengkeh,” katanya. Rein merupakan pensiunan dari sebuah kantor pemerintah di Manado.
Masa panen cengkeh sangat dipengaruhi cuaca sehingga warga mencari pekerjaan tetap. ”Sekarang saja tidak ada panen, musim hujan yang turun sejak Januari membuat buah cengkeh jatuh,” ujarnya.
Menyusuri jalan masuk desa beraspal hotmix dengan lebar 10 meter, tampak deretan rumah-rumah besar berhadap-hadapan terkesan mewah. Halaman rumah terlihat lapang berlantai semen, dulunya digunakan untuk menjemur cengkeh.
Meski rumah tampak kosong dengan dinding cat terkelupas, Rein bercerita tentang kekayaan para pemilik rumah, petani cengkeh, pada tahun 1970-an.
”Dulu, rumah ini dipenuhi mobil Hardtop. Mereka beli kulkas untuk menaruh pakaian, padahal ketika itu listrik terbatas. Di sini kami pernah pesta makan minum tanpa air putih. Untuk cuci tangan saja pakai bir,” cerita Rein.
Pesta sesudah masa panen itu kini dikenal dengan acara hari pengucapan, thanksgiving day. Seluruh warga menyiapkan makanan untuk tamu yang datang dari Manado.
Perayaan hari pengucapan dengan pesta kini menjadi budaya masyarakat setempat medio Juli-Agustus. Seperti terlihat pekan lalu ketika hari pengucapan Minahasa digelar, hampir seluruh jalanan macet. Jarak 5 kilometer harus ditempuh selama enam jam.
”Cengkeh telah mengajar petani untuk selalu bersyukur. Meski tidak panen juga, kami tetap bersyukur,” ucapnya.
Ibarat kapal oleng
Petani ibarat kapal oleng. Sedikit saja ombak menyapu, kapal terjungkal ke dasar laut. Ini akibat mentalitas agraris tidak bisa dijembatani dengan konsep pasar modern. Alhasil, konservatisme petani membuat mereka mustahil mengikuti kemajuan.
Bonanza cengkeh menjadikan Kabupaten Minahasa tahun 1970-an sebagai daerah paling makmur di Indonesia. Harga cengkeh waktu itu Rp 1.100, sedangkan harga beras Rp 25. Tahun itu harga sebuah mobil Hardtop atau Datsun dapat ditukar dengan 800 kilogram cengkeh kering. Perdagangan barter memang kerap terjadi. Petani disembah-sembah pengusaha untuk menjual atau menukar cengkeh dengan barang produksinya.
Pengusaha mobil Soebronto Laras pernah bercerita, produksinya laris manis di Minahasa setiap kali panen cengkeh pada 1970 hingga akhir 1980. Mobil-mobil diangkut ke sejumlah sentra cengkeh Tomohon, Sonder, dan Kombi. ”Mobil dibayar pakai cengkeh,” ujarnya.
Grup band legendaris Koes Plus pun bercerita tentang petani Minahasa melalui lagu ”Diana Putri Paman Petani” ketika mereka berada di Tomohon.
Sejarawan Universitas Sam Ratulangi, Raymond Mawikere, mengatakan, bonanza cengkeh Minahasa tahun 1970-an hingga 1980 mengubah kultur masyarakat Minahasa dari hidup efisien dan tertindas menjadi boros. Sikap konsumtif petani menjadi makanan empuk pedagang.
Dekadensi kehidupan dialami masyarakat Minahasa, yang terjadi sejak abad ke-17, melalui tanaman perkebunan. Dari semula tanaman massal kopi, kemudian abad ke-18 padi ladang, abad ke-19 kopra, dan pertengahan abad ke-20 cengkeh.
Pada masa kolonial, Belanda mewajibkan model tanam paksa, seluruh warga menanam kopi di seluruh wilayah Minahasa dengan mandor didatangkan dari Priangan, Jawa Barat. Kopi pernah menjadi tanaman unggulan dengan harga tinggi, melebihi harga kopi Nusantara. Harga kopi Minahasa mencapai 16 gulden, sedangkan kopi daerah lain sekitar 4 gulden.
Akan tetapi, Belanda melarang warga untuk mengonsumsi dan menjual kopi yang mereka tanam. Apabila ditemukan warga menjual kopi, para mandor Priangan siap menghukum dengan cara mengikat diri petani di perkebunan selama berhari-hari. ”Siapa bilang Belanda menganakemaskan orang Minahasa. Tanaman kopi mendatangkan trauma warga Minahasa,” ujarnya.
Itulah sebabnya, tanaman perkebunan di Minahasa cepat bermetafora, berganti ketika datang tanaman baru. Setelah kopi, lalu beras dan kelapa yang memang sudah tumbuh di wilayah selatan Minahasa. Perdagangan beras dari Minahasa dapat ditelusuri melalui kegiatan ekspor dari Pelabuhan Kema, Minahasa Utara.
Memasuki pertengahan abad ke-20, tanaman cengkeh yang dibawa dari Maluku Utara ditanam secara massal oleh warga Minahasa. Sisa-sisa pohon kopi dibabat, kemudian diganti cengkeh. Tanaman cengkeh tumbuh subur dalam waktu relatif pendek, 5-10 tahun. Buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara tahun 1978 menulis, cengkeh di Minahasa mulai ditanam tahun 1878. Tahun 1940 cengkeh yang ditanam mencapai 300.000 pohon.
Menurut Raymond, ketika cengkeh berbuah lebat di Minahasa, di Pulau Jawa berkembang industri rokok kretek yang sebagian bahan bakunya berasal dari cengkeh. Di sinilah cengkeh Minahasa bagai madu yang menjadi rebutan.
”Aroma dan kualitas cengkeh Minahasa yang bertumbuh di daerah pegunungan ternyata lebih baik dari produksi Maluku Utara untuk dicampur sebagai bahan baku rokok kretek,” katanya.
Dalam catatan Ishak Salim tentang cengkeh di Minahasa, ”emas coklat” telah menggerakkan ekonomi tidak hanya pemilik kebun cengkeh, tetapi juga buruh tani, pemetik, tukang pemisah bunga dari tangkainya, pemungut cengkeh, penjemur, juru masak, mandor kelompok, mandor kerja, pencari ulat, sampai sopir angkut.
Di Minahasa, dengan total area lahan cengkeh produktif 15.357 hektar, dapat menyerap tenaga kerja 460.710 orang. Angka ini melebihi jumlah penduduk Minahasa sekitar 200.000 orang.
Harga cengkeh tetap stabil, hingga tahun 1978 tetap menguntungkan petani ketika Gubernur Sulawesi Utara Willy Lasut menetapkan harga penjualan cengkeh di seantero Sulawesi Utara. Kebijakan itu harus dibayar dengan pencopotan dirinya oleh pemerintah Soeharto.
Jatuh bangun harga cengkeh ditandai dengan melaratnya kehidupan petani memasuki dekade 1990-an, ketika pemerintah melakukan intervensi kebijakan harga dan pembelian yang dikenal dengan tata niaga cengkeh. Cengkeh impor masuk bebas dengan tujuan ekonomi pengusaha.
Tahun 1992, harga beli cengkeh di kalangan petani sebesar Rp 7.500. Harga itu sudah termasuk dana penyertaan masyarakat sebesar Rp 2.000 dan dana simpanan wajib khusus petani Rp 1.500. Jadi, petani hanya memperoleh harga Rp 4.000. Akan tetapi, yang terjadi, pembelian di tingkat petani hanya Rp 2.500 per kilogram.
Dosen antropologi Universitas Sam Ratulangi, Albert Kusen, menyebutkan, kebijakan tata niaga ini mengubah pola hidup dan perilaku masyarakat Minahasa. Kebijakan itu dinilai ekstrem karena telah menikam martabat masyarakat dari berpendidikan menjadi pengangguran.
”Banyak anak-anak tidak sekolah. Kebun cengkeh ditebang dan dijadikan kayu bakar yang dinilai lebih menguntungkan,” ujarnya.
Beruntung ketika Soeharto lengser, diikuti dengan pembubaran Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), Presiden Abdurrahman Wahid melakukan kebijakan drastis menahan laju impor. Kebijakan itu membuat harga cengkeh pun melambung tinggi, mencapai Rp 70.000 per kilogram, ketika itu harga emas sekitar Rp 80.000 gram.
Presiden Abdurrahman Wahid saat berkuasa tahun 1999-2001 dikenang sebagai pahlawan oleh petani cengkeh Minahasa. Harga cengkeh, yang terpuruk hingga Rp 2.000 kilogram pada era BPPC tahun 1979, tahun 2001 secara mendadak melonjak. Sebab, dengan menjual 1 kilogram cengkeh, petani mampu membeli 30-35 kilogram beras kualitas medium.
Perilaku petani cengkeh Sulut saat itu sudah berbeda jauh dengan perilaku petani pada 1970 hingga 1990-an yang cenderung konsumtif. Petani semakin cerdas mengatur pola konsumsi dan mengendalikan penjualan. Pada umumnya, petani tidak mau lagi mengulangi kesalahan masa lalu yang melakukan konsumsi jorjoran. (JEAN RIZAL LAYUCK)