Kompas/Frans Sarong

Pangan

Ekspedisi Jejak Peradaban NTT: Madu Didapat, Hutan Terjaga

·sekitar 5 menit baca

Jarum arloji masih menunjukkan pukul 05.00. Tetua Noebesi, Theofilus Taimenas (72), bersama sekelompok warga setengah baya bergegas menuju kawasan hutan Nunsulat, tempat lebah bersarang di bagian hulu kampung. Mereka hendak memanen madu hutan.

Sejumlah perlengkapan, seperti tali, tan (wadah penampung madu) atau ember, suni (pisau khusus penyayat sarang lebah) dibawanya. Selepas mulut kampung, perjalanan harus menerobos semak. Sambil berjalan, sejumlah warga yang berperan sebagai meo oni (tentara atau pasukan pemanen) sibuk mengumpulkan ranting kering secukupnya. Ranting kering itu dibalut ilalang basah agar jika dibakar dapat mengepulkan asap tebal. Ini merupakan senjata ampuh untuk menghalau kawanan lebah.

Setiba di kaki pohon ankai, tempat lebah bersarang, Theofilus Taimenas bersama empat pasukan pemanen (meo oni), Dominggus Mona, Iner Akase, Yohanes Pit Ai, dan Yus Tanaob, langsung membakar unggun semak. Asap tebal pun mengepul di udara.

Mereka mengawali kegiatan panen madu dengan doa mistis yang disebut afua. Ketika Theofilus melantunkan lagu hi ho. el kam tani yang bersyair bahasa Dawan, pasukan meo oni pun mulai memanjat pohon.

Lagu itu terus dilantunkan selama panen berlangsung. Tujuannya, membujuk kawanan lebah agar tidak berubah menjadi ganas serta merelakan madunya diambil. Kawanan lebah juga diharapkan tetap kembali bersarang di pohon yang sama selepas madu diambil.

Para meo oni memanjat pohon ankai tanpa rasa takut. Tanpa tali pengaman, mereka merangkak cepat menjelajahi cabang pohon sampai ujung dahan di ketinggian 25-30 meter dengan menggenggam ranting berbalut ilalang yang dibakar dan wadah penampung di punggung. Sungguh menantang maut dan membuat jantung berdebar. Apalagi pohon tempat lebah bersarang itu tumbuh di tepi tebing terjal.

“Tidak apa-apa! Para meo oni sudah terlatih memanen madu sejak usia belasan tahun. Jika secara adat benar, pasukan pemanjat menjadi kuat tetap dalam lindungan leluhur,” tutur Ronny Tamelab, Kepala Desa Noebesi.

Suasana mendebarkan juga terjadi pada panen madu pohon taopih (jati hutan) di kawasan Wimlen. Ayub Titu Eki, Bupati Kabupaten Kupang, yang juga pemangku hak ulayat kawasan Lelogama (Kupang) hingga Noebesi dan sejumlah desa lain di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), memimpin upacara.

Begitu pasukan pemanen menjangkau sarang yang dikerubuti lebah, ribuan lebah pun tumpah ke tanah. Kawanan lebah itu lalu terbang memencar, sebagian bahkan menabrak pengunjung di sekitarnya. Karena sudah diingatkan sebelumnya, para pengunjung tidak panik dan tetap tenang sehingga kawanan lebah tidak menyerang, tetapi terbang menjauh.

Para tetua, Zakarias Pit Ai,Theofilus Taimenas, dan Bernadus Mono, yakin jika tidak ada pelanggaran adat, maka panen madu berjalan lancar. Warga setempat umumnya sangat taat pada hak ulayat yang dimiliki setiap suku. Mereka juga harus melakukan nakete (pembersihan diri) sebelum terlibat dalam pemanenan. “Kegiatan ini menuntut kejujuran dan pembersihan diri. Jika menyisakan noda secara moral, risiko paling sederhana akan disengat lebah,” kata tetua adat, Zakarias Pit Ai (73).

Hingga kini, madu hutan menjadi sandaran utama ekonomi keluarga di Desa Noebesi dan sekitarnya di Kabupaten TTS, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Hutan terjaga

Tradisi ini masih terus terjaga karena kearifan yang mereka miliki. Rata-rata warga kawasan Gunung Mutis dan sekitarnya di Pulau Timor tahu benar jenis pohon dan rerumputan pendukung siklus kehidupan lebah, dan mereka pun dengan baik menjaganya.

Luas kawasan Gunung Mutis sekitar 90.000 hektar. Kawasan Mutis 12.000 hektar dan hutan lindung Timau (78.000 hektar). Sejak tahun 1974, kawasan ini ditetapkan sebagai hutan negara. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 89/Kpts/II/1983, statusnya berubah menjadi Cagar Alam.

Noebesi termasuk satu dari 14 desa dalam kawasan Cagar Alam Mutis. Desa Tutem, Liliana, Nunbena, Fatumnasi, Tune, Bonleu, Nenas, dan Nuapin masuk wilayah Kabupaten TTS, sedangkan Neopesu, Tasinifu, Noekake A, Noekake B, dan Noelelo masuk wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).

Ketika Tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT mengunjungi Noebesi dan sekitarnya, lingkungan di sana umumnya relatif terjaga. Jenis pohon hue (kayu putih) tumbuh luas di kawasan itu seperti tidak tersentuh aksi penebangan atau pembakaran hutan.

Warga di sana sadar benar bahwa lebah sangat takut pada asap api. Pembakaran saat berkebun atau di kawasan hutan bisa berakibat fatal. Jika kawanan lebah lari atau pindah sarang di lokasi lain, maka sumber penghasilan warga dari madu hutan bisa berkurang, bahkan hilang.

Alfonsus Saman (27), seorang warga Desa Noebesi, sangat lancar memerinci jenis pohon yang biasa menjadi tempat lebah bersarang. Pohon itu, antara lain, angkai, kabesak, bonak, nitas, hue, taopih (jati hutan), kusambi, kapuk hutan, dan ampupu.

Karena itu, saat membuka kebun baru, mereka tidak mau menebang jenis pohon pendukung siklus lebah. Mereka juga menghindari pola tebas bakar.

Selama perjalanan juga amat jarang menyaksikan kepulan asap dari pembakaran kebun atau kawasan hutan. Pemandangan seperti itu amat berbeda saat berkunjung ke kawasan lain di Kabupaten TTS, TTU, Belu, Kupang, Kota Kupang, dan sejumlah kabupaten di Flores dan Sumba.

Kepala Desa Noebesi, Ronny Tamelab, sangat yakin, warga desanya yang berjumlah 1.293 orang atau 298 keluarga itu memiliki kesadaran menjaga kelestarian lingkungan karena mereka sadar jika kehidupan keluarga bersumber dari madu hutan.

Karena kesadaran itu pula warga Noebesi dan sekitarnya, belasan tahun lalu, menolak proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) menyentuh kawasan desa mereka. Proyek itu mengawali kegiatan dengan menebang berbagai jenis pohon lokal.

Madu yang dihasilkan dari Desa Noebesi mencapai 15-20 ton per tahun. Namun, nilai ekonomisnya masih sangat rendah. Harga jualnya hanya Rp 10.000 per liter. Namun, di Kupang harga madu itu Rp 50.000 per botol (0,75 liter).

Warga Noebesi atau Kecamatan Numbena masih kesulitan memasarkan madunya ke daerah perkotaan karena masih terisolasi. Letak desa ini dari Soe (kota Kabupaten TTS) sekitar 70 kilometer, sedangkan dari Takari, Kabupaten Kupang, sekitar 90 km. Sebagian besar jalanan masih berupa jalan rintisan awal. Di beberapa titik selain menanjak terjal, juga bertikungan tajam dan hanya bisa dilalui mobil bergardan ganda.

Kalau saja infrastruktur jalan makin memadai, hasil panen madu Noebesi dan sekitarnya bisa mendongkrak ekonomi mereka. Sudah saatnya mereka dijaga kebutuhan ekonominya. Karena tanpa mereka, Cagar Alam Mutis bakal jauh berbeda.

Artikel Lainnya