KOMPAS/FRANS SARONG

Suku Lowa dalam lingkungan etnis Rongga di Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, masih setia menjaga jala pusaka yang disebut ramba. Penebaran jala itu menandai dimulainya ritual kebhu , yaitu penangkapan ikan secara massal dalam kolam dangkal dan buntu di muara Nangarawa, Desa Bamo, yang digelar lima tahun sekali.

Pangan

Ritual “Kebhu”: Memanen Ikan Menjaga Harmoni

·sekitar 4 menit baca

Ritual kebhu adalah ritual memanen ikan dan biota lain dalam kolam muara buntu yang dilakukan secara massal untuk memupuk kebersamaan. Ritual ini salah satunya dilakukan suku Lowa di lingkungan etnis Rongga di Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Pulau Flores.

Penangkapan berlangsung di sebuah limbu (kolam) bernama Tiwu Lea. Kolam itu merupakan muara Sungai Waerawa di Nangarawa, Desa Bamo, yang berlokasi sekitar 18 km arah selatan Kisol atau 27 km dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur.

Sebulan sebelum hari-H, tetua suku Lowa-kini dijabat Donatus Jimung (30)-mengirim utusan ke sejumlah kampung dan desa. Dia mengundang warga kampung lain untuk ikut memanen ikan atau lazim disebut kremo di Tiwu Lea.

Menangkap ikan di Tiwu Lea hanya boleh dilakukan dengan tangan kosong. Peserta dilarang menggunakan pukat (jaring) ataupun alat tangkap dari besi, seperti tombak atau trisula.

Kalaupun ada alat tangkap hanya berupa ndai, sejenis jaring dorong dengan dua tongkat kayu di dua sisi. Ikan yang berhasil mereka tangkap langsung dimasukkan ke dalam mbere, wadah penampung dari anyaman daun lontar, pandan, atau gewang (sebangsa palem).

Pantangan lain, peserta dilarang emosional, apalagi bersikap menghasut saat kremo. Yang paling diharamkan adalah meneriakkan nada-nada provokasi, seperti hia-hia-hia, yang bisa membuat orang terprovokasi dan saling berebut menangkap ikan. Warga juga dilarang menggigit hasil tangkapannya sebelum dimasukkan ke dalam mbere.

Begitu pantangan dilanggar, tetua pemilik kebhu langsung menebarkan jala pusaka bernama ramba ke dalam kolam sebelum waktunya. Kegiatan kremo pun segera dihentikan. Warga yang mencoba melanjutkan kegiatan dalam kolam akan sia-sia karena ikan dan biota lain akan langsung menghilang.

Rangkaian ritual

Kegiatan kremo diawali dengan serangkaian ritual adat, yang disebut eko ramba, tunu manu, dan nazho. Ritual eko ramba wujudnya berupa penggendongan ramba (jala pusaka) dari ulunua (hulu kampung) di Muting menuju eko nua (hilir kampung) di Nangarawa, dekat tepi kolam Tiwu Lea. Prosesi eko ramba disertai kelong (nyanyian mistis).

“Oru lau mbawu oru lau, renggo ika rele lia…,” begitu syair kelong. Mereka memohon kepada leluhur agar menghalau mbawu, ikan belanak yang mendominasi kolam muara, belut, dan berbagai biota lain supaya keluar dari lia (sarang) menuju kolam Tiwu Lea.

Penggendongan ramba hanya dilakukan oleh wanita dewasa yang masih berstatus anggota suku Lowa yang belum menikah. Boleh juga wanita yang sudah menikah, tetapi dipastikan kawin masuk (menjadi anggota suku).

Prosesi eko ramba berlangsung sejauh lebih-kurang 1,5 km, berujung di kaki nangge (pohon asam) di Nangarawa. Kaki pohon asam itu konon pernah mati, tetapi hidup kembali.

Prosesi dilanjutkan dengan ritual tunu manu, yaitu pemotongan ayam kurban. Sebagian darah ayam dioleskan ke permukaan batu sesajen dan sebagian lain dioleskan pada ramba.

Jala pusaka selanjutnya diserahkan kepada tetua yang akan memimpin kremo. Kegiatan dimulai setelah sang tetua menebarkan ramba ke kolam. Penebaran didahului lima kali ancang-ancang (nazho). Tetua juga menebarkan jawa pena (jagung titi) ke kolam.

Dari kegiatan itu, tetua langsung memberi tanda-tanda yang mengisyaratkan apakah kremo akan mendapatkan hasil tangkapan memuaskan atau mengecewakan.

“Kalau ikan-ikan langsung datang menyerbu, itu pertanda baik. Pertanda kurang memuaskan kalau tidak banyak ikan yang datang menyambut ramba atau jawa pena,” kata Nikolaus Gelang, tetua etnis Rongga asal Desa Watu Nggene, tetangga Bamo.

Ramba tidak dimanfaatkan untuk menangkap ikan. Setelah ditebar untuk mengawali kegiatan kremo, jala pusaka disimpan di rumah induk Suku Lowa di Muting dan dikeluarkan saat kebhu berikutnya.

Harmoni masyarakat

Tradisi kebhu dilakukan sekali dalam lima tahun. Ahli waris utama suku Lowa, Donatus Jimung, dan sejumlah tetua di Muting menyebutkan, kebhu terakhir berlangsung tahun 2007. Waktu pelaksanaannya biasanya pada bulan September atau Oktober selama sehari penuh.

Selain keputusan leluhur, ada juga fenomena alam yang mendukung tenggang waktu lima tahun itu. Berdasarkan kesaksian masyarakat sekitar, hanya sekali dalam lima tahun kolam muara Tiwu Lea mengalami kebuntuan atau tidak tersambung langsung ke laut. Berbagai biota yang terjebak dalam kolam buntu itu menjadi harta milik Suku Lowa, tetapi dipanen secara bersama oleh ribuan warga sekitarnya.

Penekun budaya etnis Rongga, Yohanes Nani, di Lekeng-salah satu anak kampung Kelurahan Tanah Rata-memaknai tradisi kebhu sebagai bukti kuat kalau etnis itu pada waktu lampau adalah masyarakat bahari.

“Dewasa ini memang amat jarang ada warga etnis Rongga yang menggantungkan hidup dari laut selain tradisi kebhu yang tetap dipertahankan,” kata pensiunan guru SD itu.

Ritual kebhu sesungguhnya mengusung pesan luhur agar manusia tidak serakah terhadap rezeki yang didapat. Pesan lain adalah mendorong kehidupan bersama secara harmonis tanpa dibatasi sekat suku atau perbedaan lain. (FRANS SARONG)

Artikel Lainnya