Oleh: Machradin Wahyudi Ritonga
Ragam program rehabilitasi lingkungan di sekitar Waduk Cirata tidak hanya berguna untuk meningkatkan kesejahteraan warga. Pemberdayaan masyarakat ini juga diharapkan bisa menjaga lingkungan waduk tetap ramah bagi pembangkit listrik dan warga di sekitarnya.
Salah satu ancaman yang berada di perairan waduk Cirata ini adalah masifnya pertumbuhan eceng gondok. Tumbuhan ini menutupi sebagian permukaan waduk. Keberadaannya menyulitkan gerak perahu nelayan, mengurangi tangkapan oksigen di air, hingga menghambat lancarnya pasokan listrik Jawa-Bali.
Akan tetapi, bagi Duduy Abdullah (61), warga Kampung Cipeundeuy, Desa Cipeundeuy, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, keberadaan eceng gondok ini bisa menghasilkan keuntungan dengan kerajinan tangan. Tidak hanya bagi dirinya sendiri, kerajinan eceng gondok ini juga diajarkan kepada puluhan warga lainnya sehingga menambah pintu rejeki bagi mereka.
Salah satunya Elis (27), ibu rumah tangga dari Desa Ciharashas, Kecamatan Cipeundeuy. Dia menyisihkan waktu 4-5 jam dalam sehari untuk mengerjakan kerajinan tangan dari eceng gondok bersama yang lainnya. Di masa pandemi, pekerjaan itu pun tidak lantas terhenti karena produksi bisa dilaksanakan di rumah masing-masing.
“Setiap bulan, saya bisa mendapatkan sekitar Rp 300.000-Rp 400.000. Sekarang ini masih mengerjakan beberapa produk dan bisa dikerjakan di rumah. Setidaknya bisa menambah penghasilan untuk membantu suami,” ujar Elis saat ditemui di rumah Duduy.
Selain Elis, tampak tiga warga lainnya tengah menganyam eceng gondok yang kering setelah dijemur selama beberapa hari. Berbagai produk kerajinan eceng gondok yang didominasi warna cokelat muda ala daun kering memenuhi separuh ruangan berukuran sekitar 3 meter x 5 meter.
Kilau matahari, Jumat (24/9/2021) memantul ke sebagian produk anyaman menghasilkan warna keemasan yang diamati Duduy. Tangannya cekatan mengambil sejumlah produk yang terpajang untuk memeriksa anyaman dan detail lainnya.
“Sebagian besar produk yang kami buat ini pesanan dari luar kota, seperti Yogyakarta, Bandung, atau Singaparna. Dari sana mereka menjual, bahkan mengekspor ke negara lainnya. Karena itu, kualitas barang perlu diperhatikan,” ujarnya.
Saat ini ada 70-an warga yang ikut menjadi pengrajin. Sementara itu, lanjut Duduy, dia menyuplai eceng gondok kering kepada pengrajin. Produk tetap terjual hingga ratusan barang barang per bulan dan sebagian besar berupa hiasan untuk dekorasi rumah seperti placemet atau tatakan hingga tikar anyaman.
“Saya mulai ikut tahun 2010 bersama beberapa orang, tetapi tinggal saya yang bertahan. Sempat berhenti, lalu mulai lagi Tahun 2014. Saya juga mengajak warga lainnya, terutama yang butuh penghasilan tambahan untuk keluarga mereka,” ujarnya.
Duduy berujar, pemberdayaan warga melalui pelatihan kerajinan tangan berbahan dasar eceng gondok ini bisa meningkatkan penghasilan. Bahkan, dalam beberapa bulan sekali, mereka bisa mendapatkan pesanan lebih dari Rp 20 juta.
Dalam sebulan Duduy membutuhkan hingga 8 ton eceng gondok. Jadi, aktivitas ini juga setidaknya mengurangi eceng gondok yang dianggap mengganggu kehidupan di sekitar Waduk Cirata.
“Selain membantu keluarga prasejahtera, kerajinan ini juga mengurangi jumah eceng gondok di waduk. Biasanya kami membeli dari nelayan jadi bisa menambah penghasilan mereka. Eceng gondok juga sering mengganggu nelayan sehingga mereka juga bersedia untuk mengambilnya,” ujar Duduy.
Supervisor Waduk, Hidrologi, dan Sedimentasi PT PJB Unit Pembangkitan (UP) Cirata Faris Al Rasyid menyatakan, tutupan eceng gondok di Waduk Cirata mencapai 400 hektar. Karena itu, pemanfaatan eceng gondok untuk kerajinan tangan memperlihatkan kontribusi masyarakat dalam mengurangi tumbuhan air tersebut.
“Posisi paling banyak itu berada di area masuk dari Sungai Citarum. Biasanya saat musim hujan eceng gondok bisa lebih banyak dari hulu. Tumbuhan ini mengganggu nelayan hingga berdampak pada kualitas air di waduk,” ujarnya.
Sedimentasi
Selain eceng gondok, sedimentasi juga menjadi permasalahan yang dialami waduk. Faris menjelaskan, volume waduk berkurang hingga 300 juta meter kubik air akibat endapan berbagai material di dasar waduk, di antaranya dari aktivitas keramba jaring apung (KJA) di sekitar waduk.
“Terakhir pengukuran tahun 2017, volume air di Waduk Cirata 1,7 miliar meter kubik air. Kapasitas ini berkurang dari daya volume tampung pada awal operasional yang mencapai 2 miliar kubik di tahun 1988. Aktivitas KJA yang berlebihan diduga menjadi salah satu penyebabnya,” papar Faris.
Aktivitas berlebihan ini bisa dilihat dari jumlah KJA yang melebihi kapasitas. Menurut Faris, jumlah KJA yang terdata pada tahun 2019 mencapai 98.000 lebih. Padahal, jumlah yang dianjurkan beroperasi hanya 12.000-an KJA.
“Memang selain KJA, ada faktor lain seperti kualitas air dari hulu yang juga masih tercemar. Tetapi, kapasitas kami hanya memastikan kualitas air di sekitar waduk, dan keberadaan KJA yang berlebihan ini memengaruhi sedimentasi dan air,” ujarnya.
Akan tetapi, penertiban KJA ini terhambat kondisi sosial di masyarakat. Ribuan masyarakat di sekitar waduk menggantungkan hidup dari sektor ini. Menurut Faris, penertiban secara paksa dapat berdampak pada kehidupan warga. Karena itu, alih mata pencaharian diupayakan kepada warga hingga saat ini.
Bersama masyarakat
Assistent Officer CSR dan Umum PT PJB Unit Pembangkitan Cirata Aziz Bachtiar Cendikiawan menjelaskan, perusahaan berupaya memberikan edukasi dan pelatihan kepada warga untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Pengolahan eceng gondok hingga budidaya ikan dengan menggunakan sistem bioflok. Bioflok adalah metode budidaya memanfaatkan mikroorganisme berupa probiotik yang bisa menjadi pakan tambahan sekaligus meminimalkan limbah yang dihasilkan.
Untuk bioflok, Aziz menyatakan, perkembangannya masih dalam tahap sosialiasi dan edukasi kepada masyarakat sekitar waduk. Sistem ini bekerja dengan mengolah limbah budi daya menjadi gumpalan-gumpalan kecil sehingga bermanfaat sebagai makanan alami ikan.
Sistem bioflok ini tidak menggunakan lahan yang luas sehingga bisa diaplikasikan bagi warga di sekitar waduk. Karena itu, budidaya ini diharapkan bisa menarik minat masyarakat dan mau beralih dari KJA ke budidaya ikan di darat.
“Warga yang ikut pelatihan sekitar 30-40 orang. Semua diambil dari 10-13 desa di Kecamatan Maniis, Purwakarta dan Kecamatan Cipeundeuy, Bandung Barat. Warga yang mendapatkan edukasi ini nantinya akan berbagi ilmu dengan yang lainnya sehingga mereka memiliki alternatif penghasilan tambahan,” ujarnya.
Dengan berbagai pelatihan dan edukasi, diharapkan kualitas air di Waduk Cirata menjadi semakin baik dan tidak tercemar. Tidak hanya berguna untuk menjaga kondisi pembangkit listrik dan infrastruktur penunjang lainnya, kondisi waduk yang asri memberikan kehidupan yang nyaman bagi masyarakat di sekitarnya.