Sungai adalah sejarah Kalimantan yang ditinggalkan. Dan jalan darat menjadi tumpuan untuk masa depan. Menyusuri jarak 3.195 kilometer, perjalanan ini adalah untuk melongok masa depan itu.
Masa depan yang awalnya dibangun oleh perusahaan kayu dengan menghancurkan hutan hujan tropis ini menyisakan jejak jalan yang mengular. Itulah jalan trans-Kalimantan.
Dari Kampung Sungai Ular, titik darat terujung di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan Negara Bagian Sabah, Malaysia, perjalanan menjelajahi trans-Kalimantan poros selatan dimulai, Kamis (5/2).
Di beranda negeri itu, kami bertemu keluarga Solle (35) di rumahnya yang dikelilingi kebun sawit milik pengusaha Malaysia, perkebunan yang tanam di lahan bekas hutan yang dibabat lima tahun lalu.
Di depan rumah itu terpancang dua pengumuman, papan kecil menyebutkan tanah itu milik Solle, sedangkan yang lebih besar menyebutkan tanah itu milik perusahaan sawit.
“Tiga hari lalu bayi saya lahir. Saya sendirian membantu kelahiran. Tak ada bidan di sini,” kata Solle yang memotong sendiri tali plasenta bayinya. Kota terdekat adalah Nunukan yang harus ditempuh dengan perahu selama lebih dari satu jam dan berbiaya sewa Rp 1 juta. Atau, tujuh jam bermobil menuju Kota Malinau melalui jalan hancur yang hanya bisa ditempuh oleh mobil gardan ganda.
Keterisolasian identik dengan desa-desa yang berdekatan dengan Sungai Ular, seperti Kanduangan dan Simanggaris. Sulitnya akses membuat harga barang mahal. Warga bergantung pada pasokan barang dari Sabah yang jaraknya lebih dekat.
Melewati jalan mirip kubangan kerbau, kami tiba di ibu kota Kabupaten Malinau. Kemegahan kantor bupati dan gedung DPRD kontras dengan rumah-rumah warga yang lapuk. Gedung pemerintahan yang megah, seperti di Malinau, merupakan pemandangan yang selalu dijumpai di sepanjang jalan hingga ke Kalimantan Barat.
Kami melintasi jalan baru itu. Lapang dan mulus, berujung persis di depan Kantor Bupati Malinau. Selebihnya, perjalanan menuju Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, harus melalui jalan tanah yang hancur.
Pada sebuah bukit, malam terang bulan. Saiful (29), sopir truk pengangkut bibit karet dari Banjarmasin, bergelut dengan lumpur yang menjebak roda truknya. Seminggu di jalan telah mematikan separuh bibit karet yang dibawanya, menguras tenaga dan uangnya.
Jalan itu menjadi kuburan bagi truk-truk. Itulah akar masalah dari mandeknya ekonomi rakyat di pedalaman, melambungnya harga kebutuhan bahan pokok, dan membuat warga tak bisa menjual hasil bumi.
Di jalan berlumpur itu, kami berpapasan dengan konvoi truk tangki minyak sawit mentah (CPO). Badan truk itu juga memenuhi jalan yang lebarnya hanya 4,5 meter. Konvoi dikawal alat berat milik perusahaan sawit untuk mengeluarkan salah satu truk tangki yang terjebak di lumpur. Dua personel tentara mengawal konvoi itu, meminta kendaraan lain menepi.
“Alat-alat berat dan tentara itu hanya peduli pada kelancaran lalu lintas truk tangki CPO,” kata Khaeruddin, pengendara kendaraan pribadi yang sudah semalaman terjebak di jalan, sekitar 47 km dari Tanjung Redeb. “Sepekan ini sedikitnya 370 kendaraan juga tertahan di sini karena terhalang truk sawit yang terperosok. Ada yang telah tertahan seminggu,” katanya.
Memasuki Bontang menjelang dini hari. Kota yang dibangun tambang gas itu menyala terang. Namun, nyala cahaya hanya seputaran kota. Begitu ke pinggir kota, rumah-rumah warga kembali dibekap gelap. Kota-kota di Kalimantan defisit listrik. Kegelapan meraja hingga kami tiba di Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur.
Kami memasuki Kalimantan Selatan dari arah Batulicin saat senja. Pekerja proyek perbaikan jalan berpacu dengan truk-truk pengangkut batu bara dan truk raksasa pengangkut alat berat perusahaan tambang.
Dari kayu ke sawit
Siang itu terik, Nanyang (45) berjalan di tepi jalan sambil menutup mulut dan hidungnya dengan kedua tangan dari debu yang beterbangan ketika mobil melintas jalan trans-Kalimantan di Kabupaten Lamandau, Kalteng. Dia berjalan pulang dari ladang. Tangkin-tas khas Dayak yang diikatkan pada kepala-dipenuhi sayuran dan umbi talas.
Sepanjang hidup, Nanyang tak pernah naik mobil. Dia adalah petani yang bepergian dengan jalan kaki atau naik perahu ke kampung-kampung tetangga. Jalan darat itu bukan milik dia. Begitu sejak dulu.
Berpuluh tahun dia menjadi saksi alat-alat berat dan truk yang lewat di depan rumahnya menuju hutan adat yang sudah diserahkan negara kepada pengusaha kayu. Truk-truk itu membawa pergi kayu-kayu melalui jalan itu, meninggalkan semak dan ladang kosong menghampar. Meninggalkan sungai yang kini mengering dan keruh.
Sungai yang ditinggalkan adalah sejarah yang dicampakkan. Jalan darat bagi masyarakat Kalimantan pada masa lalu hanyalah batang kayu bertumbangan. Jalan darat yang dapat dilalui mobil baru dibangun di Kalimantan oleh perusahaan kayu pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH) pada dekade 1970-an. Izin HPH pertama diperoleh perusahaan Amerika, Weyerhaeuser dan Georgia-Pacific, yang lantas berkolaborasi dengan pengusaha nasional yang ditunjuk rezim Orde Baru. Lahirlah raja-raja kayu yang mengukir jejak jalan kayu (log) di bumi Kalimantan.
Sedikitnya 75 persen bekas jalan-jalan kayu itu kini menjadi jalan trans-Kalimantan poros selatan yang memanjang dari Sungai Ular, Nunukan, hingga Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, yang kami capai pada Rabu (18/2). (FUL/CAS/BRO/WHY)