Apa pun masakannya, pasti geneplah bumbunya. Itulah yang mempersatukan cita rasa masakan bali: basa genep!
Putu Supadma Rudana punya acara rutin pada setiap menjelang hari raya Galungan. Ia bersama puluhan karyawan Museum Rudana Ubud mengadakan mebat (masak bersama) dua hari sebelum Galungan tiba, Senin (25/3), di halaman belakang museum.
Bertindak selaku pengatur ”irama” mebat adalah Nyoman Muka (75). Bersama beberapa karyawan, ia meracik bumbu dari bahan-bahan dasar seperti bawang merah dan putih, jahe, laos, kencur, kunyit, sereh, cabai rawit, kemiri, serta berbagai jenis rempah-rempah. ”Ya, bumbu bali semua seperti ini umumnya. Semua lengkap, ramai pokoknya,” kata Muka.
Di Bali belahan barat sayuran yang dipakai biasanya pisang batu muda atau tempurung kelapa muda (klungah).
Pagi itu, Muka bersama para karyawan membuat beberapa jenis lawar. Menu ini terbuat dari sayuran yang ”mandiri” seperti nangka atau pepaya muda, bisa juga kacang panjang atau daun singkong.
”Jenis sayuran ini yang umum digunakan di Bali tengahan,” kata Supadma. Di Bali belahan barat sayuran yang dipakai biasanya pisang batu muda atau tempurung kelapa muda (klungah). Sayur-sayuran ini biasanya diberi daging cincang dan kelapa bakar yang diparut.
Para karyawan Museum Rudana juga membuat sate lilit, komoh, tum, dan sate daging. ”Bumbu sate lilit, komoh, tum, dan lawar serupa,” kata Supadma. Setelah disajikan sebagai persembahan di Pura Merajan milik museum, para karyawan makan bersama. Bahkan, mereka membawa seperangkat menu ke rumah masing-masing.
Boleh dikata, hampir semua masakan bali menggunakan bumbu yang diracik oleh Muka dan para karyawan museum. Namanya basa genep atau bumbu genep. Apa pun masakannya, mulai lawar, sate lilit, hingga ayam/bebek betutu, basageneplah bumbunya. Itulah bumbu dasar yang memberi cita rasa khas pada semua masakan bali.
Di dalamnya ada 15 jenis bahan yang digunakan termasuk salam, sereh, kemiri, dan jeruk limau. Jika bumbu dasar itu ditambah dengan basa wangi yang terdiri atas aneka rempah seperti merica, pala, jinten, kayu manis, jeruk purut, dan lempuyang, terciptalah basa gede atau bumbu besar. Bumbu besar terdiri dari 29 jenis bumbu, termasuk kemenyan. Biasanya digunakan untuk memasak hidangan.
Boleh dicoba seperti apa aroma dan rasanya sebuah masakan menggunakan begitu banyak bumbu. Menu seperti lawar, didominasi rasa pedas dan sedikit asin, sama sekali tidak terkecap rasa manis dari gula merah.
Uniknya, rasa pedas-asin itu kemudian berpadu dengan kekayaan aroma rempah yang menggigit. Anda mungkin harus siap-siap meneguk air setiap menyantap lawar….
Dalam skala rumah tangga, bumbu genap biasanya dibuat sekaligus untuk beberapa hari. Itulah yang biasa dilakukan Ni Nyoman Loten (74), warga Negara, Jembrana. Saat-saat tertentu, ia meracik bumbu genep dan menumisnya agar bisa ta-han lama. Jika ingin memasak, ia tinggal mengambil seperlunya sebagai bahan dasar. Awal April lalu, sehari menjelang hari raya Kuningan, ia membuat lawar klungah yang berbahan tempurung kelapa muda.
Klungah direbus, diiris tipis-tipis, dan diperas airnya. Selanjutnya diaduk bersama bumbu genep dan parutan kelapa bakar dengan menggunakan tangan telanjang. Terakhir, Loten menaburkan bawang merah dan bawang putih goreng serta meneteskan sedikit air jeruk purut. Rasa klungah yang sedikit sepat berpadu dengan bumbu genep yang tajam dan daging ayam nan gurih.
Menurut dia, tradisi membuat lawar klungah di Bali barat muncul dari keinginan memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan yang ada dan tumbuh di Jembrana. ”Bahkan, di sini juga ada lawar dari pisang batu muda dan bongol pisang yang tidak ada di daerah lain,” kata Loten.
Cita rasa dewa
Sejak kapan orang Bali mengenalnya? Guru Besar Sejarah Universitas Udayana AA Bagus Wirawan memperkirakan, bumbu genep ada sejak zaman Bali kuno.
”Di lontar bumbu genep tercatat dengan istilah usabe. Kalau merujuk periodisasi sejarah Bali, tradisi menulis (lontar) telah ada sejak orang Bali mengenal (sistem pertanian) Subak 2.000 tahun yang lalu. Sebelumnya, (usabe) mungkin sudah ada, tetapi tidak tercatat,” ujar Bagus.
Guru Besar Sejarah Universitas Udayana AA Bagus Wirawan memperkirakan, bumbu genep ada sejak zaman Bali kuno
Pada periode itu, Bali diperkirakan telah menjalin hubungan dengan bangsa lain termasuk India. Hal itu, antara lain, dibuktikan dengan temuan arkeologis di Gilimanuk dan Sembiran berupa pecahan gerabah dengan huruf Kharoshthi atau Brahmi. Awal kontak Bali dan India diduga akibat adanya perdagangan cengkeh yang berasal dari daerah Maluku dan kayu cendana dari Sumba dan Timor.
Dengan demikian, Bali masuk dalam rute perdagangan yang menghubungkan Indonesia bagian barat dan timur. (Ardika, Parimartha, Wirawan, 2013)
Di Museum Manusia Purba Gilimanuk sampai sekarang tersimpan beberapa peninggalan berupa alat-alat memasak dari gerabah. Alat-alat itu berupa periuk yang kemungkinan besar digunakan sebagai wadah memasak air serta makanan seperti jenis-jenis kerang laut.
Menurut Abdul Hamid, juru pelihara Museum Manusia Purba Gilimanuk, pada zaman manusia Gilimanuk hidup, 2.000 tahun lalu, sudah dikenal api. Diperkirakan saat itu manusia purba sudah mengenal kebiasaan masak-memasak.
Sejak abad ke-15, Bali masuk dalam jaringan perdagangan Asia. Para pedagang Jawa membawa beras, garam yang dapat ditukar dengan hasil bumi di daerah lain seperti lada dari Sumatera, rempah-rempah dari Maluku, kayu cendana dari Timor, dan kapas dari Bali. Pada abad ke-17, Bali juga terkenal sebagai tempat perdagangan budak selain hasil pertanian dan hutan.
Diperkirakan rempah-rempah masuk lewat jalur perdagangan Nusantara yang sejak dahulu dipenuhi kapal-kapal pembawa rempah dari wilayah timur seperti Maluku.
Guru Besar Antropologi Universitas Udayana I Wayan Geriya menduga, hubungan perdagangan memberi pengaruh pada cita rasa basa gede. ”Bahan bumbu berupa umbi-umbian seperti kencur, kunyit, dan laos tumbuh di Bali. Akan tetapi, rempah seperti jinten, lada, ketumbar, cengkeh, dan pala tidak tumbuh di Bali. Bahan-bahan itu kemungkinan dikenal orang Bali karena perdagangan,” ujar Geriya.
Meskipun begitu, lanjut Geriya, sampai sekarang belum ada penelitian tentang itu. ”Jadi, hipotesis sementara adalah cita rasa masakan Bali muncul dari kearifan lokal,” tambah Geriya.
Dalam buku Sejarah Bali (AA Bagus Wirawan dkk), bahan-bahan bumbu seperti cabai, bawang merah, bawang putih, laos, kencur, kunyit, dan jahe sudah dibudidayakan sejak abad ke-9, berdasarkan informasi Prasasti Pura Batur Abang A. Namun, rempah-rempah seperti pala, merica, dan cengkeh tidak ada di Bali. Diperkirakan rempah-rempah masuk lewat jalur perdagangan Nusantara yang sejak dahulu dipenuhi kapal-kapal pembawa rempah dari wilayah timur seperti Maluku.
Apa pun kata orang, kebanyakan orang Bali sendiri meyakini bumbu bermula dan berasal dari dewa. Begitulah yang tersirat dalam Wirata Parwa. Syahdan, Pandawa bertapa (yoga semadhi) agar dianugerahi kekuatan rasa.
Doa itu dikabulkan para dewa. Dewa memberikan rasa asin pada Yudistira, putra pertama Pandawa. Putra Pandawa lainnya, Bima, Arjuna, dan Nakula, masing-masing diberi rasa sepat, pahit, dan pedas. Si bungsu Sahadewa diberi rasa manis, sedangkan Dewi Drupadi diberi anugerahi rasa asam.
Rasa asin mewujud menjadi kencur, sepat mewujud laos, pahit mewujud kunyit, pedas mewujud jahe, manis mewujud bawang merah-bawang putih, asam mewujud jeruk limau.
Setelah semuanya disatukan dalam ukuran pas dan diolah dengan rasa bahagia, terciptakan cita rasa bumbu bali nan sedap.
(Budi Suwarna/ Benny D Koestanto/ Putu Fajar Arcana)