KOMPAS/RIZA FATHONI

Seorang "mancagera" menata sajen untuk upacara ritual, Kamis (28/3/13), di Negara, Jembrana, Bali. Mancagera bukan juru masak biasa. Dia harus bisa memberikan energi spiritual pada makanan yang ia masak.

Bali

”Mancagera”, Bukan Sekadar Juru Masak

·sekitar 5 menit baca

Pernikahan bukan hal sederhana. Dalam terminologi tradisi, peristiwa ini bisa melibatkan segenap elemen adat, termasuk mancagera, kalau di Bali. Mancagera bukan sekadar chef atau kepala juru masak, ia juga harus menguasai seluk-beluk penyajian makanan persembahan kepada para dewa.

Seorang mancagera seperti I Wayan Desen (52) dari Tempek Kantiluwih, Banjar Pekan, Desa Lelateng, Negara, Jembrana, Bali, tidak pernah dipilih. Ia lahir dari proses tradisi empiris yang panjang. Begitu juga dengan para mantan mancagera, seperti I Ketut Beratha (62), I Komang Suwena (63), I Wayan Duka (53), dan Pekak Mangku Dangka (94).

Pada akhir Maret 2013, Desen bertugas di rumah I Ketut Derka yang sedang menikahkan anak keduanya. Dalam upacara pernikahan itu, Derka tak hanya berkewajiban menyiapkan banten (sesaji) khusus untuk pawiwahan (pernikahan), meminta pengesahan dari bendesa adat (kepala desa adat), tapi juga meminta urun tenaga dan pemikiran dari rukun warga banjar.

Mancagera bukan sekadar chef atau kepala juru masak, ia juga harus menguasai seluk-beluk penyajian makanan persembahan kepada para dewa.

Kepala Tempek Kantiluwih Putu Darma (50) menuturkan, semua warga lelaki dan perempuan yang berjumlah 90 keluarga wajib membantu pelaksanaan upacara di rumah Derka. ”Namun, biasanya yang aktif sekitar 76 orang, itu sepasang suami dan istri,” katanya.

Tugas mancagera, kata Desen, sudah dimulai ketika tenda-tenda untuk persiapan upacara pernikahan didirikan. ”Tak hanya memasak, tetapi juga seluruh pekerjaan untuk pelaksanaan upacara. Boleh dikata, kita ini dirigennya,” kata Desen.

Menurut rohaniwan Hindu, Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda dari Griya Mumbulsari, Serongga, Gianyar, tugas mancagera dibagi dalam dua bagian. Pertama, harus menguasai wilayah spiritual. Dia harus mengerti sarana dan bentuk penyajian makanan persembahan.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Sesaji yang akan dipersembahkan saat perayaan Kuningan di Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, Jumat (5/4/2013).

Kedua, dia harus memiliki manajemen pengolahan makanan yang baik. Pada fungsi kedua ini, tambah Acharyananda, seorang mancagera bertindak seperti chef dalam terminologi modern. ”Ia harus bisa mengomando warga banjar untuk pelaksanaan mebat atau memasak bersama,” katanya.

Tugas seorang mancagera dalam dimensi spiritual juga sangat penting. Seorang mancagera seperti I Ketut Sangka (70) dari Banjar Batuyang, Batubulan, Gianyar, misalnya, sangat mengerti elemen sesajen yang harus dibuat dan dipersembahkan menjelang hari raya Galungan. Sehari menjelang Galungan, Sangka menjadi pemimpin di keluarga Ketut Sumadi untuk mebat. Selain meracik bumbu yang disebut basa genep, Sangka juga bertugas membuat menu seperti lawar, sate, dan komoh, yang akan disajikan sebagai banten perangkat.

Bahkan, setelah daging dipotong-potong, ia harus membagi daging untuk sesajian bernama bakaran. ”Bakaran biasanya cuma berupa potongan jeroan atau darah dan garam, lalu disajikan di atas daun kecil-kecil. Ini berfungsi mohon permisi kepada kekuatan Semesta berupa Bhuta agar merestui acara mebat,” kata Ketut Sumadi, yang sehari-hari sebagai dosen di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.

Tarikan spiritual

Tarikan dimensi spiritual yang bahkan berbau gaib sangat keras pada saat-saat seorang mancagera menjalankan tugas. ”Kalau mancagera salah, ada konsekuensi di wilayah magis. Bisa saja masakannya mudah basi atau tidak pernah matang…” ujar Acharyananda.

Mantan mancagera, I Ketut Beratha, bercerita. Ia pernah lupa menghaturkan bakaran sebelum memulai tugas. ”Akhirnya menggodok daging untuk keperluan sate bunga saja sampai berjam-jam tidak empuk,” katanya.

Begitupun sesudah selesai memasak, seorang mancagera harus mengingatkan para ”petugasnya” untuk menyiapkan banten bernama saiban. Di beberapa tempat, saiban diistilahkan dengan ngejot. Saiban juga disajikan di atas potongan daun pisang yang berisi beberapa menu, seperti lawar, lauk-pauk, garam, dan nasi. ”Pokoknya apa pun yang sudah selesai dimasak. Itu jumlahnya bisa ratusan lembar. Kemudian dihaturkan ke beberapa tempat suci atau yang berkategori sakral seperti dapur (api), sumur (air), dan pekarangan (tanah),” tutur Beratha.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Sesaji yang akan dipersembahkan saat perayaan Kuningan di Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, Jumat (5/4/2013).

Seorang mancagera, kata Pekak Mangku Dangka, tidak pernah dididik untuk mengukur seberapa banyak jumlah jahe, kencur, atau laos dalam satu tugas meracik bumbu. ”Rasa itu bukan di lidah, tetapi pada tangan,” kata juru masak sepuh ini. Pengalamanlah yang akan memberi rasa pada tangan seorang mancagera.

Sesepuh dan penasihat spiritual Museum Rudana, Ubud, I Nyoman Muka (75), yang menggelar mebat dua hari sebelum Galungan, mengatakan, seluruh elemen adat di Bali lebih banyak berkembang berdasarkan empiris. ”Tidak ada pelajaran formal untuk menjadi mancagera walaupun ia harus rajin membuka lontar yang berisi aturan tentang bebantenan, seperti Dharma Caruban, misalnya,” katanya. Pengalaman itu, katanya, seperti petunjuk praktis.

”Meracik basa genep bukan sesuatu yang eksak, tetapi itu didapatkan dari belajar langsung. Terkadang merasakan di lidah itu nomor kesekian, sebelumnya di tangan dan penciuman,” kata Muka. Biasanya, saat selesai meracik basa genep yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, laos, jahe, kencur, kunyit, sereh, merica hitam dan putih, lada, pala, cengkeh, cabai rawit, cabai bun, bangle, jinten, gula merah, terasi, dan garam, seorang mancagera menghirup racikan bumbunya. ”Ada satu aroma dalam penciumannya kalau bumbu itu dirasa bakalan enak,” ujar Muka.

Rasa itu bukan di lidah, tetapi pada tangan

Presiden Direktur Museum Rudana Putu Supadma Rudana mengatakan, mancagera punya posisi terhormat di masyarakat adat. ”Mereka mumpuni secara keterampilan dan spiritual,” katanya seusai menggelar acara mebat di halaman museum.

Desen sendiri, selaku peracik bumbu, mengaku tak pernah belajar menakar komposisi elemen basa genep secara khusus. Prinsipnya, katanya, seluruh elemen bumbu terkecap dalam racikan. ”Setelah beraroma harum karena digoreng sedikit, boleh dicicipi dengan lidah. Biasanya sih pada tahap itu paling kurang cabai atau garam,” katanya.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Mebat
Aktivitas merajang bumbu dan memasak bareng di Negara, Jembrana, Bali.

Hampir seluruh bumbu bali bercikal-bakal dari basa genep. Bumbu ini ibarat bumbu dasar yang bisa digunakan untuk memasak berbagai menu, dari lawar beraneka ragam, komoh (kuah kaldu berdaging), sate lilit, sampai tum (sejenis pepes yang dikukus). Bumbu ini baru ”diistirahatkan” untuk jenis masakan jamuan undangan, seperti babi kecap, sate daging, dan mi goreng.

Begitulah cakupan tugas seorang mancagera, lebih luas dari sekadar chef dalam pengertian kontemporer. Ia seperti meracik segala jenis berkah yang tumbuh di alam, untuk kemudian mempersembahkannya kepada Semesta dan manusia. Dalam dimensi yang mencakup hal-hal yang transenden dan imanen ini, lidah kita seperti mengecap kelimpahan berkah dengan penuh takzim….

(Putu Fajar Arcana/ Benny D Koestanto)

Artikel Lainnya