KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Warga Timor-Leste menyeberangi Sungai Malibaka setelah berbelanja berbagai barang kebutuhan di pasar perbatasan di Kampung Turiskain, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Jumat (4/8). Sungai ini merupakan batas negara yang menjadi akses warga perbatasan kedua negara untuk menyeberang lintas negara, terutama untuk mengunjungi keluarga yang kini dipisahkan batas negara.

Liputan Kompas Nasional

Nasionalisme Setengah Mati di Tanah Timor * Jelajah Tapal Batas

·sekitar 4 menit baca

Tujuh belas tahun berlalu sejak ”Bumi Lorosae” memisahkan diri dari Indonesia. Selama itu pula, warga eks Timor Timur hidup di tengah keterbatasan dan minimnya kehadiran negara. Namun, rasa bangga dan memiliki Tanah Air seolah tidak tergerus waktu. Di mata mereka,Indonesia masih harga mati meski negara belum membalas sepenuh hati.

Di ruang tengah, Afia Maria (19) duduk menghadap ”senjatanya” selama tiga tahun terakhir. Telaten, gadis yang hanya bersekolah hingga kelas III SD ini menyigi rangkaian benang di sebuah alat tenun sederhana.

”Sebentar sore sudah jadi. Bisa dijual di pasar,” ujar bungsu dari 10 bersaudara ini.

Marcus Leki Z (75), ayah Afia, duduk dengan tenang di kursi tua. Petani ubi ini sudah tidak mampu bekerja lebih giat karena kesehatannya yang menurun di usia yang tidak lagi muda.

”Kalau ubi untuk makan saja, tidak dijual,” kata Marcus terbata-bata. Meski telah 18 tahun meninggalkan Kecamatan Atsabe, Kabupaten Ermera, bahasa Indonesianya belum begitu lancar. Saat ini, wilayah tersebut masuk dalam bagian Timor-Leste. Lima anak Marcus masih berada di Timor-Leste. Lima lainnya ikut bersamanya.

Marcus hanya tertawa saat ditanya apakah bangga menjadi warga Indonesia. Antara tidak mengerti dan memang sengaja.

Marcus dan keluarga menetap di RW 003, Desa Kabuna, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di lingkungan tersebut, ada 82 rumah dengan total 190 keluarga. Saat referendum pemisahan Timor Timur dari Indonesia tahun 1999, mereka memilih bergabung dengan Indonesia, meninggalkan tanah, rumah, dan harta bendanya.

Dengan mengumpulkan uang Rp 500.000 dari tiap-tiap kepala keluarga, mereka lalu patungan membeli tanah berukuran 190 meter x 160 meter setelah sekitar 5 tahun tinggal di pengungsian. Di kemudian hari, mereka juga secara swadaya membangun jaringan listrik. Hampir semua warga adalah petani, baik di ladang sendiri maupun di ladang orang lain.

Meski dengan keadaan seperti itu, menurut Ketua RW 003 Paulus Gomes, secara pribadi dia selalu bangga memilih Indonesia. Hal ini karena situasi sekarang aman dan tidak ada gangguan. ”Kalau air su ada, api su ada, cukup itu. Dulu susah sekali,” kata Paulus.

Hal senada diungkapkan Elisabeth Kefi, warga Desa Napan, yang dulunya berasal dari Oekusi. Saat ini, Oekusi bagian dari Timor-Leste. ”Saya suka Indonesia. Kami hidup di sini, mati di sini juga. Kami cinta Merah Putih,” kata ibu tiga anak ini di rumahnya yang berlantai tanah. Elisabeth mengatakan, selama 18 tahun, sangat sedikit bantuan yang dia peroleh.

Setengah hati

Berdasarkan laporan dari Global Report 2000 oleh Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), jumlah warga asal Timor Timur (Timtim) yang mengungsi ke wilayah NTT, Indonesia, setelah penentuan pendapat pemisahan diri Timtim dari Indonesia pada 1999, diperkirakan 290.000 orang. Kini, di Kabupaten Belu, NTT, saja terdapat 13.400 keluarga eks Timtim.

Setelah pernyataan penghentian status pengungsi dari UNHCR pada 2002, pemerintah pusat ikut menghentikan program bantuan khusus bagi warga pengungsi eks Timtim. Sejak saat itu, nasib kesejahteraan warga eks Timtim diserahkan kepada pemerintah provinsi. Kucuran bantuan tidak selalu mulus mengingat NTT adalah salah satu provinsi miskin dengan banyak kebutuhan di luar tanggung jawab mengurus warga eks Timtim.

Pemerintah sudah berganti sebanyak empat kali, tetapi pendekatan kucuran bantuan tetap dinilai tidak menyentuh akar persoalan dan kebutuhan warga eks Timtim. Solusi perumahan dan permukiman resettlement yang ditawarkan pemerintah sejak tahap perencanaan tak disosialisasikan kepada warga dan hanya berorientasi jangka pendek.

”Ibarat dokter, untuk mendiagnosis sakit, pasti bertanya kepada pasien dulu keluhannya apa. Setelah itu baru tahu apa tindakan yang tepat. Yang dilakukan pemerintah ini kebalikannya. Ujung-ujungnya menjawab masalah dengan persoalan karena tidak dengan hati,” kata Ketua Umum Uni Timor Aswain Eurico Guterres.

Kesejahteraan

Dalam laporan ”Timor Leste: Reconciliation and Return from Indonesia” yang dikeluarkan International Crisis Group, disebutkan bahwa faktor pendorong pulangnya warga eks Timtim di Indonesia ke Timor-Leste semakin bertambah dari tahun ke tahun. Salah satu faktor penyebab adalah kesejahteraan yang tidak terjamin bagi mereka yang bertahan di Indonesia.

Kepala Dinas Sosial NTT Willem Foni menampik anggapan bahwa pemerintah setengah hati memperhatikan keberadaan warga eks Timtim. Kucuran bantuan sudah banyak diberikan bagi mereka yang saat itu masih berstatus sebagai pengungsi.

Kini para warga eks Timtim sudah dianggap sebagai WNI yang berbaur dengan warga lokal. Dalam hal ini, mereka juga diberi jaminan kesehatan BPJS, diberi pemberdayaan UKM, pendidikan, serta kesempatan yang sama untuk mencari kerja sebagai pegawai negeri sipil, polisi, ataupun tentara.

Menurut pengajar antropologi dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Gregorius Neonbasu, orang-orang Indonesia timur adalah orang-orang yang terlampau setia. Mereka setia pada sejarah dan akar budaya.

”Bicara nasionalisme, warga eks Timtim di perbatasan jauh lebih nasionalis. Bermimpi untuk pisah dari Indonesia saja tidak. Pertanyaannya sekarang justru seberapa jauh perasaan nasionalisme itu diapresiasi negara? Bagaimana rasa bangga dan cinta Tanah Air itu terus dirawat?” kata Gregorius.

Ribuan kilometer dari Ibu Kota, meski jauh dari perhatian pemerintah, rasa cinta Tanah Air dari tanah Timor masih bergelora. Bagaimana dengan kita yang masih berada di episentrum pembangunan?

Artikel Lainnya