Liputan Kompas Nasional

Pidato Kenegaraan: Konstruksi Visi Presiden Joko Widodo

·sekitar 4 menit baca

Pemerataan pembangunan untuk menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial menjadi inti pidato Presiden Joko Widodo dalam rangka peringatan 72 tahun kemerdekaan Indonesia. Pesan ini punya benang merah dengan pidato sebelumnya, yaitu menumbuhkan optimisme pada pidato 2015 dan percepatan pembangunan pada pidato 2016.

Konstruksi pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo di depan sidang bersama Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat ini menawarkan hal baru dalam pola pidato kenegaraan. Hal ini setidaknya terdapat dalam tiga aspek, yaitu durasi pidato, substansi, dan kemasan simbolik yang menyertai uraian Presiden.

Orientasi kerja keras menjadi paradigma kepemimpinan Jokowi yang ditunjukkan sejak pidato pertamanya seusai mengucapkan sumpah jabatan sebagai presiden ketujuh RI dalam Sidang Paripurna MPR tahun 2014. Presiden lebih menekankan penyelenggara negara untuk bekerja keras dan memastikan hadirnya pelayanan pemerintahan di seluruh Tanah Air.

Tidak heran jika dalam tiga kali pidato kenegaraan dalam rangka menjelang HUT Kemerdekaan Republik Indonesia, tidak banyak kata yang dituturkan Presiden. Jumlah kata pada pidato perdananya hanya 2.791 kata dan dibacakan kurang dari 20 menit. Sementara tahun 2016 jumlah kata yang digunakan mencapai 3.183.

Khusus tahun 2017, pidatonya lebih panjang dari dua pidato sebelumnya, yakni 35,55 menit memuat 3.457 kata.

Berkelanjutan

Dalam tiga pidato kenegaraan itu, substansi pidato senantiasa diawali dengan penekanan pada semangat optimisme. Jika pada 2015 Presiden mengajak seluruh komponen bangsa tetap optimistis menghadapi tekanan global yang mengakibatkan ekonomi melambat, pidato pada tahun berikutnya mengarah pada upaya membangkitkan semangat optimistis dalam menghadapi era kompetisi global.

Sementara tahun ini Presiden mengajak masyarakat bekerja bersama dalam mentalitas yang positif dalam menghadapi berbagai tantangan. ”Kita adalah bangsa petarung yang berani berjuang dengan melakukan kekuatan sendiri,” demikian penggalan pidatonya, Rabu (16/8).

Benang merah dari tiga pidato kenegaraan itu adalah adanya fokus yang berkelanjutan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia. Tekanan ekonomi global di awal pemerintahannya dilanjutkan percepatan pembangunan pada tahun keduanya dan pemerataan ekonomi pada tahun ini. Diksi pembangunan selalu menjadi orientasi penting dalam narasi kenegaraan Presiden Jokowi.

Kata pembangunan memang juga disebut dalam pidato kenegaraan pascareformasi oleh presiden sebelum Jokowi. Namun, penyebutan kata itu oleh Jokowi punya penekanan yang cukup banyak, apalagi jika ditambah turunan kata seperti infrastruktur dan percepatan. Kata pembangunan mendapatkan tempat penting selain diksi umum yang banyak disebut seperti Indonesia, rakyat, negara, dan bangsa.

Sebanyak 14 kata pembangunan ditemukan dalam naskah pidato 2015. Konteks pilihan diksi ini menjadi fokus pemerintah yang ingin memberitakan ke publik terkait apa yang sudah dan akan dilakukan, seperti pembangunan jalan tol, rel kereta api, dan pelabuhan, sebagai bagian upaya menggerakkan perekonomian nasional.

Orientasi pembangunan makin terlihat pada pidato tahun 2016 yang mengangkat gagasan utama sebagai tahun percepatan pembangunan. Analisis diksi pidato 2016 menunjukkan, kata pemerintah dan pembangunan menempati jumlah terbanyak dari 3.183 kata. Menilik diksi yang dipakai, konteks pembangunan lebih diarahkan ke koneksi antardaerah di Indonesia.

Sementara dalam pidato tahun ini, ada 22 kata pembangunan yang diucapkan Presiden, dengan fokus perhatian pada masalah pemerataan ekonomi yang berkeadilan.

Pemerataan

Pemerataan ekonomi menjadi bagian terbesar dari komposisi pidato Presiden tahun ini. Terdapat 14 paragraf yang mengulas pemerataan ekonomi. Kemunculan kata perbatasan dan desa mewakili dua wilayah yang menjadi perhatian pemerintah sebagai obyek pemerataan pembangunan.

Selama sekitar 7 menit, Presiden menyebutkan capaian pemerintah dalam memerangi kemiskinan, menekan kesenjangan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan dana desa dalam kerangka membangun pemerataan pembangunan.

Paradigma pemerataan mendapat penegasan dalam gaya komunikasi politik Presiden. Tahun ini Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kompak menggunakan pakaian daerah. Busana kedua pemimpin bahkan ditampilkan dengan bertukar kostum adat daerah. Ini menjadi simbol keberpihakan kepemimpinan nasional terhadap luasnya wilayah Nusantara yang harus diperhatikan pemerataan pembangunannya.

Pesan simbolik dari penggunaan kostum adat yang baru pertama kali dilakukan sepanjang sejarah Pidato Kenegaraan RI juga menyimpan pesan bahwa kebanggaan menjadi bangsa yang memiliki keragaman adat dan budaya seharusnya dimiliki setiap warga negara Indonesia.

Pesan nasionalisme juga diselipkan melalui penggunaan beberapa bahasa daerah untuk membangkitkan semangat persatuan. Presiden Jokowi menyelipkan bahasa daerah saat menyapa dan membangkitkan semangat masyarakat dari Sabang hingga Merauke, dan Miangas hingga Rote. Kata yang diucapkan seperti ”Salamu’alaikum, Kruen” yang berarti ”Semangat!”, ”Izakod Bekai Izakod Kai” yang berarti ”Satu Hati Satu Tujuan”.

Akhirnya, konstruksi gagasan pidato Presiden selama tiga tahun menggugah kembali orientasi pemerintah terhadap pembangunan Indonesia-sentris. Semua warga Indonesia, apa pun latar belakangnya, berhak mencecap hasil pembangunan secara adil dan merata. Pemerataan dapat dilakukan dengan modal kerja keras, persatuan, dan gotong royong. (SUSANTI AGUSTINA/ANDREAS YOGA PRASETYO/LITBANG KOMPAS)

Artikel Lainnya