Langit perlahan menampilkan gradasi oranye, seiring senja di wilayah Kepulauan Seribu, Minggu (9/8). Kapal yang dibawa Abdul Kahar Damang (32) menapaki satu demi satu gelombang untuk beranjak pulang ke Pulau Harapan, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Di sekitar Pulau Bulat, sekitar 20 menit berkendara dengan kapal dari Pulau Harapan, lima wisatawan tiba-tiba bersorak gembira di atas kapal.
Rupanya, sekawanan lumba-lumba menghampiri kapal mereka. Empat lumba-lumba berenang mengikuti laju kapal. Sambil berteriak riang, turis dari Italia itu mengeluarkan kamera dan segera memotret kejadian itu.
”Mereka tepuk tangan sampai lompat-lompat di atas kapal. Saya cuma ketawa lihat tingkah mereka sambil mengatur kecepatan kapal,” ucap Abdul, warga Pulau Kelapa Dua, nelayan sekaligus pemandu pariwisata di pulau ini, Rabu (12/8).
Tidak hanya kali ini Abdul bertemu lumba-lumba saat mengantar tamu. Bahkan, pertemuan itu hampir terjadi setiap bulan. Minggu sebelumnya, nelayan asal Bone, Sulawesi Selatan, ini juga bertemu enam lumba-lumba.
Kejadian itu paling sering terjadi saat sore hari. ”Kalau laut teduh, lumba-lumba selalu muncul. Bahkan, saya pernah lihat ada yang sama lumba-lumba kecil,” ucapnya.
Lumba-lumba (Cetacea) telah lama dikenal di wilayah Kepulauan Seribu. Seperti dituturkan Hamzahtun (57), dirinya telah mendengar cerita lumba-lumba sejak tahun 1960-an.
Akan tetapi, selama ini kehadirannya tidak begitu diperhatikan. Perhatian orang pada hewan laut jauh lebih banyak tercurah pada penyu yang telah lebih dulu diidentifikasi dan dikonservasi oleh Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS).
Konservasi penyu, terutama penyu sisik, dapat dijumpai di Pulau Pramuka, Pulau Harapan, dan Pulau Kelapa Dua. Pengunjung bisa melihat langsung hingga memberi makan penyu sisik di tempat-tempat ini. Sejumlah pulau yang menjadi habitat penyu dijadikan zona inti TNKpS.
Upaya perlindungan
Lumba-lumba adalah salah satu satwa yang dilindungi dan perlu dijamin kelestariannya. Berdasarkan data TNKpS, hewan ini masuk dalam 10 prioritas yang akan diperhatikan pada 2015. Selain lumba-lumba, ada juga mamalia laut lain, seperti penyu, moluska, terumbu karang, dan mangrove. Lalu ada lamun, hutan pantai, elang, ikan karang, dan burung pantai.
Yohanes Permadi dari TNkpS menyebutkan, pihaknya melakukan upaya identifikasi dan monitoring bagi yang terdaftar dalam 10 prioritas itu. Lumba-lumba dan moluska saat ini termasuk kategori sasaran identifikasi.
Menurut Yohanes, pendataan yang holistik dan pengaturan kembali kawasan taman nasional menjadi fokus kerja ke depannya. Pihaknya juga akan berkoordinasi secara internal untuk mengumpulkan sejumlah informasi penting terkait ekosistem di Kepulauan Seribu. Dengan begitu, spesies-spesies semakin terlindungi dan tindakan yang mengganggu habitat bisa diantisipasi.
Sayangnya, pendataan untuk hewan-hewan ini belum maksimal. Padahal, sejumlah aktivitas di Kepulauan Seribu berpotensi mengancam keberadaan mereka.
Penelitian Adriani Sunuddin dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor menunjukkan, terdapat dua spesies lumba-lumba yang diduga kuat memiliki habitat di Kepulauan Seribu. Dua jenis itu adalah Tursiops aduncus dan Tursiops truncatus.
Kemunculan mereka juga semakin sering dari tahun ke tahun. Koordinator Riset Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor Syamsul Bahri Agus menyampaikan, kini diduga kuat habitat mereka terus tertekan. Tekanan itu, lanjut Syamsul, karena semakin masifnya pariwisata dan aktivitas masyarakat setempat yang berpotensi merusak habitat mereka. Apalagi, sejauh ini belum ada identifikasi hingga regulasi terkait keberadaan spesies ini. (SAIFUL RIJAL YUNUS)