Di sebagian tempat, organik mungkin tak lebih dari sebuah label. Namun, di lereng-lereng pegunungan Papua, memilih untuk bertani secara organik merupakan bentuk penghormatan petani kepada alam. Bersama burung dan serangga, kopi tumbuh dan berbagi kisah.

Kehidupan di tengah kebun kopi milik Maksimus Lani, petani di Jagara, Pegunungan Jayawijaya, pun begitu semarak. Kicau burung silih berganti di antara ribuan batang kopi yang tumbuh subur.

Kesuburan itulah buah cinta petani kepada sang alam. Hasil kopi pun berbuah ranum. Ketika dicicipi, buahnya manis. Hasil seduhannya pun istimewa. Rasa asam dan manisnya berimbang. Terasa bersih dan segar seusai disesap, sedangkan bodinya terasa tebal.

Keistimewaan itu diyakini Maksimus sebagai hasil dari perawatan serba organik. Tentu, tidak berarti tanamannya selalu aman dari hama atau penyakit. Namun, ada cara untuk mengantisipasi, salah satunya melalui tanda-tanda alam.

Ketika melihat daun-daun gugur, Maksimus meyakini ada sesuatu pada tanaman. Ia pun mengecek daun, batang, dan buahnya. “Pernah terjadi seperti itu. Setelah dilihat, ternyata tanaman kopi terkena penyakit karat daun,” katanya, ditemui Maret 2018.

DANIAL ADE KURNIAWAN

Hasil gilingan biji kopi gabah di Dusun Pyramid, Wamena, Papua, Kamis (22/3/2018).

Hama dan penyakit diyakininya muncul akibat masuknya bibit tanaman atau obat-obatan dari luar. Pernah satu kali ada warga hendak menyemprot tanamannya dengan obat kimia. Orang itu langsung dipanggil. Orang itu pun mengaku salah kepada petani yang telah berkumpul.

Penggunaan bahan-bahan kimia memang dilarang di wilayah tersebut. Sebab, untuk membasmi hama, sudah ada resep obat yang dibuat dari gula, beras, dan lainnya. Bahan-bahan dicampur lalu disemprotkan ke tanaman.

Aturan adat pun masih dipegang kuat. Untuk membuka lahan, tak sembarang area dapat dibuka. “Kalau adat bilang tidak boleh (dibuka lahannya), maka tidak boleh. Karena ada burung di situ, misalnya, ada binatang lain di situ. Jadi, kita harus hormati semua makhluk,” ujarnya.

Penyakit dan hama kopi pernah pula mewabah di sekitar Distrik Silokarno Doga, Kabupaten Jayawijaya. Petani berkumpul dan menggelar rapat adat. Mereka kemudian mengorbankan satwa ternak. Darahnya ditampung. Lalu, malam-malam darah diteteskan pada kebun-kebun yang terserang penyakit dan hama. Beberapa hari kemudian, bencana penyakit pada tanaman berangsur hilang.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Pohon kopi yang mulai berbuah di kebun kopi di Ugapuga, Kabupaten Dogiyai, Papua.

Mengolah limbah kopi

Lain lagi dengan kisah petani di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, di Kerinci, Jambi, serta di Gayo, Aceh. Petani memanfaatkan kulit buah dan kulit gabah kopi menjadi bahan pupuk. Sebanyak 80 persen bahan pupuk pun disuplai dari limbah kulit kopi. Kemudian, kulit kopi itu dicampur dengan cairan mikroorganisme bakteri/EM4 serta gula.

Pencampuran itu menghasilkan sumber kandungan N, P, K, dan C organik yang sangat dibutuhkan tanaman kopi. “Caranya tak sulit, tapi hasilnya tanaman makin subur organik,” kata Walmanso Simbolon, petani di Desa Dolok Tolong, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi.

Di Bondowoso, Jawa Timur, petani bekerja sama dengan pemerintah kabupaten dan Perhutani mengembangkan kopi hutan. Penanaman kopi menggunakan pupuk organik untuk menjaga kualitas kopi.

Petani Bondowoso kemudian memelihara ayam dan bebek. Kotoran ternak tersebut digunakan untuk memupuk tanaman kopi hutan.

Di Indonesia, kopi hutan dikembangkan Perum Perhutani pada lahan seluas 115.000 hektar. Sebanyak 45.000 hektar lahan kopi hutan ada di Jawa Timur. Namun, produksinya hanya sekitar 75 kilogram per hektar. Jumlah itu lebih rendah daripada kopi perkebunan yang berkisar 0,75-2 ton per hektar.

Bupati Bondowoso Amin Said Husni mengatakan, kopi yang ditanam dengan prinsip berkelanjutan bisa mengangkat ekonomi petani. Ini penting bagi Bondowoso karena kopi hutan di Bondowoso mencapai area seluas 14.000 hektar.

Bondowoso bahkan diakui sebagai salah satu sentra penghasil kopi terbaik dunia. Produksinya tercatat 1.500 ton dengan 800 ton kopi telah diekspor.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Pekerja menyortir biji kopi di ruang sortasi pabrik pengolahan kopi arabika PTPN XII Kebun Kalisat, Bondowoso, Jawa Timur, Jumat (12/1/2018).

Peneliti kopi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) Djoko Soemarno mengatakan, perawatan tanaman secara organik dapat menambah unsur hara dan memperbaiki sifat fisik pada tanah. Perbaikan struktur tanah akan memacu pertumbuhan akar sehingga hasilnya berdampak cepat tumbuh dan berbuah.

Itu akan berbeda tatkala diganti dengan pupuk kimia yang sifatnya sementara. Untuk penggunaan jangka panjang, pupuk kimia justru mengakibatkan tanah menjadi jenuh. Di samping itu, pupuk organik akan meningkatkan kemampuan tanah menyimpan air.

Dalam buku Kopi: Sejarah, Botani, Proses Produksi, Pengolahan, Produk Hilir, dan Sistem Kemitraan yang dikumpulkan dari hasil penelitian tim Puslitkoka, disebutkan bahwa tanaman memerlukan unsur hara yang maksimal sejak dalam pembibitan.

Asupan itu dapat dipenuhi dari pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, dan limbah industri gula. Dosis pupuk bervariasi 10 liter hingga 30 liter per pohon per tahun. Asupan itu menyesuaikan kadar karbon organik tanah. Penerapannya tidaklah sulit karena pemberian cukup sekali dalam setahun, yakni pada awal kemarau.

Caranya pun mudah. Pupuk ditabur dalam rorak di sisi pangkal batang. Bisa juga ditebar pada lingkaran sekeliling pangkal batang kopi. Penanaman tanaman secara organik itu tidak sulit, yang dibutuhkan hanyalah niat untuk menghormati alam. (IRMA TAMBUNAN/SIWI YUNITA C)