”Ayo kita pulang. Sudah saatnya berpamitan,” kata Ketut Wiryana (50), warga Jembrana, akhir Februari 2018. Ajakan itu langsung mengundang tanya seluruh rombongan, apalagi saat belum ada kesepakatan bahwa kami akan undur diri dari rumah narasumber. Ada apa gerangan?
Sambil berbisik, Ketut menjelaskan, ”Tradisi masyarakat Bali, suguhan kopi kedua, artinya semacam mengusir. Secangkir kopi pertama adalah ucapan selamat datang dan kopi kedua adalah penutup pembicaraan. Pertemuan dirasa sudah cukup dan tamu boleh pergi.” Tanpa banyak tanya, kami bergegas pamitan.
Kami tidak menyangka bahwa kopi bukan sekadar minuman. Di Bali, kopi menjelma menjadi bahasa pergaulan.
Kopi adalah tanaman berlumur doa dan asap dupa. Ia adalah angkihan (napas) dan getih (darah) nak Bali.
Makna kopi bagi nak (orang) Bali tidak berhenti sampai di sana. Rupanya kopi bukan lagi sekadar ciuman menyenangkan dan anggur nan lembut sebagaimana diekspresikan komposer Johann Sebastian Bach dalam komposisi ”Coffee Cantata”. Kopi adalah tanaman berlumur doa dan asap dupa. Ia adalah angkihan (napas) dan getih (darah) nak Bali.
Setelah bangun, sebelum bernapas lebih dalam, orang Bali mebanten saiban. Berdoa dan mempersembahkan sesaji di beberapa bagian rumah, sekitar perapian, halaman, dan sumber air. Kopi sebenarnya tidak wajib disertakan dalam sesaji itu. Namun, jika ada, orang Bali memilih menyertakan kopi dalam sesaji saiban itu.
Setiap hari, keluarga I Wayan Angga Wiguna (18), warga Buleleng, sudah menyiapkan banten saiban sebagai persembahan untuk leluhur. Sesajinya berupa bunga, nasi putih, air putih, dupa, dan kopi. Selain untuk persembahan, Angga juga memulai hari dengan meneguk segelas kopi.
”Ini semacam berbagi milik kita hari itu dengan leluhur, ungkapan rasa syukur atas rezeki yang diberikan. Karena kami meminum kopi, kami berbagi kopi. Kopi adalah tenaga dan kehidupan kami,” kata Angga, Minggu (28/2/2018). Baginya, menghirup aroma kopi pada pagi hari sama dengan menyerap semangat dalam-dalam.
Tradisi mebanten saiban bukan hanya berlaku di rumah. Di tempat usaha, seperti kafe, pun, banten saiban juga disiapkan. Seperti di Bali Coffee Cafe (BCC) di pojok Rimo Trade Center Bali, salah satu pusat penjualan gawai dan TI di Denpasar, karyawan kafe itu juga menyiapkan banten saiban di meja jualan. Wangi asap dupa dan aroma kopi kembali merayapi tubuh orang Bali.
”Ini yang membedakan rumah usaha milik orang Bali dan bukan. Biasanya jika milik orang Bali asli, akan ada banten saiban. Sebaliknya, jika bukan milik orang Bali, biasanya tidak ada. Orang Bali masih sangat menjunjung tradisi,” kata Nathanael Rama Putra, Kepala Operasional BCC.
Kopi pun menempati ruang sakral di hati setiap orang Bali. Pada setiap 25 hari sebelum hari raya Galungan, orang Hindu Bali merayakan upacara Tumpek Uduh atau Tumpek Wariga, yakni upacara menyambut turunnya Sanghyang Sangkara, sang penjaga tumbuh-tumbuhan.
Pada saat itu, tepatnya saat Sabtu Kliwon wuku Wariga (210 hari sekali), warga di Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, akan berduyun-duyun memuja Sanghyang Sangkara di Pura Kopi Subak Abian Munduk. Pura Kopi terletak bersebelahan dengan lahan Puri Lumbung, penginapan pertama di Desa Munduk. Pura Kopi Subak Abian Munduk sendiri dibangun tahun 1920-an.
Turun-temurun
Kopi dan hidup orang Bali tidak hanya terikat adat. Jauh sebelum orang melihat Bali sebagai surga kafe seperti saat ini, kopi sudah ditanam dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Di kawasan Bali utara, kopi Banyuatis melegenda dan menghidupi wilayah utara sejak tahun 1960-an. Adapun di Bali selatan, kopi Kupu-kupu Bola Dunia sudah jauh terlebih dahulu mengalir dalam darah orang Bali sejak tahun 1935.
Hingga kini, kedua merek kopi tersebut masih merajai peredaran kopi Bali. Produsen kopi Bali itu bertahan dengan memasarkan kopi di toko mereka sendiri, menambah ragam jenis kopi yang dijual, dan mengemas kopi Bali dalam kemasan saset. Pilihan mengemas kopi berbentuk saset bertujuan agar pemasarannya lebih luas, terutama ke pasar, warung, dan toko.
Lalu, apa saja jenis kopi Bali? Ada dua jenis kopi Bali, yaitu arabika dan robusta. Arabika Bali Kintamani menjadi sangat terkenal setelah berhasil mengantongi sertifikasi indikasi geografis (IG) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tahun 2008. Cita rasa kopi arabika Kintamani kental dengan rasa jeruk.
Saat diseruput akan meninggalkan kesan rasa cokelat dan cengkeh di mulut.
Selain itu, Bali juga memiliki kopi robusta. Yang paling dikenal adalah robusta Pupuan dari Kabupaten Tabanan. Seperti arabika Kintamani, kopi robusta Pupuan juga sudah mengantongi sertifikasi IG pada Desember 2017.
Cita rasa kopi robusta Pupuan cukup menarik karena saat diseruput akan meninggalkan kesan rasa cokelat dan cengkeh di mulut. Kopi Kintamani dan kopi Pupuan sama-sama sudah menembus pasar luar negeri.
Sejarah
Kopi dan Bali tak bisa dipisahkan. Dalam buku berjudul Bali Sekala and Niskala volume II terbitan ketiga (1995), Fred B Eiseman Jr menyebutkan, penanaman kopi di Bali dimulai tahun 1750-an dengan jenis arabika. Kopi arabika di Bali hanya bertahan sekitar 100 tahun karena terserang penyakit karat daun. Belanda kemudian membawa tanaman kopi robusta ke Bali sekitar tahun 1912.
Menurut periset lontar dan budayawan Bali, Sugi Lanus, penanaman kopi di Bali berbeda dengan daerah lain di Indonesia karena Bali tidak masuk dalam cultuurstelsel, yakni kebijakan Belanda yang memaksa masyarakat menanam tanaman komoditas. ”Bali dikecualikan dari kebijakan cultuurstelsel Belanda sehingga di Bali tidak terdapat perkebunan kopi, tebu, dan cengkeh dalam skala luas,” ujar Sugi Lanus.
Budidaya kopi di Bali menggunakan sistem subak abian (lahan kering). Di sini, petani subak abian kopi memperlakukan kopi seperti tanaman padi. Kelompok subak membuat pura subak kopi dan mengadakan ritual seperti halnya upacara subak lainnya.
Kopi dibudidayakan hampir di seluruh daerah di Bali, kecuali di Kota Denpasar. Dari delapan kabupaten di Bali, terdapat enam kabupaten dengan kebun kopi arabika. Adapun kebun kopi robusta tersebar di seluruh kabupaten. Hampir seluruh kebun kopi di Bali merupakan perkebunan rakyat.
Petani subak abian kopi memperlakukan kopi seperti tanaman padi.
Dari pencatatan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Bali, luas lahan kopi di Bali mencapai 35.490 hektar. Dua pertiga dari luas lahan kopi itu merupakan kebun kopi robusta, sedangkan sepertiganya adalah lahan arabika. Kebun-kebun kopi di Bali menghasilkan lebih dari 17.000 ton biji kopi pada 2016.
Bali tidak melulu soal wisata, tetapi juga tentang kopi, minuman berlumur doa dan wangi dupa, yang mengalir dalam napas dan darah nak Bali. (Cokorda Yudistira/Dahlia Irawati)