Belasan bidak telah tersingkir. Pertarungan di atas papan catur kian sengit mengantar malam di Warung Kopi Geleng, Kota Medan, Desember 2017. Jika salah perhitungan sedikit saja, habislah riwayat sang raja.
Tanpa mengalihkan pandangan dari papan caturnya, tangan Ginting meraih segelas kopi. Minuman kopi itu pun diseruput dalam-dalam. Seperti habis mendapatkan taktik baru, tangannya bergerak cepat menggeser posisi sang perdana menteri. Raja musuh siap dimangsa. Sekakmat!
Lawan mainnya, Yohanes, tak berkutik. Meski dicobanya mencari pijakan baru untuk berlindung, seluruh jalan telah dihadang. Ia menghadapi jalan buntu. Ia menyerah menjelang pukul 21.30 WIB. Namun, pertarungan catur tak segera berakhir. ”Baru jam segini. Masih panjang waktu kita,” ujar Ginting tertawa.
Warkop Geleng bagaikan rumah kedua baginya. Hampir setiap hari ia mampir. Sekadar ngopi, bertemu kerabat, membaca koran, atau mencari lawan bertanding catur. ”Kalau ingin mencari lawan tanding, di sini tempatnya,” lanjutnya.
Beroperasi sejak tahun 1960, pengelola Warkop Geleng kini telah berganti generasi. Namun, keseharian di warkop itu nyaris tak ada yang berubah.
Selama lebih dari 50 tahun, warkop itu dikenal sebagai gudangnya pemain catur amatir.
Selama lebih dari 50 tahun, warkop itu dikenal sebagai gudangnya pemain catur amatir. Saban waktu pengunjung datang silih berganti. Mereka jelas mampir ke warkop dengan tujuan main catur. ”Bahkan, banyak pula yang datang dari luar kota,” ujar Bibi Dewi, salah satu penerus usaha.
Warkop Geleng terletak di Jalan Jamin Ginting, Simpang Pos Padang Bulan, persis di seberang loket bus Sinabung Jaya yang melayani perjalanan dari Kota Medan-Berastagi. Itu sebabnya, kebanyakan pengunjung yang datang ke sana adalah orang-orang Karo.
Awalnya, warkop ini dikelola oleh almarhum Josia Ginting. Karena badannya yang pendek, Josia lebih sering dipanggil ”Pa Geleng”. Itulah asal-muasal nama warkop tersebut.
Setelah meninggal tahun 2013, usaha itu dilanjutkan oleh lima adiknya. Mereka berbagi waktu pengoperasian kedai yang buka 24 jam tersebut. Adapun anak almarhum, Jenda Malem, membuka warkop dengan nama yang sama di belakang warkop yang dibangun Josia. Suguhan menunya pun sama, yakni kopi, kopi susu, dan teh.
Internet gratis
Akan tetapi, di warkop barunya, sebagai pembeda, Jenda memasang fasilitas internet gratis. Layanan itu, katanya, efektif mendatangkan anak-anak muda kekinian. Mereka juga gemar berkumpul. Bedanya, masing-masing sibuk dengan perangkat telepon pintar di tangan. ”Kebanyakan mereka kurang hobi main catur. Lebih sukanya main game online,” kata Jenda.
Dua generasi dengan kegemaran yang berbeda akhirnya berkumpul di kedai kopi. Saat Kompas berkunjung, tampak sejumlah orangtua bermain catur di deretan kursi depan kedai. ”Mereka betah main catur, dari pagi hingga sore. Sampai lupa pulang,” ucap Jenda.
Sementara di bagian dalam kedai, baru ramai menjelang siang. Biasanya kalangan remaja mampir ke kedai itu sepulang sekolah.
Antropolog Universitas Negeri Medan, Eron L Damanik mengatakan, kedai kopi adalah cermin perjalanan sosial masyarakat di Sumatera Utara. Ngopi sambil main catur dan berdiskusi adalah pemandangan umum di kedai-kedai pada masa lalu.
Kini, tinggal segelintir kedai kopi yang masih menawarkan suasana tradisional dan merakyat. Bagi sebagian orang, kedai-kedai tua itu selalu mendatangkan rasa rindu untuk mampir. Warung kopi tidak sekadar tempat ngopi. ”Di kedai kopi, terjalin persahabatan, kekompakan, perdebatan, menyusun siasat, hingga negosiasi,” lanjutnya.
Budaya kekinian yang menyedot kalangan muda mampir ke kedai kopi tidak lagi untuk berinteraksi, mencari kawan diskusi, ataupun lawan tanding. Layanan Wi-Fi yang semakin meluas membuat mereka lebih banyak berinteraksi melalui internet. Ia sendiri tak mampu memperkirakan hingga kapan tren itu mampu terus bertahan. (IRMA TAMBUNAN)