Di pusat kota Tokyo, nama Mandheling melegenda. Di antara beragam merek ternama dalam gerai-gerai penjualan kopi, biji dan bubuk Mandheling merupakan produk kopi yang termahal. Sang kopi menjadi primadona.

Sejak diperkenalkan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1835, cita rasa kopi Mandheling alias Mandailing yang ditanam di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan, Sumatera Utara, menyematkan kekaguman dunia. Kekaguman ini juga diperlihatkan masyarakat Jepang. Tak hanya di kafe dan toko oleh-oleh, kopi Mandheling pun kerap tersaji dalam kereta cepat Shinkansen.

Mandheling begitu diminati karena cita rasanya kuat, tebal, keasaman medium, floral, dan aftertaste manis serta unik yang tidak ditemukan pada varian kopi pada umumnya. ”Mandheling salah satu kopi favoritku,” kata Tanaka, pengunjung kedai kopi di kawasan Shibuya.

Mandheling salah satu kopi favoritku.

Di kedai itu, biji sangrai Mandheling dihargai 970 yen atau Rp 125.000 per 200 gram. Kopi Mandheling dengan demikian menjadi kopi termahal di antara kopi Kolombia, Kilimanjaro, Brasil, ataupun Mocha. Namun, di tengah gairah dunia, kopi Mandheling nyaris tidak terdengar di negeri asalnya.

Pada masa lalu, Mandheling adalah sebutan dagang untuk kopi arabika yang dikirim melalui Pelabuhan Natal, Kabupaten Mandailing Natal. Adapun sumber kopi sebenarnya tidak hanya dari Mandailing, tetapi juga dari berbagai penjuru sentra kopi di dataran tinggi Sumatera Utara.

Walaupun populer dalam perkopian dunia, di Mandailing kini semakin sulit ditemukan kebun kopi. Kopi ternyata nyaris dilupakan. Sejak 10 tahun silam, seluruh tanaman kopi dibabat karena anjloknya harga. Lahan tanaman kopi pun berganti menjadi kebun karet.

Walaupun populer dalam perkopian dunia, di Mandailing kini semakin sulit ditemukan kebun kopi.

Tak hanya di Mandailing, kisah pemusnahan kopi pernah terjadi di Simalungun, Dairi, dan Karo. Salah satunya pengalaman keluarga Eron Damanik, antropolog Universitas Negeri Medan. Ayahnya, Derman Damanik, membabati seluruh tanaman kopi di kebun belakang rumah karena harga hancur. Padahal, tadinya Derman Damanik mengharapkan kopi sebagai sumber pencarian selepas pensiun.

Kehancuran harga kopi bahkan terjadi saat buah kopi siap dipanen. Di pasar, harga biji berasnya hanya Rp 8.000 per kilogram. ”Harga jual kopi di bawah upah harian pekerja petik. Kalaupun dipaksakan tetap dipanen, bukannya untung, tapi kami malah nombok,” ujar Eron.

Lebih tak disangka lagi, tanaman kopi itu baru berusia 10 tahun—yang masih dalam usia produktif. Kenyataannya, hasil panen di kebun terus menurun. Ketika diselidiki, penyebabnya adalah buruknya kualitas benih. Akibatnya, tiada satu batang kopi pun yang tersisa di kebun milik Damanik.

Karena di saat bersamaan harga jeruk melambung, Derman Damanik dan sekitar 80 petani setempat mengganti tanaman kopi dengan tanaman jeruk.

Persoalan di kebun
Kini, saat perkopian dunia bergairah dan harganya terus melambung, petani dilanda masalah baru. Produksi kopi di hampir seluruh daerah di Nusantara anjlok. Dari Aceh hingga Lampung, hasil panen kopi terbilang minim. Begitu pula di Flores, Toraja, hingga Papua. Faktor cuaca disebut menjadi penyebabnya.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Petani memanen buah kopi di Desa Gajah, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Jumat (15/12/2017). Perubahan iklim berdampak pada merosotnya hasil panen kopi di hampir seluruh wilayah di Sumatera Utara.

Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia Wilayah Sumatera Bagian Utara Saidul Alam mengatakan, persoalan besar di balik itu adalah lemahnya perhatian negara. Negara dinilai lemah mulai dari riset, pemuliaan benih kopi, pemberdayaan petani, hingga akses pasar.

Selama ini, bibit yang beredar lebih banyak tak berkualitas. Akibatnya, umur tanaman kopi pendek sehingga baru memasuki usia 10 tahun tidak lagi produktif. Padahal, tanaman kopi dikenal sebagai tabungan seumur hidup. ”Kalau ini hari tidak ada penggagas peremajaan dan penelitian varietas unggul, cerita kopi hanya akan jadi warisan dan kenangan,” ucap Saidul.

Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan, produktivitas biji kopi dalam negeri tahun 2016 hanya sekitar 700 kilogram per hektar. Di sisi lain, produktivitas produsen utama kopi dunia sudah di atas 1 ton per hektar. Padahal, jika dilihat dari potensi alamnya, produktivitas kopi dalam negeri semestinya dapat mencapai 3 ton per hektar. Rendahnya produktivitas menyebabkan negara kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 41 miliar.

Persoalan produksi kopi dalam negeri sudah dibahas lama oleh para pemangku kepentingan. Sejak 15 tahun lalu, sudah diprediksi bahwa permintaan kopi arabika bakal meledak. ”Namun, tidak segera diantisipasi. Kita sekarang justru kekurangan (kopi),” kata Saidul.

Siklus penanaman kopi juga masih tradisional, mengandalkan ilmu turun-temurun. Pemberdayaan petani kopi juga minim. Bahkan, sampai hari ini, peremajaan kopi hanya dilakukan segelintir petani. Mereka umumnya berpikir, kopi adalah warisan. ”Sudah ditanam mamakku. Aku tinggal petik hasilnya,” ujar Saidul menirukan ucapan petani kenalannya.

KOMPAS/ MOHAMMAD HILMI FAIQ

Petani menggiling biji kopi mentah di Desa Saiy Buttu Saribu, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Minggu (1/9/2013). Ketika itu, harga kopi di tingkat petani terus menurun hingga Rp 10.000 per kilogram sejak empat bulan sebelumnya.

Ingin bangkit
Kini, harga kopi terus melambung. Yahya Yoanda (32), petani di Nagori Sait Buttu Saribu, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Simalungun, menyesal telah menebang tanaman kopinya empat tahun silam. Namun, ia tak ingin terbenam dalam penyesalan.

Bersama sejumlah petani dalam Koperasi Produsen Sumatera Arabika Simalungun (Saabas), Yahya belajar untuk mengolah kopi dengan baik. Mereka bahkan menimba ilmu perkopian hingga ke Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka). ”Masih ada harapan untuk kopi,” katanya.

KOMPAs/ HENDRA A SETYAWAN

Pemulia dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) menguji kopi di laboratorium uji kopi Puslitkoka, Jember, Jawa Timur, Kamis (11/1/2018). Kopi dari seluruh Nusantara diujikan di laboratorium ini.

Dengan kemampuan yang mumpuni, kini Yahya dan petani setempat tak lagi menjual buah kopi, tetapi biji beras kopi. Harganya hampir 10 kali lipat dari harga buah merah sehingga cukup menguntungkan.

Diakui Yahya, sebagian besar petani masih trauma menghadapi jatuh bangun harga kopi. Akan tetapi, jika petani diberdayakan, mereka dapat mengelola kopi dengan baik. Mendapatkan pula nilai tambah sesuai yang diharapkan. Inilah saatnya untuk kembali mengurus kopi. (ITA/NSA/GRE/REN/VDL)