”Awakmu iki kate nyicip kopi, opo kate ngopi (Kamu ini mau merasakan kopi atau mau ngopi)?” celetuk seorang pemuda Desa Srimulyo, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Januari 2018, kepada sahabatnya. Sahabatnya ternyata datang ke sebuah forum dengan membawa sekantong gorengan. Celetukan tersebut disambut tawa seisi ruangan.
Forum tersebut adalah cupping alias uji cita rasa kopi untuk kalangan petani dan pemuda desa setempat yang digelar Asosiasi Petani Kopi Sridonoretno (SDR). “Ya, nanti setelah merasakan kopi, baru makan gorengan, ha-ha-ha…,” kata si pemuda lugu tersebut yang kembali membuat seisi ruangan bergemuruh dengan tawa.
Tidak salah jika peserta cupping menertawakan salah seorang peserta yang membawa sekantong gorengan. Sebab, makan gorengan sebelum cupping dapat memengaruhi kemampuan lidah untuk mencecap rasa kopi.
Namun, si pemuda desa itu pun tidak dapat disalahkan. Apalagi, dalam kultur pedesaan, makan gorengan saat banyak orang merupakan bentuk kebersamaan.
“Ya, namanya mengedukasi orang desa, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada yang paham artinya cupping itu apa dan ada yang belum paham karena baru pertama kali berkumpul bersama untuk belajar kopi,” ujar Dery Menel Pradana, pegiat kopi Sridonoretno.
Kegiatan cupping tersebut, kata Menel, sudah berlangsung beberapa kali.
Kala itu, pemuda Sridonoretno, tepatnya dari Desa Srimulyo, Sukodono, dan Baturetno, menggelar uji cita rasa kopi Sridonoretno. Karena hanya berbekal kopi sendiri, mereka memutuskan untuk menguji cita rasa untuk membedakan kopi seduhan terbaik. Mereka juga mempelajari seduhan kopi mana yang mengandung banyak kecacatan atau defect.
Uji cita rasa dipandu oleh Siadi Satria (33), warga desa setempat yang telah mengantongi sertifikat uji cita rasa dari Coffee Lab Bandung selama belajar hampir sepekan. Siadi diberangkatkan oleh Aliansi Petani Independen (API) untuk menjadi quality control dari Koperasi Petani Kopi Sridonoretno. Sepulangnya dari pelatihan, Siadi diharapkan menularkan ilmunya kepada petani lain.
Sejak tahun 2015, API mulai membina petani kopi Sridonoretno. Pembinaan berangkat dari fakta di masa silam ketika kopi Sridonoretno diproses asal-asalan, lalu dicampur kopi daerah lain hingga dikemas ulang dengan label kopi dari luar daerah. Praktik itu membuat sirna nama kopi Dampit yang pernah jaya di era kolonial.
Solusi bagi petani
Kerja API tidak sia-sia. Dibentuklah koperasi petani Sridonoretno sebagai alternatif solusi bagi petani untuk penyediaan permodalan. Beberapa anak muda Sridonoretno mulai mau bertahan menjadi petani kopi daripada pergi ke kota untuk sekadar menjadi buruh pabrik.
“Saya ingin makin paham mengenai kopi. Saya bercita-cita jadi roaster. Saya ingin mengangkat nama kopi Sridonoretno. Apalagi, kopi di kampung saya ini sudah mendapat tempat di hati pembeli,” kata Adi Sampurna Wijaya (25), sarjana lulusan desain grafis dari kampus swasta di Kota Malang.
Meski sudah bekerja sebagai desainer grafis, Adi memilih kembali ke desanya untuk ikut mengembangkan kopi Sridonoretno. Ia mengekor langkah orangtuanya yang merupakan petani kopi.
“Dahulu, saya hanya ikut-ikutan orangtua, tapi kini saya ingin meneruskan kerja mereka. Dahulu, saya malas karena rasanya jadi petani itu susah. Rupanya, jadi petani kopi kini tampak menjanjikan. Setelah paham bertani kopi, bisa jadi roaster, barista, dan bisa buka kafe,” ujarnya.
Alasan senada dikatakan Deni Krisdianto (25), pemuda desa asal Srimulyo. Ia tertarik bertani kopi karena bisa menjadi ”raja” di tanahnya sendiri. “Kalau kerja di tempat lain, saya jadi buruh. Kalau kerja di kebun sendiri, saya adalah raja. Agar bisa menikmati jadi raja, saya harus kerja keras agar hasil panen saya selalu menguntungkan,” ucap Deni.
Di kelompok anak muda Sridonoretno, juga ada pemudi yang tertarik bergelut dalam dunia pertanian kopi. Dina Siti Hardiyanti (22), warga Desa Srimulyo, misalnya, tertarik pada budidaya kopi terutama bidang manajemen, koperasi, dan kegiatan lain. “Dengan aktif berkelompok dengan para petani kopi, saya belajar banyak ilmu. Saya, misalnya, tertarik dengan kegiatan pemetaan kebun kopi,” kata Dina.
Petani kopi Sridonoretno memang sudah memiliki peta tiga dimensi atas lahan kopi milik mereka. Peta tersebut tidak sekadar menjadi peta spasial biasa, tetapi juga peta sosial. Peta itu pun menggambarkan luas lahan petani, produksi, dan data sosial petani kopi lainnya. Data tersebut penting untuk mendapatkan sertifikasi indikasi geografis (IG). Mengapa penting? Karena IG akan memudahkan penjualan kopi ke luar negeri.
“Namun, semua harus dijalani secara bertahap. Tidak mudah dan murah mengurus IG. Jika pemerintah daerah mendukung, sangat mungkin IG segera bisa dikantongi. Namun, tanpa dukungan pemerintah daerah, rasanya cita-cita itu lama terwujud,” tutur Sekretaris Jenderal API Muhammad Nur Uddin. Pengajuan sertifikasi IG salah satunya juga butuh rekomendasi pemerintah daerah.
Cita-cita petani Sridonoretno untuk menguatkan nama hingga tingkat dunia memang sah-sah saja. Namun, pertama-tama, mereka harus meningkatkan produktivitas kopi. Saat ini, 125 anggota asosiasi tersebut masih mampu memproduksi 7 ton kopi olah baik setiap tahun. Padahal, sebenarnya potensi kopi di sana mencapai 500 ton per tahun.
Sejauh ini, harga jual kopi olah baik pun sudah cukup bagus, yaitu Rp 46.500 per kilogram, berbeda jauh dengan harga kopi asalan, yaitu Rp 26.000 per kilogram. (DAHLIA IRAWATI/SIWI YUNITA C)