Kopi tak hanya memunculkan rasa, kopi memunculkan pula peradaban. Bermula dari perkebunan kopi, kota-kota terbentuk. Kota yang awalnya menjadi penyangga itu kini tumbuh menjadi bagian dari peradaban. Kultur yang dibawa para pekerja dan tuan tanah turut memberi warna dalam kebudayaannya.

Jauh sebelum perkebunan apel dibuka, Malang Raya—meliputi Kota/Kabupaten Malang dan Batu, telah menjadi penghasil dan pusat pengumpulan kopi dari perkebunan-perkebunan sekitarnya. Pada abad ke-18, kopi bahkan mengisi ruang-ruang kota hingga kaki gunung yang mengelilingi Malang, seperti Penanggungan, Kawi, Panderman, Semeru, dan Arjuno.

Pada abad ke-18, kopi bahkan mengisi ruang-ruang kota hingga kaki gunung yang mengelilingi Malang, seperti Penanggungan, Kawi, Panderman, Semeru, dan Arjuno.

Jenis kopi yang pertama masuk adalah arabika. Dalam buku Tiga Abad Perjalanan Kopi di Indonesia, yang disusun oleh John Bako Baon, peneliti senior Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, perkebunan kopi menyebar di seluruh Jawa. Mulai dari Batavia, pesisir utara jawa seperti Cirebon dan Karawang, Pasundan, Jawa Tengah, serta Jawa Timur di pesisir dan pedalaman.

Di Jawa Timur, jumlah perkebunan kopi pernah mencapai 280-an yang tersebar di dataran rendah hingga dataran tinggi. Pada ratusan perkebunan kopi itu ditanam varietas robusta, arabika, liberika, atau campuran di antara ketiga jenis kopi tersebut.

Seorang surveyor Belanda, JL van Sevenhoven, pernah menelusuri jalur Malang-Kediri pada abad ke-18. Pada buku Sejarah Daerah Batu yang ditulis sejarawan Dwi Cahyono tahun 2011, dituliskan bahwa sang surveyor menemukan banyaknya kebun kopi. Kebun kopi yang terdekat dengan kota, menurut buku itu, berada di Distrik Penanggungan, di suatu tempat yang disebut Naya, yang kini dikenal dengan Dinoyo. Surveyor itu juga menemukan perkebunan kopi di Kaling atau Sengkaling. Luasan perkebunan kopi saat itu tidak masif meski ada di sepanjang jalan.

COLLECTION NATIONAAL MUSEUM van WERELDCULTUREN/TM-10012138

Menanam semak kopi di perusahaan kopi Klatakan, Jawa Timur, tahun 1940.

Kopi menjadikan Malang lebih modern pada abad ke-18. Sebelumnya, Malang dianggap sebagai daerah tak produktif karena kekurangan tenaga kerja. Perang Surapati atau Geger Suropaten memicu migrasi penduduk untuk mencari tempat domisili baru yang lebih menjanjikan. Kalaupun ada persawahan, luasannya terbatas.

“Malang baru dilirik sebagai kawasan potensial perkebunan setelah muncul tanam paksa. Tanah yang subur, sejuk, dan dikelilingi pegunungan cocok untuk perkebunan kopi arabika kala itu. Rintisan awal perkebunan kopi pun dimulai pada 1830-an di sekitar kota, seperti Dinoyo, Karangploso, Pakis,” tutur Dwi Cahyono.

Masuk ke pedalaman

Kopi menyebar pula di Lembah Ijen, lembah yang dulunya kawah purba Pegunungan Ijen. Hampir sama dengan Malang, kawasan kawah purba Ijen dikelilingi pegunungan dengan ketinggian 1.200-1.500 meter di atas permukaan laut. Ijen lebih tinggi daripada Malang Kota yang ketinggiannya sekitar 440 meter di atas permukaan laut.

Kompas/Hendra A Setyawan

Pabrik pengolahan kopi arabika peninggalan Belanda milik PTPN XII Kebun Kalisat, Bondowoso, Jawa Timur, Jumat (12/1/2018). Pabrik pengolahan kopi ini berdiri sejak tahun 1924 dan hingga kini masih difungsikan.

Banyuwangi, Jember, dan Bondowoso kemudian juga menjadi kota penyangga perkebunan, yang bahkan lebih ramai dibandingkan Malang. Dalam catatan Thomas Stamford Raffles, yang dimuat di buku The History of Java, Malang hanya berpenduduk 7.148 jiwa. Di sisi lain, penduduk Banyuwangi sudah mencapai 8.070 jiwa. Penduduk Besuki dan Panarukan bahkan mencapai 24.109 jiwa.

Pemerintah kolonial Belanda kemudian membangun empat perkebunan di plato Ijen, yakni Blawan, Kalisat-Jampit, Kalimas, dan Pancur Angkrek. Blawan menjadi salah satu kawasan perkebunan terluas, mencapai 1.333 bahu (1 bahu setara dengan 0,7 hektar) dengan hasil 6.272 pikul arabika pada tahun 1933.

Namun, Pancur Angkrek dengan luas lahan 1.080 bahu pernah mendapatkan hasil 9.000 pikul arabika (laporan tahun 1912). Itulah jumlah panen tertinggi yang pernah dicatat dalam sejarah panen di sebuah kebun kopi arabika.

Buruh menyortir biji kopi di perkebunan Bangelan, Jawa Timur, tahun 1920-1937.

Tidak hanya membangun kebun, pemerintah kolonial Belanda juga membangun dua pabrik besar kopi, yakni Blawan dan Kalisat-Jampit. Dari pabrik ini, dihasilkan greenbean atau kopi beras yang kemudian siap dikapalkan ke Eropa.

Kesuksesan pengapalan kopi ke Eropa membuat pemerintah kolonial Belanda membangun infrastruktur penunjang. Jalur rel kereta dibangun untuk menghubungkan kota-kota penyangga dengan kota perdagangan seperti Besuki. Hasil panen kopi dari Bondowoso, misalnya, dibawa ke Panarukan dengan kereta api. Geliat perkebunan kopi membuat pemerintah kolonial Belanda memindahkan kantor residen dari Besuki ke Bondowoso.

“Kopi membuat Bondowoso berkembang. Banyak tenaga kerja masuk. Wilayah Bondowoso semakin padat. Bondowoso akhirnya menjadi pusat politik karena potensi-potensi yang ia miliki. Pada 1856, Bondowoso resmi menjadi pusat pemerintahan Keresidenan Besuki,” ujar Nawiyanto, Guru Besar Sejarah Ekonomi dan Lingkungan Universitas Jember.

Pindahnya pusat pemerintahan dari Besuki ke Bondowoso menjadi penanda kejayaan kopi di ujung timur Jawa.

KOMPAS/ SUSI IVVATY

Stasiun Bondowoso, yang dibangun pada 1893, merupakan stasiun nonaktif yang paling bagus di antara semua stasiun nonaktif di Jawa Timur, Maret 2016.

Migrasi pekerja

Dwi Cahyono mengatakan, Belanda hampir selalu membuka lahan di kawasan lama atau purba. Mereka tak hanya memperhitungkan tanah, tetapi juga ketersediaan tenaga kerja. Tidak heran jika di kawasan perkebunan biasanya ditemukan banyak peninggalan prasejarah. Di Bondowoso, Banyuwangi, bahkan di Bogor, jejak prasejarah itu ditemukan.

Belanda mendatangkan pula pendatang dari luar. Pekerja dari Madura didatangkan dan dipekerjakan di perkebunan Malang, Jember, Banyuwangi, dan Bondowoso.

Suritno, salah seorang mandor di pabrik Kalisat-Jampit, adalah keturunan ketiga dari keluarga yang didatangkan dari Madura. Ia masih mengingat cerita kakeknya yang saat itu diperintah oleh Belanda untuk turut membabat hutan dan menanam kopi. Perjalanan dari Besuki ke Blawan yang mendaki sejauh lebih dari 50 kilometer, misalnya, harus ditempuh berhari-hari dengan berjalan kaki. “Mereka (warga lokal) di depan, adapun orang Belanda di belakang. Mereka berjalan membabat hutan untuk dijadikan jalan. Jika ada binatang buas yang menyerang, mereka (warga lokal) yang kena duluan,” ujarnya.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Bekas kantor administrasi perkebunan kopi Kalisat-Jampit pertama di kawasan perkebunan kopi Jampit, Bondowoso, Jawa Timur, Jumat (12/1/2018).

Sampai kini, keluarganya masih setia bekerja di perkebunan. Suritno jadi mandor, ayahnya dulu buruh di perkebunan. Para pekerja pendatang itu kemudian berbaur dengan penduduk lokal.

Seiring dengan kedatangan pekerja pendatang, masuk pula kesenian lokal dan budaya lokal Madura. Kesenian ini menjadi hiburan pelipur lara bagi pekerja. Janger, misalnya, dipentaskan saat musim petik kopi tiba. Bersama dengan janger, muncul pula gandrung, tarian lokal masyarakat Osing yang merupakan penduduk asli Banyuwangi.

Akhsan, Wakil Manajer Kebun Blawan PTPN XII, menyebutkan, kesenian itu dulu diberi tempat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk dipentaskan agar pekerja tak kembali ke kota. Mereka akan terus bertahan di perkebunan menggunakan upah mereka untuk bersenang-senang. Ketika upah habis, mereka akan bekerja lagi, begitu seterusnya. Kini, perayaan panen lebih banyak dirayakan dengan hal-hal religius.

Kesenian itu dulu diberi tempat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk dipentaskan agar pekerja tak kembali ke kota.

KOMPAS/ HENDRA A SETYAWAN

Cerobong pabrik pengolahan kopi milik PTPN XII Kebun Bangelan di kaki Gunung Kawi, Wonosari, Malang, Jawa Timur, Senin (8/1/2018). Kebun Bangelan menghasilkan kopi robusta yang diekspor ke Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang.

Perubahan

Kini, setelah dua abad berlalu, jejak kopi masih bisa dicecap. Bangunan-bangunan indie peninggalan Belanda masih banyak ditemukan di kawasan kota penyangga di dekat perkebunan di Malang, seperti Turen, Dampit, dan Lawang.

Kantor Bupati Malang yang ada di tengah kota Malang, misalnya, masih berdiri kokoh. Dulunya, bangunan itu merupakan tempat berkumpulnya cikar pembawa panen kopi.

Jalur penghubung Malang-Surabaya yang dibuka untuk memberikan akses perdagangan kopi ke Surabaya kini menjadi jalur tersibuk. Jalur itu tak lagi jalur setapak, tetapi jalur utama yang selalu padat.

Di sisi lain, kawasan-kawasan yang dulu dilintasi surveyor dari Belanda kini tak lagi ditanami kopi. Dinoyo, Sengkaling, dan Karangploso yang berada di Kota Malang menjadi permukiman padat penduduk. Karangploso berubah menjadi kawasan perumahan baru.

Kebun kopi hanya bertahan di kawasan rural Kabupaten Malang, antara lain Dampit, Ampelgading, dan Sridonoretno, yang kebunnya 90 persen robusta. Sebagian besar kebun itu merupakan perkebunan rakyat. Beberapa pabrik pengolahan kopi seperti Tretes Panggung di Dampit kini tinggal puing setelah dihancurkan warga seusai agresi militer Belanda yang kedua.

Wabah karat daun telah pula menyurutkan perkebunan kopi arabika di Jember, Pasuruan, Banyuwangi, dan sekitarnya. Di Jember, kopi tergeser tembakau dan tebu. Dampaknya, Jember lebih dikenal sebagai lumbung tembakau. Jember bahkan lebih ramai dan berkembang dibandingkan Bondowoso yang dulu masyhur dengan kopinya.

“Jember semakin menjadi daerah yang ramai karena ada migrasi pekerja perkebunan dari Bondowoso. Tanaman kopi sempat membuat lahan kritis. Pada awal abad ke-20, kebun kopi di sentra kopi Wringin tak lagi dapat ditanami kopi. Hal ini memaksa para pekerja perkebunan bermigrasi ke Jember,” ungkap Nawiyanto.

Kemunculan tembakau sebagai komoditas baru terjadi pada 1859. Saat itu, George Birnie dan Gerhard David Birnie sudah merintis berdirinya perkebunan swasta pertama dengan komoditas tanam tembakau. Perkebunan swasta pertama di Besuki justru muncul dari komoditas tembakau.

Kompas/Hendra A Setyawan

Pabrik pengolahan kopi arabika milik PTPN XII Kebun Kalisat di lembah Pegunungan Ijen, Bondowoso, Jawa Timur, Jumat (12/1/2018). Pabrik pengolahan kopi ini berdiri sejak tahun 1924 dan merupakan eksportir kopi arabika jawa ke sejumlah negara.

Empat perkebunan di Dataran Tinggi Ijen hingga kini masih bertahan. Selamat dari serangan karat daun, empat perkebunan itu masih memproduksi java coffee atau kopi jawa yang sejak berabad-abad lalu digemari dunia. Dengan pabrik dan sistem pengolahan yang masih kuno, mereka bertahan dengan pasar yang sama dengan 200 tahun silam.

Hal yang paling nyata adalah peleburan kebudayaan. Suku Madura berkembang di kota-kota penyangga perkebunan. Mereka berdampingan dengan suku lain yang sama-sama pendatang atau dengan suku asli seperti Osing dari Banyuwangi. Tiap-tiap kebudayaan antarsuku itu tetap hidup; Madura dengan bahasanya, Osing dengan tari gandrungnya, atau Jawa dengan wayangnya.

Kopi di kota-kota itu juga telah memasuki fase baru. Jika dulu kopi hanya diproduksi, kini kopi hadir sebagai bagian dari kehidupan warga itu sendiri. Kedai kecil hingga kafe bermunculan dan tak pernah sepi. Mereka memberi ruang bersosialisasi bagi warga kota, sekadar untuk menghabiskan waktu atau menciptakan sesuatu yang baru. Bisa jadi dari ruang-ruang sosialisasi itu akan muncul peradaban baru pada abad mendatang. Peradaban yang dibangun dari kultur ngopi! (SIWI YUNITA C/ANGGER PUTRANTO/DAHLIA IRAWATI)