Tidak hanya mendunia oleh rendang dan rumah gadangnya, Tanah Minang ternyata punya kopi Solok. Kini, belasan anak muda yang cinta bertani menebarkan virus cinta kopi pada dunia.
Para peserta coffee trip menapaki jalan setapak di lereng bukit Nagari Aie Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Minggu (28/1/2018). Embusan udara dingin mengantarkan mereka hingga ke puncak bukit.
“Sekarang kita berada di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut. Cocok untuk ditanami kopi jenis arabika,” kata Teuku Firmansyah (31), pengurus Koperasi Serba Usaha (KSU) Solok Radjo.
Ketika Firmansyah memberikan penjelasan, peserta kunjungan serius menyimak. Mereka datang jauh-jauh dari Pesisir Selatan, daerah yang berjarak 200 kilometer, dengan satu tujuan: ingin belajar tentang kopi. Mereka ingin belajar mulai dari budidaya, pengolahan, hingga strategi pemasaran.
Beberapa peserta pun mengatakan ingin sekali menjadi petani kopi. Mendengar itu, Firmansyah tersenyum. Sesuai permintaan mereka, ia pun mengajarkan cara menanam dan merawat kopi.
Selayaknya penyuluh lapangan, Firmansyah menjelaskan dengan rinci. “Pemangkasan dilakukan setelah tanaman berusia satu atau dua tahun agar pohonnya tidak terlalu tinggi. Sekitar 1,5 meter saja,” kata Firmansyah sembari menunjukkan batang kopi arabika milik petani setempat. Tingginya 1,5 meter, berumur dua tahun. Daunnya hijau mengilap dan rantingnya banyak. Pada ranting itu buah-buah kopi hijau bergelayut.
Selain memangkas bagian atas, lanjutnya, cabang-cabang yang tidak produktif dan terserang jamur juga harus dipangkas. Setelah itu, daun dan ranting yang jatuh ke tanah dikumpulkan, lalu dimasukkan ke dalam lubang yang digali di dekat batang. “Daun-daun itu akan menjadi pupuk organik,” ucap Firmansyah.
Hendrizal (28), salah seorang peserta, mengakui baru kali ini mendapatkan ilmu tentang budidaya kopi. Ia pun semakin bulat dengan rencana berkebun kopi. Lahannya sudah ada, yakni tanah warisan orangtua. “Namun, selama ini masih belum yakin apa aku bisa merawat kopi dengan baik,” ujarnya.
Penanaman kopi yang baik dimulai sejak pemilihan bibit. Sumber bibit harus dari buah merah yang sehat, yang tumbuh di pertengahan batang atas.
Ketika akan menanam, terlebih dahulu dibuat lubang seluas 60 cm x 60 cm. Jarak tanam tidak boleh rapat. “Ingat, berkebun tidak sebentar, tetapi untuk puluhan tahun. Kopi yang subur akan membuat kita semangat,” ucapnya. ”Lebih baik tanam sedikit tapi bagus perawatan daripada tanam banyak tapi tidak dirawat,” lanjut Firmansyah.
Setelah satu jam lebih berada di kebun kopi di atas bukit itu, peserta mulai kepanasan. Matahari semakin tinggi di atas kepala. Rombongan pun turun ke markas KSU Solok Radjo.
Sesi belajar tidak selesai sampai di situ. Setibanya di markas koperasi, mereka diajak berkeliling. Mereka melihat tempat pembibitan kopi hingga pengolahan pascapanen kopi. Pada akhir kunjungan, mereka menyaksikan video dokumenter tentang keberhasilan budidaya kopi di Gayo, Aceh, dan sebuah kebun di Afrika. Menjadi petani kopi telah menjadi pilihan banyak pemuda. Firmansyah dan rekannya, Windy Adhapa, pun menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) mereka. ”Lihat ini, pekerjaan saya petani,” kata Windy.
Firmansyah, beserta tiga rekannya, Alfadrian Syah, Ardi Sunarya, dan Bakri Rahman Syah, memotori terbentuknya KSU Solok Radjo. Sejak koperasi terbentuk tahun 2014, dampaknya kian luas. Tak hanya petani setempat yang semakin bersemangat mengembangkan kopi. Banyak pula masyarakat dari luar daerah datang untuk belajar kopi. Karena itu, mereka membuka program coffee trip.
Tak hanya petani setempat yang semakin bersemangat mengembangkan kopi. Banyak pula masyarakat dari luar daerah datang untuk belajar kopi.
Kopi Solok, kata Alfadrian alias Adi, sangat potensial. Kopi ini bahkan mendunia sejak abad ke-18. Kopi dari Solok, yang dijual melalui pelabuhan di Padang—sehingga sering kali disebut sebagai kopi Padang—diekspor ke Amerika Serikat dan sebagian negara di Eropa.
Karena aromanya lembut, asam dan manisnya berimbang, dengan sedikit lemon, kopi Solok kini mulai dicari-cari penggemar kopi dan pemilik kedai.
Sempat redup setelah kemerdekaan, kopi Solok akhirnya dibangkitkan kembali.
Jika semula harga buah kopinya Rp 6.500 per kg, kini koperasi membelinya dengan harga lebih tinggi Rp 1.000 per kg. Kenaikan harga itu menyemangati petani. Semakin banyak yang bergabung ke koperasi. “Saat ini, jumlah anggota koperasi sebanyak 887 petani, masih ada sekitar 2.000 petani yang belum bergabung,” kata Adi.
Melalui koperasi, petani mempelajari cara bertani yang baik, mulai dari pemilihan bibit, penanaman, perawatan, hingga pascapanen. Petani bahkan mendapatkan bantuan bibit. Koperasi menjadi sekolah alternatif bagi petani untuk meningkatkan kemampuan budidaya kopi.
Saat ini, perluasan tanam terus dilakukan. Lahan-lahan terbengkalai bekas tanaman pinus akan ditanami kopi. Pengurus koperasi telah memperoleh izin pengelolaan hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta pengelolaan hutan nagari dari nagari setempat.
Menurut Adi, kopi akan terus dikembangkan dengan segala daya. Dengan demikian, tak hanya kopinya yang mendunia, tetapi petani juga sejahtera. Ketika pariwisata juga dikembangkan, perekonomian daerah pun semakin maju. (IRMA TAMBUNAN/ZULKARNAINI MASRY)