Kabar cangkul yang membentur benda keras di kebun kopi milik Bulyadi segera meluas dan menggemparkan. Masyarakat Desa Jujun di Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, pun mulai ikut menggali tanah. Semakin gemparlah mereka sesaat setelah menyingkap wujud benda keras itu.

Sebuah batu, yang meskipun masih samar penampakannya, tampak berbentuk tubuh manusia. Penggalian pun dilanjutkan. Bersama sejumlah arkeolog, penggalian itu semakin menampakkan hasil. Batu sepanjang hampir 2 meter dengan ukiran pahatnya memperlihatkan rupa tubuh laki-laki tanpa telapak kaki di ujung utara serta tubuh perempuan di ujung selatan.

Tak jauh dari situ, tampak pula belasan arca batu kuno. Mereka angkat satu per satu batu itu. Tampaklah bebatuan gunung yang berukuran besar. Lebih unik lagi, hampir seluruh bebatuan itu berukir. Ada yang berbentuk pahatan tubuh manusia. Lalu, di tempat lain, ada pula pahatan berbentuk gajah, harimau, anjing, dan kuda.

Namun, yang paling menarik adalah pahatan berbentuk spiral yang tersebar di sejumlah lokasi. Motif spiral yang dimaknai sebagai pemujaan pada matahari, serupa dengan temuan arkeologi lain di berbagai belahan bumi ini, seperti di Mesir, Yunani, hingga wilayah Asia Timur.

Sejak penemuan itu, Bulyadi mulai mengerti. Peradaban masa lalu pernah singgah di kebun kopinya. “Memang, ketika sering kali saya mencangkul, tiba-tiba membentur sesuatu yang keras. Kini, saya yakini itu adalah sisa peradaban yang terkubur,” katanya.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Hamparan lahan kawasan hutan produksi yang berada di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Kecamatan Air Hangat Timur, Kabupaten Kerinci, Jambi, Selasa (23/1/2018). Kawasan yang dulunya ditanami sayuran dan cenderung merusak tanah itu kini mulai berganti dengan kopi yang lebih bisa menjaga kesuburan tanah dan berumur panjang.

Sampai sekarang, pada usia kebun yang mencapai 50 tahun, ia masih sering menemukan pecahan gerabah. Dapat dikatakan, penemuan itu tidak ada habis-habisnya.

Ketika Kompas mampir ke kebun tuanya itu, Januari 2018, misalnya, Bulyadi sedang membersihkan lantai kebun dari rumput liar di bawah tanaman kopi. Tiba-tiba, tampak di tangannya sejumlah pecahan gerabah baru. Temuan baru itu segera ia kumpulkan.

Beberapa di antaranya merupakan pecahan badan periuk dan tutup. Ada pula gerabah yang telah berpahat dengan motif spiral, garis diagonal, dan garis sulur. “Temuan ini akan saya laporkan ke balai (Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi),” ujarnya.

Cerita terputus

Setidaknya tiga generasi terakhir sebelum Bulyadi masih buta soal kisah peradaban kuno di desa mereka. Tidak pernah ada cerita turun-temurun perihal bebatuan kuno.

Sejauh yang mereka pahami, orang tua pernah mengingatkan, misalnya, agar jangan memindahkan jauh-jauh bebatuan dari tempatnya semula, apalagi menjualnya.

KOMPAS/ IWAN SETIYAWAN

Warga berkumpul di rumah Rustam, salah seorang sesepuh warga, di Desa Jujun, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Jambi, Jumat (19/1/2018). Setiap berkumpul, disajikan kopi kawa, minuman yang dibuat dari seduhan daun kopi yang sudah dikeringkan.

Satu-satunya hal yang mungkin bisa dikaitkan adalah masih hidupnya beragam ritual adat setempat, misalnya tradisi pengobatan ngubat, meramal kopi, dan kenduri sko. Ritual-ritual itu dapat menjadi bukti masih lekatnya hubungan masyarakat pada arwah nenek moyang, terlepas bahwa agama telah menyentuh peradaban sekarang.

Berdasarkan penelitian, peradaban besar pernah berkembang di wilayah itu 10.000 tahun sebelum Masehi. Peradaban menyebar di desa-desa tua yang kini menjadi sentra perkebunan kopi dan kayu manis. Letaknya menghampar di lembah-lembah Pegunungan Bukit Barisan, mulai dari Kerinci di Jambi, Pagaralam dan Lahat di Sumatera Selatan, hingga perbatasan Bengkulu.

Temuan dan ekskavasi situs megalitik di dataran tinggi Jambi itu dilakukan pertama kali tahun 2009 oleh peneliti Balai Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, Tri Marhaeni. Disimpulkan bahwa sudah ada peradaban sejak masa protosejarah melalui temuan keramik China dari Dinasti Han dan benda perunggu dari kebudayaan Dongson di Vietnam.

Belakangan, kawasan itu juga dilintasi jalur perdagangan maritim sebagai pemasok hasil tambang, hutan, dan kebun, salah satunya adalah kopi.

Di Kerinci, temuan purbakala banyak didapati tak hanya di Jujun, tetapi juga desa-desa sekitarnya yang mengelilingi Danau Kerinci. Di Desa Muak, misalnya, terdapat situs Batu Patah. Ada lagi situs Kubur Tempayan Talang Semerah. Belum lagi, ditemukan batu-batu obsidian di sekitar tempayan kubur. Batu itu merupakan ciri budaya materi masa Mesolitik hingga Megalitik.

Pamong budaya sekaligus pelestari peninggalan arkeologis Kerinci, Iskandar Zakaria, mengatakan, beragam temuan itu mencerminkan sudah terbentuknya peradaban di sana sejak masa zaman batu tengah atau Mesolitikum. “Sampai sekarang pun saya masih sering tanpa sengaja mendapati peninggalan-peninggalan masa lalu. Masih banyak terkubur di tanah,” ujarnya.

Sejarah membuktikan kebesaran nama Kerinci di masa lalu. Tak hanya karena peradaban besarnya pada masa prasejarah, di awal abad ke-19 pun Kerinci tersohor sebagai salah satu pemasok kopi dunia. Bahkan, cita rasanya diakui istimewa.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Anggota Koperasi Solok Radjo menjemur buah ceri merah kopi arabika di fasilitas pengeringan milik koperasi di Desa Aie Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Sabtu (27/1/2018).

Dalam buku All About Coffee karya William H Ukers, ditulis bahwa kopi Kerinci yang saat itu disebut ”Corinchie” dihasilkan dari kultivasi alami. Cirinya, biji kopi berukuran besar-besar, tampak bagus, dan berwarna coklat. Disebut pula soal rasanya yang menarik, “Good body, plenty of bitter acid, delicious flavor”.

Kini, kebun tua Bulyadi masih produktif, hasilnya kerap disebut dengan nama kopi Arab. “Karena dulunya kopi ini dibawa masuk Kerinci oleh jemaah yang naik haji ke Arab,” katanya.

Namun belakangan, ia menambah tanaman baru robusta di sela-sela kopi Arab. Tanaman kopi muda memberi hasil panen lebih banyak. Namun, kopi Arab tetap dirawat dan buah merahnya dijadikan bibit. Kisah masa lalu dan sekarang akhirnya menyatu sebagai harga karun di tengah kebun. (IRMA TAMBUNAN/ZULKARNAINI MASRY)