Pernah dicap sebagai perambah hutan, puluhan petani di Kerinci akhirnya dengan sukarela meninggalkan hutan. Mereka kemudian beralih memulihkan lahan-lahan kritis lewat kopi. Cerita kopi akhirnya tak hanya semata bicara keistimewaan rasa dan aroma, tetapi juga terkait penyelamatan lingkungan.

Paidirman (42) tidak lagi dirundung gusar. Sebatang kopinya yang berusia lima tahun menghasilkan 10 kilogram buah merah per tahun. Dengan mengolahnya menjadi biji gabah yang bernilai Rp 25.000 per kilogram, dari 1.800 batang kopinya, Paidirman memanen Rp 135 juta per tahun!

Bunga dan buah kopi berkembang pesat. Tanaman penaung melindunginya dari terpaan angin kencang dan hujan. “Hasil buah kopi tetap melimpah,” katanya, di kawasan Renah Pemetik, penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Kabupaten Kerinci, Januari 2018.

Kondisi itu berbanding terbalik dari krisis kopi yang belakangan melanda berbagai wilayah negeri ini. Di sebagian Sumatera, panen raya biasanya berlangsung akhir tahun, tetapi kini telah mundur. Tak ada panen pada akhir tahun 2017. Di Flores, hasil panen merosot hampir 70 persen akibat tingginya curah hujan. Adapun di Toraja masa panen kian pendek. Belum lagi serangan karat daun yang mengganas.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) menelusuri kekacauan itu sebagai dampak pemanasan global. Tanpa upaya khusus, lembaga itu memprediksi situasinya akan makin sulit. Kondisi itu miris di tengah peningkatan kebutuhan kopi dunia yang bakal naik 4 kali lipat menjadi 1,2 juta ton.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Lahan kritis bekas ladang sayur yang ditinggalkan di Desa Aie Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Sabtu (27/1/2018). Lahan ini akan ditanami kopi arabika oleh anggota Koperasi Solok Radjo agar kembali produktif dan mencegah bencana.

Untuk menghadapi situasi itu, pensiunan peneliti Puslitkoka, Jauhari, menasihati Paidirman dan para petani soal pentingnya perawatan tanaman. Jika petani telaten, produktivitas kopi akan melesat setelah tanaman berusia di atas lima tahun. Setiap batang kopi dapat menghasilkan rata-rata 15 kilogram per tahun.

Dengan asumsi petani menanam rata-rata 1.500 batang kopi per hektar, dapat dibayangkan volume panen. Apalagi, produktivitas buah dapat mencapai 22.500 kg per hektar per tahun atau hampir 4 ton biji beras (greenbean). Hasil itu melampaui produktivitas kopi Brasil dan Vietnam, apalagi produktivitas nasional yang masih 0,7 ton.

Kuncinya, kata Jauhari, ada pada strategi perlindungan. Bersama aktivis lingkungan dan pemilik usaha Agro Tropik, Emma Fatma, mereka mengembangkan konsep budidaya kopi berbasis agroforestri. Mereka menyasar lahan-lahan kritis untuk dipulihkan. Lahan Paidirman salah satunya.

Setelah disuburkan dengan pupuk kandang, lahan ditanami kopi arabika. Beragam varietas pun disebar dalam satu hamparan. Tujuannya, untuk menangkal serangan hama dan penyakit. “Ketika satu varietas terserang penyakit, varietas lainnya menjadi tidak mudah tertular. Serangan hama pun jadi lebih terkendali,” kata Emma.

Arabika dipilih karena cocok dengan ketinggian wilayah itu yang mencapai 1.400 meter di atas permukaan laut. Harga jualnya pun lebih tinggi, hampir tiga kali lipat kopi robusta.

Pengembangan kopi berkonsep agroforestri tak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga sekaligus menyelamatkan alam. Budidaya kopi didorong seiring dengan penanaman pohon pelindung, seperti lamtoro, cempaka, surian, dan alpukat. Ke depan, hamparan itu berubah tak hanya subur, tetapi bahkan menjadi seperti hutan kembali.

Dikejar aparat

Paidirman pun mengenang kehidupannya sebagai perambah TNKS sekitar 10 tahun silam. Awalnya, segalanya mudah. Hanya bermodalkan parang, ia menebas semak yang menutup lahan. Hutan pun diubah menjadi kebun kopi.

Belakangan, ia kerap dikejar-kejar aparat polisi kehutanan. Perawatan tanaman jadi tak maksimal. Hasil kopi minim, tak sebanding dengan besarnya risiko keamanan. “Rasanya tidak tenang dikejar-kejar petugas (patroli hutan),” ujarnya.

Satu ketika, Emma mengajak petani berdiskusi. Persoalan dibahas dan dicari jalan keluarnya. Masalah utama adalah kerusakan lahan garapan lama. Itu akibat penggunaan pupuk berlebih untuk pertanian kentang.

Menyadarkan petani awalnya tidaklah mudah. “Mereka bilang, jangan ajarkan kami cara bertani. Di sini, biji kopi dilempar saja bisa tumbuh,” kata Emma mengulang kisah.

Emma tidak menyerah. Dia menyediakan bibit gratis dan menggandeng Jauhari sebagai ahli kopi untuk membimbing petani. Tahun 2010, kopi ditanam pada lahan seluas 10 hektar milik 10 petani. Upaya itu berbuah hasil.

Tiga tahun kemudian, panen perdana memuaskan. Menyaksikan keberhasilan itu, petani lain tertarik. Luasan lahan kritis yang dipulihkan pun akhirnya terus meluas.

Hingga Januari 2018, pemulihan lahan kritis telah mencapai 90 hektar. Lahan itu ditanami 135.000 batang kopi dan 36.000 tanaman pelindung. Sebanyak 79 keluarga petani akhirnya mengelola kebun kopi. Mereka yang semula merambah hutan kini berbalik menghutankan lahan kritis dengan kopi.

Hutan adat

Tak kalah istimewa kisah kopi di lembah-lembah Pegunungan Bukit Barisan di Solok, Sumatera Barat. Kopi ditanam untuk menghutankan kembali bukit-bukit gundul akibat kebakaran.

Kisah kopi di Solok berawal dari kegairahan petani kopi setelah terbentuknya koperasi Serba Usaha (KSU) Solok Radjo. Melalui koperasi, petani belajar cara bertani yang baik. Mereka kini menjadi mahir membibitkan, menanam, merawat tanaman, hingga mengelola hasil panen. Koperasi menjadi sekolah alternatif bagi petani untuk meningkatkan kemampuan budidaya kopi.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Perkebunan kopi arabika kini menggantikan perkebunan sayur yang sebelumnya mendominasi pemanfaatan kawasan hutan produksi di Renah Pemetik, Kecamatan Air Hangat Timur, Kabupaten Kerinci, Jambi, Selasa (23/1/2018). Kawasan di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat ini sekarang kembali menghijau sepanjang tahun setelah tanaman kopi mulai ditanam warga.

Persoalannya, ketika gairah pasar akan kopi arabika Solok meningkat, petani belum sanggup memenuhi. Alam justru berulah sehingga hasil panen turun karena bunga-bunga kopi rontok diterpa angin dan hujan.

Kini, para petani melirik lereng-lereng bukit gundul di sekitar Desa Aie Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti. Lereng-lereng bukit gundul itu ingin dipulihkan. Caranya, dengan menanam kopi sekaligus tanaman kehutanan. “Kalau alamnya bisa pulih kembali, hasil kopi akan lebih baik,” kata Alfadriansyah, Ketua KSU Solok Radjo.

Sistem perlindungan kopi, untuk menyiasati ancaman perubahan iklim, juga dibuat oleh petani di Desa Dolok Tolong, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi. Setiap jalur kopi, misalnya, dinaungi lamtoro. Kebun pun kini menjadi teduh.

Sejalan dengan itu, tanaman kopi aman dari terpaan hujan deras, angin kencang, hingga teriknya matahari. “Di sini, kopi aman dari ancaman kerusakan,” ujar Walmanso Simbolon, petani kopi Dolok Tolong.

Di Jawa Timur, hutan dan kopi bersandingan. Petani menjaga tegakan pohon untuk menghindari erosi dan penaung kopi. Kerja sama penggunaan hutan produksi dan kopi itu ada karena kerja sama Perhutani, Pemerintah Kabupaten Bondowoso, dan petani.

Salah satu warga yang memanfaatkan lahan hutan untuk menanam kopi ialah Mat Hosen. Luas kebun kopi yang ia kelola sekitar 2 hektar. Kebun kopi itu ada di tengah hutan di Sumberwringin Bondowoso yang berada di lereng sebelah barat Gunung Ijen.

Sejumlah pepohonan besar memiliki tajuk yang cukup rindang. Di bawahnya tanaman kopi masih dapat tumbuh dengan subur. Mat Hosen mengaku sama sekali tidak pernah menebang bahkan mematahkan cabang pohon yang ada di lahan yang dikelolanya.

“Untuk apa ditebang? Justru pohon-pohon besar itu punya fungsi sebagai ‘payung’ bagi tanaman kopi kami. Tajuk yang cukup rapat membuat tanaman kopi tidak mendapat panas berlebihan dan tidak terkena air hujan secara langsung,” ujarnya.

Terik matahari yang berlebihan membuat buah dan tanaman kopi cepat kering dan mati. Sementara hujan deras juga mengancam produktivitas kopi karena bunga kopi bisa rontok sebelum menjadi buah.

Karena alasan itulah, petani kopi seperti Mat Hosen lebih memilih membiarkan tanaman besar tumbuh sebagai naungan tanaman kopi. Selain menjadi naungan, daun-daun dari tanaman keras tersebut juga dapat difungsikan sebagai pupuk kompos bagi tanaman kopi.

Kompas/Hendra A Setyawan

Biji kopi hasil panen petani di Desa Srimulyo, Dampit, Malang, Jawa Timur, Selasa (9/1/2018). Kawasan ini merupakan penghasil utama kopi robusta di Malang.

Suyitno, petani kopi lain di lereng Ijen, mengatakan, petani biasa membuat selokan sebagai bagian dari perawatan tanaman. Selokan tersebut dibuat di antara tanaman kopi satu dengan lainnya. Selokan tersebut memiliki lebar sekitar 40 sentimeter dengan kedalaman 60 sentimeter.

“Jarak selokan ke pohon sekitar 1 meter, sementara jarak antartanaman 2 meter hingga 3 meter. Selokan itu digunakan untuk memasukkan rumput kering dan dedaunan agar menjadi kompos bagi tanaman sekitarnya,” ungkap Suyitno.

Ia menuturkan, petani kopi di lereng Gunung Ijen saat ini hampir tak menggunakan bahan kimia. Diakuinya, dahulu ada beberapa petani menggunakan bahan kimia, tetapi hasilnya tanaman dan pohon naungan justru mati.

Penggunaan pestisida kimia juga tidak dilakukan. Petani khawatir penggunaan pestisida kimia justru merusak rantai makanan. Mereka lebih merasa yakin dengan proses alam dan membiarkan musuh alami hama yang memberantas hama tersebut.

Saat ini, luasan kebun kopi rakyat mencapai 14.000 hektar. Bupati Bondowoso Amin Said Husni mengatakan, tahun 2020, target luasan kebun kopi rakyat di Bondowoso mencapai 20.000 hektar “Tahun ini kami akan mengembangkan kopi di lahan baru milik Perhutani di lereng Gunung Argopuro. Di sana potensi lahan yang bisa ditanami kopi seluas 10.000 hektar. Namun, untuk tahap pertama kami mencoba mengembangkan seluas 500 hektar,” tuturnya.

Tak hanya memperluas lahan, Pemerintah Kabupaten Bondowoso juga tengah menggarap pengembangan kluster kopi di lereng Gunung Argopuro. Pengembangan kluster ini juga membuka program pendampingan baru di Gunung Argopuro. (ZULKARNAINI/IRMA TAMBUNAN/ANGGER PUTRANTO)