Namanya typika, varietas dari arabika. Varietas ini kini tergolong langka di Indonesia. Typika menjadi istimewa karena rangkaian kisah panjang dalam sejarah kopi dunia. Kopi ini bahkan pernah jadi juara kopi di Eropa dan masih diburu di pasar Amerika.
Typika dibawa dari Kannur, Malabar, ke Jawa oleh para serdadu VOC tahun 1696. Inilah kopi pertama yang ditanam di Nusantara meski penanaman pertama kali itu gagal. VOC pun kembali membawa bibit ini untuk ditanam di Cianjur, Jawa Barat. Dan, di tanah Preanger itulah, typika kemudian tumbuh subur.
Dalam buku The Road To Java Coffee, yang ditulis Prawoto Indarto, varietas typika itu disebut varietas Jawa. Typika jawa kemudian mendapatkan perhatian dunia saat memenangi lelang kopi di Amsterdam tahun 1711. Harganya, ketika itu, melebihi harga kopi dari Mokha yang tersohor. Sejak itulah, kopi ini menyebar mengikuti arus perkembangan kopi dunia.
Di Nusantara, kopi typika kemudian ditanam di Sulawesi pada 1740 sebelum akhirnya menyebar ke penjuru Nusantara seiring era sistem kerja paksa. Pada 1707, bijinya diperbanyak dan disebar ke seluruh kebun botani ternama Eropa. Dari Kebun Raya de Royal Jardine de Plantes Paris, tanaman itu dibawa menyeberangi samudra ke Martinique, koloni Perancis di Karibia. Dari Karibia, typika jawa menyebar ke Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
Menyeruput typika seperti halnya menyeruput sejarah. Ada cerita manis dan pahit di dalamnya. Dalam buku 300 Tahun Kopi di Nusantara, yang ditulis oleh John Bako Baon, dikisahkan pemerintah kolonial Belanda berhasil melunasi utang senilai 12 juta gulden tahun 1802 dalam waktu setahun hanya dengan komoditas kopi! Mereka bahkan bisa membangun infrastruktur dan gedung-gedung perkotaan di Belanda dan Jawa.
Sistem tanam paksa, termasuk di dalamnya penanaman kopi, yang diprakarsai Johannes van den Bosch pada 1830-1870 juga menjadi cerita pahit. Petani menghabiskan waktu untuk kerja paksa. Sawah tak terurus, dan melahirkan bencana kelaparan di Cirebon (1840), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Thomas Stanford Raffles dalam The History of Java juga menyebutkan, banyak warga yang lari ke hutan untuk bebas dari sistem tanam paksa.
Menghilang
Industri kopi Jawa kemudian terguncang pada tahun 1876 akibat penyakit karat daun. Hampir seluruh perkebunan yang berada di bawah ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut hancur. Prawoto Indarto menuturkan, Jawa kehilangan 120.000 ton potensi ekspornya. Kota-kota yang bergantung pada kopi mulai surut. Pusat penelitian dibangun, tetapi karat daun telanjur tak terkendali.
Di dunia, kopi jawa kini sulit dicari. A cup of java jadi barang mahal. Di Amerika, ada banyak kopi yang diklaim sebagai kopi jawa. Sampai pada akhirnya Kementerian Pertanian Amerika Serikat mengeluarkan fatwa bahwa hanya kopi yang ditanam dari Jawa yang berhak disebut java coffee.
Di dalam negeri, kebun-kebun kopi arabika typika justru telanjur digantikan dengan robusta yang didatangkan pada 1900. Setelah masuk, robusta terus berkembang pesat. Dalam buku 100 Tahun Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, kebun arabika disebut kembali semarak dengan masuknya varietas lini S dari India, disusul catimor dari Brasil dan Kolombia pada 1970.
Typika kini masih bisa dijumpai meski tidak lagi banyak. Di Flores, typika disebut sebagai zuria, di Aceh disebut bergendal yang berarti bukit atau gunung, di Toraja kopi ini disebut bungin.
Di Enrekang, typika ditemukan di Pegunungan Latimojong, Sulawesi Selatan. Sutarjo, master trainer arabika, mengatakan, masuknya varietas baru nyaris memusnahkan jenis typika, tetapi dinas pertanian mengajak warga kembali mengurusi typika.
”Di beberapa wilayah, seperti Nating, Katabi, dan Pojappong, di mana typika masih ada, kami mencoba memulihkan dengan cara, misalnya, menyambung pucuk dengan varietas arabika lainnya. Indukan typika yang masih tersisa kembali dipelihara. Ada juga yang ditanam kembali dengan mengambil bibit dari indukan yang tersisa. Ini adalah upaya untuk tetap mempertahankan typika yang sekarang sedang banyak dicari,” tuturnya.
Di Jawa, kopi ini terawetkan di perkebunan Ijen di Kalisat-Jampit milik PTPN XII. Kebunnya tidak luas, hanya sekitar 9 hektar. Produktivitasnya pun rendah, tidak lebih dari 400 kilogram per hektar. Tanamannya pun terlihat kurus, dengan daun yang ramping dan panjang. Sangat berbeda dengan varietas lain yang terlihat hijau dan lebat. Namun, typika selayaknya saus yang memberi rasa pada aroma kopi lain. Typika menjadi bagian dari kopi specialty, yang punya pasar khusus di dunia.
Berlino Mahendra, Direktur Utama PTPN XII, memasarkan typika untuk pasar lokal. Harganya dapat mencapai Rp 70.000 secangkir atau Rp 295.000 per 250 gram biji sangrai. Grade yang diperolehnya mencapai nilai 93.
Di Pegunungan Tengah Papua, di ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut, hamparan kebun typika ternyata terawetkan pula. Perkebunan kopi rakyat di Mapia, Kabupaten Dogiyai, menjadi tempat berkembangnya si langka typika. Tanaman itu bahkan tumbuh tanpa pupuk dan pestisida.
Warga Papua masih mengolah dengan tradisional, menumbuk dengan batu. Typika pun ditumbuhkan dari biji-biji yang jatuh di tanah. Kopi dari kebun itu sudah diperdagangkan walau jumlahnya masih terbatas. Perdagangan itu diinisiasi oleh Koperasi San Insidor, di Paroki Maria Menerima Kabar Gembira, Bomomani Mapia, dan Kepastoran Santa Maria Ratu Rosario, Modio. Kopi disangrai dan dijadikan bubuk.
Typika dengan cerita panjangnya, kini menjadi bagian dari kekayaan plasma nutfah Nusantara. (SIWI YUNITA C/IRMA TAMBUNAN/GREGORIUS MAGNUS FINESSO)