Ada yang tak biasa saat menyambangi kebun kopi di Desa Cikandang, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Selasa (23/1/2018). Buah kopi arabikanya matang kuning. Padahal, Jawa Barat dikenal sebagai penghasil biji kopi arabika berbuah merah. Masyarakat setempat mengenalnya dengan sebutan kopi koneng, bahasa Sunda untuk kuning.

“Ini adalah kekhasan kebun kopi kami. Hanya ada di Cikandang,” ujar Uloh Sutarman (44), tokoh petani kopi setempat.

Tampilan kopi koneng juga berbeda karena mudah rontok saat kemarau panjang. Namun, kopi ini diklaim lebih tangguh karena tidak disukai hama pengerat buah. Sekali panen, hasilnya 5 kilogram lebih banyak dari kopi merah yang sekitar 4 kilogram. “Kemarau dan hama pengerat bisanya memicu kerugian 30 persen,” kata Uloh.

Namun, lanjutnya, populasinya terbatas. Baru sekitar 40 persen dari 119 hektar kebun kopi di Cikandang yang ditanami kopi koneng. Tidak heran apabila harga buah kopi koneng lebih tinggi, mencapai Rp 7.500-Rp 8.000 per kg, dibandingkan harga buah kopi merah yang sekitar Rp 7.000 per kg.

“Kopi ini juga dikenal hingga Korea Selatan. Tahun lalu, diekspor sebanyak 42 ton. Nilai uji cita rasanya 86,97,” ujar Uloh.

Kehadiran kopi koneng di Cikandang terbilang unik. Sekitar 10 tahun lalu, bibitnya dibawa oleh Mr Kubo, pengusaha teh asal Jepang yang membuka lahan di Garut. Diyakini, biji kopi itu dibawa Kubo dari Brasil. Dugaan itu tidak keliru. Berdasarkan penelitian Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar tahun 2015, kopi koneng diduga turunan jenis Caturra asal Brasil.

Di antara gerimis Garut dan guncangan gempa bumi yang keras, perbincangan kopi koneng pun berlanjut.

Uloh pun mengatakan, biji kopi koneng yang ditanam di Garut perlahan menyesuaikan diri dengan tanah vulkanis Garut. Rasanya ada manis, asin, pahit, dan asam. Saat diseruput, kopi koneng bercita rasa jeruk, cokelat, dan punya tebal tipis rasa seimbang.

Akan tetapi, dia tidak ingin berpuas diri dengan anugerah alam itu. Tak sekadar membiakkan pohon kopi koneng, Uloh terus mendalami pengetahuannya terhadap tanaman kopi.

Pernah gagal

Persentuhannya dengan kopi dimulai saat Uloh diminta salah seorang pengusaha asal Jakarta untuk menggarap kopi di Garut pada awal 2006. Luas lahannya mencapai 30 hektar dengan jumlah pohon mencapai 50.000 pohon. Namun, dia pernah gagal. Hanya dibantu enam rekannya, ia kesulitan menanam kopi terbaik. Namun, dia tidak pernah menyerah, apalagi dia yakin bahwa kopi punya masa depan.

“Lagi pula, bila terlalu banyak menanam sayur, saya khawatir Cikandang bakal dilanda longsor karena tidak ada pohon penyangganya,” katanya.

Dia lalu belajar secara otodidak. Dia juga pergi ke Pangalengan, salah satu sentra kopi di Kabupaten Bandung. Satu pesan yang diingatnya: untuk menjadi pengusaha kopi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mempunyai kebun dulu.

Uloh pun mulai membenahi lahan dengan mengatur lokasi penanaman kopi. Kesuksesan tidak serta-merta langsung menghinggapi Uloh. Tak jarang dia dicibir petani lain. Dibandingkan dengan sayur yang panen 3-4 bulan, petani kopi harus sabar menanti panen pertama hingga 3-4 tahun. Apalagi, ketika dia mulai menanam kopi, harganya hanya Rp 1.500-Rp 2.500 per kg.

“Setelah enam tahun gagal, baru enam tahun terakhir saya benar-benar menikmati kopi,” ujarnya.

Pertemuannya dengan Dedy Affandi (45), teman masa kecilnya, juga memberikan banyak manfaat. Dedy, arsitek yang memilih tinggal di Garut demi ketenangan hidup yang tidak ia temukan di Jakarta, punya banyak ilmu dan koneksi bertanya tentang kopi.

Keduanya kemudian membidani Koperasi Karya Mandiri pada 2013, sebagai pusat transfer ilmu dan penjualan kopi. Tujuannya, agar petani tak dikendalikan tengkulak dan saling banting harga demi keuntungan tak seberapa. Petani dijamin mendapat harga tinggi karena akses pasarnya lebih tertata.

“Kebetulan saya sangat suka mendampingi warga. Setelah membuat kampung sentra domba di Cikajang, saya tertarik belajar bersama petani kopi di sini,” kata Dedy. Cikajang adalah salah satu kawasan sentra penghasil domba garut unggulan di Jabar.

Perlahan kopi menjadi primadona. Harganya merangsek naik setelah ditanam dan diolah dengan benar. Masyarakat yang awalnya mencibir pun ikut menanam kopi. Tidak sekadar jadi tanaman pagar, kopi perlahan jadi komoditas utama.

“Petani mulai paham, menanam sayur ternyata harus punya modal besar, tapi dengan keuntungan yang tak beranjak. Harus selalu mulai dari nol saat mulai musim tanam. Ini berbeda dengan kopi. Hanya sekali tanam, tapi umurnya panjang,” tutur Dedy.

Untuk menjamin transparansi, digelar pertemuan tahunan pada bulan Agustus bagi anggota kelompok tani. Uloh menyebutkan, biayanya ia keluarkan sendiri dari hasil penjualan kopi, Rp 8 juta-Rp 9 juta per pertemuan. Dimulai dengan pemaparan hasil penjualan, pembagian hadiah sekadarnya, hingga ditutup dengan dangdutan bersama.

“Ketekunan petani patut dihargai. Di sana juga jadi ajang evaluasi. Jika ada petani yang hanya untung sedikit, bisa langsung dibantu untuk menyelesaikan masalahnya oleh petani lainnya,” kata Uloh.

Menurut Dedy, perlahan petani mulai sejahtera. Bila dulu buah kopi hanya dihargai Rp 1.500 per kg, kini harganya mencapai Rp 7.000 per kg. Namun, Dedy mengajak petani tidak berpuas diri. Dia dan Uloh selalu menekankan bahwa untung bisa lebih besar apabila mulai mengembangkan proses pascapanen.

Ia mencontohkan, jika buah kopi diolah jadi gabah, harganya bisa mencapai Rp 24.000 per kg. Bahkan, jika sudah diolah jadi biji kopi, bukan tidak mungkin harganya melonjak jadi Rp 100.000-Rp 300.000 per kg.

Ke depan, Dedy dan Uloh mengatakan akan mulai fokus mengembangkan kopi koneng. Tahun ini, mereka berencana membibitkan 100.000 bibit kopi koneng. Menurut rencana, kopi tersebut akan ditanam lagi di lahan seluas 3 hektar.

“Kopi koneng sudah terbukti mantap. Kopi ini dapat bertahan di tengah cuaca yang tidak menentu, punya hasil lebih banyak, dan punya harga jual lebih tinggi. Semuanya sangat berpotensi membawa petani di sini sejahtera,” ujar Uloh. (BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/CORNELIUS HELMY)

Biodata

Nama: Dedy Novandi Affandi

Lahir: Bandung, 3 November 1973

Pendidikan terakhir: Program Studi Arsitektur Universitas Parahyangan (lulus 1997)

Nama: Uloh Sutarman

Lahir: Garut, 10 Februari 1974

Pendidikan terakhir: SD Cikandang (lulus 1986)