Kopi dan gula terekam larut dalam sejarah peradaban negeri ini. Pada masa lalu, ketika pengetahuan dan teknologi belum meluas, masyarakat mencari cara menikmati kopi. Pahitnya minuman hitam itu diredam dengan beragam siasat. Kopi-kopi tradisional itu kini tetap bertahan di tengah ramainya tren mencicip rasa kopi asli.
“Mari dicicip. Kopinya tebal, tetapi terasa ada sedikit manis alami, kan. Lebih segar,” ujar Rosmina (35), warga Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Muaro Jambi, Jambi, Kamis (10/5/2018).
Di Pulau Sumatera, air nira dan gula aren telah dimanfaatkan sebagai bahan alami pemanis kopi, jauh sebelum masuknya gula pasir.
Ia menuangkan hasil seduhannya ke gelas-gelas, lalu membagi-bagikannya kepada seluruh tamu. Tebersit penasaran, para tamu pun segera menyeruput minuman yang disebut-sebut spesial itu.
Minuman kopi itu memang spesial. Sebab, untuk menyeduhnya, mereka harus melewati sebuah tradisi menderas batang pohon enau atau nira.
Selang satu atau dua jam, tertampunglah hasil tetesan air dari pohon itu ke dalam sebuah wadah. Sekilas lebih tampak seperti air kelapa. Sewaktu dicicip, rasa manisnya segar dan alami. Namun, air tak segera diminum.
Rosmina memanaskan air nira terlebih dahulu di dalam ceret. Hingga air mendidih, air itulah yang digunakan menyeduh bubuk kopi. Rasa kopi menjadi sedikit manis. Mereka menyebut minuman itu dengan nama kopi tuak.
Dalam bahasa Melayu setempat, tuak berarti nira. Minuman ini tidak memabukkan sebagaimana air tuak yang menjadi minuman tradisi di Sumatera Utara. Nira tidak sempat mengalami fermentasi, tetapi dikonsumsi tak lama setelah dideras airnya.
Di Pulau Sumatera, air nira dan gula aren dimanfaatkan sebagai bahan alami pemanis kopi, jauh sebelum masuknya gula pasir. Saat berkunjung ke Sumatera pada abad ke-13, Marco Polo menuliskan catatannya tentang tanaman enau atau pohon nira yang banyak tumbuh di dataran rendah pulau itu. Ia sebutkan, dikutip dalam catatan yang disusun Anthony Reid dalam buku Sumatera Tempo Doeloe(1995), mengenai sebuah pohon bercabang empat.
Masyarakat di Aceh meletakkan tempayan-tempayan di samping cabang-cabang pohon tersebut. Dalam waktu sehari semalam, tempayan itu akan terisi.
Minuman yang dihasilkan dari situ sangatlah enak untuk diminum, juga merupakan obat yang serbaguna. Belakangan diketahui, pohon yang dimaksud adalah nira.
Setelah delapan abad berlalu, kini air dari hasil sadapan pohon nira masih dimanfaatkan masyarakat.
Tak hanya di Sumatera, nira dan kopi juga lekat di masyarakat adat Osing Banyuwangi. Di Desa Banjar, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, masyarakat Osing menikmati kopi dengan potongan gula nira.
Untuk dinikmati bersama kopi, nira diolah secara khusus. Air sadapannya dimasak dalam kuali besar di atas tungku kayu tradisional hingga mendidih. Ketika mengental, nira yang disebut dengan ketek banyu atau ketek semut ini dicetak bulat-bulat, lantas disajikan sebagai pelengkap minum kopi.
”Kopinya kopi pahit robusta yang dipetik di kebun dan diolah petani sendiri. Cara menikmatinya cukup dengan menggigit gula dan menyeruput kopinya,” ujar Muhammad Lutfi, salah satu pamong dan warga Banyuwangi.
Cangkir itu hanya keluar pada saat-saat tertentu, seperti saat menerima tamu penting.
Minuman ini biasanya ada pada acara tertentu, seperti pesta perayaan sadap nira. Seusai perayaan, warga bisa menikmati kopi sambil menikmati sejumlah atraksi kesenian desa.
Saat menyuguhkan kopi, warga akan mengeluarkan cangkir kopi yang kecil dan tipis yang menjadi warisan keluarga mereka. Cangkir itu hanya keluar pada saat-saat tertentu, seperti saat menerima tamu penting.
Cara unik dilakukan pula oleh masyarakat di Kerinci dan Sumatera Barat. Minuman kopi mereka nikmati dari hasil rebusan daun kopi yang telah layu dan kering. Rasanya tidaklah sepahit minuman kopi umumnya. Mungkin lebih tepat disebut teh daun kopi atau disebut kawa.
Sebagian besar orang menikmati kawa dalam wadah tempurung kelapa. Diminum saat masih hangat airnya begitu menyegarkan. “Badan pun jadi terasa lebih bersemangat,” kata Bulyadi, warga Keliling Danau, Kerinci.
Agar lebih terasa manis, mereka pun menambahkan gula aren pada minuman. Bongkahan gula dimasukkan ke tempurung kelapa. Lalu, didiamkan sebentar atau tempurung diputar-putar agar gulanya lumer dan minuman pun terasa lebih manis.
Belakangan, budidaya tebu berkembang di Nusantara. Produksi gula pasir pun melimpah. Pasokannya yang meluas hingga pelosok mulai menggantikan gula aren dan air nira.
Sebagian warga di pedalaman Dataran Tinggi Gayo pun kini memanfaatkannya sebagai pelengkap seduhan kopi. Tebu tidak hanya diolah menjadi gula pasir, tetapi juga gula merah.
Dalam keadaan masih menguar panasnya, biji kopi diaduk-aduk dengan mentega dan beberapa butir telur.
Lain tempat, lain pula tradisi berkopi. Selain manis, sebagian warga pun mengolah kopi sedemikian rupa agar minuman kopi terasa lebih gurih, lebih tebal, dan lebih berbobot.
Di Muaro Jambi, misalnya, santan kelapa asli dan gula aren dijerang. Setelah mendidih dan mengental, langsung dituangkan ke dalam gelas yang berisi bubuk kopi. Minuman kopi santan terasa gurih dan lembut manisnya.
Di sentra pengolahan kopi Ulee Kareng, Banda Aceh, kopi yang baru selesai disangrai dipindahkan ke dalam sebuah wadah. Lalu, dalam keadaan masih menguar panasnya, biji kopi diaduk-aduk dengan mentega dan beberapa butir telur. Penambahan bahan-bahan ini berkhasiat menghasilkan minuman kopi yang lebih gurih dan tebal.
Tak sekadar kopi
Kopi pun menumbuhkan tradisi ngopi atau nongkrong di kedai. Di Surabaya, mengopi diyakini ada sejak awal abad ke-20. Kota ini tak punya kebun kopi, tetapi menjadi pusat perdagangan kopi di Nusantara.
Dari buku telepon terbitan 1930, Dukut Imam Widodo, penulis buku Monggo Dipun Badhog, mencatat, ada sejumlah kafe ngopi di Surabaya. Kafe itu antara lain Café De Karsebom di Jalan Gemblongan, Café Biljart De Kroom di Jalan Van Deventerlaan, Café Neutraal di Jalan Lange Gattottan, dan Café Biljart Tonny di Jalan Baliwerti. Sayang seluruh kedai kopi itu tidak ada lagi jejaknya pada masa kini.
Ada pula kedai kopi yang diyakini berdiri tahun 1950-an. Kedai kopi sekaligus warung makan yang dikelola oleh warga non-keturunan Belanda atau Eropa antara lain Warkop Sarkam di Jalan Nyamplungan dan warkop di Gang Pabean Kulon V, yang keduanya berada dalam kawasan wisata religi Sunan Ampel.
Sebelum muncul warkop yang menetap, mengopi adalah bagian dari cangkrukan atau nongkrong. Pengunjung biasanya mengelilingi lapak pikul minuman kopi sambil membicarakan masalah harian. Lapak juga menyediakan penganan tradisional, antara lain grobyak, jemblem, bledus, lopis, atau telek kucing.
Harganya yang murah meriah membuat orang senang dan betah duduk di kursi panjangnya.
Tradisi wedangan dan ngangkring juga hidup di Yogyakarta. Indro Kimpling Suseno (57), warga Yogyakarta yang berprofesi sebagai penyelenggara acara, pernah bercerita, saat dirinya muda, wedangan adalah bagian dari pergaulan. Di wedangan, mereka menikmati teh atau kopi sambil makan gudeg dan duduk lesehan.
Wedangan pun berkembang menjadi angkringan, gerobak kecil dengan kursi panjang. Makanan yang disajikan angkringan sederhana, sego kucing (nasi sambal dan lauk porsi mini), tempe mendoan, pisang goreng, teh, jahe gepuk, hingga kopi.
Harganya yang murah meriah membuat orang senang dan betah duduk di kursi panjangnya. Tempat ini biasanya jadi tempat diskusi anak-anak Yogyakarta hingga malam.
Kini, selain tradisi ngangkring, anak muda punya kebiasaan baru, nongkrong di kafe atau kedai kopi.
Kebiasaan minum kopi di Sumatera bagian utara pun terekam pada catatan kolonial. Antropolog dari Universitas Negeri Medan, Erond Damanik, mengatakan, kalangan elite atau pejabat perkebunan sawit pada abad ke-18, misalnya, kerap minum kopi bersama di hotel-hotel. Sebut saja di Hotel De Boer, Grand Medan, Siantar Hotel, Grand Brastagi Hotel, atau Grand Parapat Hotel.
Perilaku minum kopi di kalangan planters ini sering pula berlangsung di klub-klub khusus ”kerah putih” pada akhir pekan yang berlangsung di Witte Societeit di Medan atau Simalungun Club di Pematang Siantar.
“Di tempat ini, tema pokok pembicaraan ialah seputar kebijakan perkebunan pemerintah kolonial, membaca koran dan buku, dancing, sampai tukar-menukar informasi seputar perkebunan dan lain-lain,” tutur Erond.
Di luar itu, terdapat restoran seperti Jankie atau kini disebut dengan Tiptop Restaurant yang turut menyajikan kopi.
Kini, meluangkan waktu di sela kesibukan dengan minum kopi pun kian jamak. Meski akrab dengan ajakan “mari kita ngopi”, sebenarnya itu lebih menyiratkan ajakan untuk berkumpul dan berbincang, bagaimanapun cara menyajikan kopinya.(AIN/ITA/BRO/SIG/NIT)