Tidak mudah berburu kopi terbaik di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Perjuangan itu dialami tim Jelajah Kopi Nusantara Kompas, pertengahan Februari 2018. Selain merasakan buruknya akses infrastruktur dan transportasi, Kompas juga harus pontang-panting menapak hingga puncak-puncak bukit, ceruk hutan, di tengah cuaca tak bersahabat.
Siapa tak kenal Waerebo? Kampung adat yang tersembunyi di antara perbukitan Pulau Flores. Waerebo selama ini lebih dikenal karena kearifan lokal dan arsitektur rumah adatnya walau ternyata Waerebo adalah salah satu penghasil kopi terbaik Flores.
Kampung Waerebo dikelilingi gunung. Jarak Waerebo dari Pos Satu, di mana perjalanan kendaraan bermotor berhenti, sekitar 5 kilometer. Dari Pos Satu ke Waerebo, kami harus berjalan kaki mendaki gunung selama sekitar 3,5 jam.
Kami tiba di Pos Satu pendakian Waerebo pada Rabu (7/2/2018) pukul 15.00 Wita. Selanjutnya, kami melangkah menuju Perkampungan Adat Waerebo, yang secara administratif masuk Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai.
Tim Jelajah Kopi Kompas kali ini beranggotakan Gregorius Magnus Finesso dan Videlis Jemali (reporter), Totok Wijayanto (fotografer), serta Rony Kuncoro (videografer). Pendakian sore itu berlangsung dalam kondisi langit bersih tanpa awan.
“Padahal, Selasa lalu, di sekitar sini turun hujan lebat disertai angin kencang. Kita termasuk beruntung,” ujar Marten Forma (50), warga Waerebo yang memandu kami dari Denge, desa terakhir.
Total rombongan kami berjumlah tujuh orang. Selain kami berempat dan Marten, ada dua porter yang disewa untuk membawa perlengkapan. Kami membutuhkan porter terutama untuk membawa peralatan fotografi dan dokumentasi video yang cukup banyak dan tentu berat.
Jejak hujan lebat dan angin kencang yang terjadi malam sebelumnya terlihat dari sejumlah pohon yang tumbang dan melintang di jalan setapak. Dedaunan dan tanah di sepanjang lintasan pun masih basah. Meski demikian, jalanan tidak licin karena kebanyakan dipenuhi bebatuan kecil.
Waerebo dalam satu dekade terakhir ramai dikunjungi wisatawan berkat tujuh rumah berbentuk kerucut atau mbaru niang dalam bahasa Manggarai, bahasa yang digunakan warga setempat.
Waerebo terletak di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut. Hampir seluruh warga di Waerebo adalah petani kopi. Mereka menanam kopi di sekitar rumah dan kebun mereka di lereng-lereng gunung.
Menantang
Sulitnya jalur ke Waerebo langsung terpampang sejengkal setelah Pos Satu. Kami langsung menghadapi tanjakan yang membentuk sudut elevasi 45 derajat. Tanjakan itu mencapai sekitar 700 meter.
Tanjakan itu membuat kami ngos-ngosan. Rerimbunan pepohonan sepanjang jalur tak berhasil membendung keringat mengucur. Beberapa personel tim acap kali berhenti sekadar mengambil napas sejenak, terkadang sambil berkacak pinggang. Bukan bergaya, tapi kehabisan napas.
Saya sedikit beruntung karena terbantu tongkat rotan yang disewa dari seorang warga di Pos Satu seharga Rp 10.000. Sekitar 100 meter sebelum Pos Dua, terdapat kali kecil. Pengunjung bisa mereguk air dari kali tersebut secara langsung. Hitung-hitung, untuk menambah tenaga dan menyegarkan tenggorokan dengan air gunung.
“Wah, napas mulai menipis. Kalau begini, jadi ingat mesti rajin olahraga,” ucap Gregorius.
Kami tiba di Pos Tiga pukul 18.15 Wita. Di sini, semua pengunjung beristirahat sejenak. Dari sini pula, pemandu memukul bambu untuk memberi tahu warga kampung dan pengelola wisata bahwa ada tamu yang datang ke Waerebo.
Dari Pos Tiga, bubungan rumah kerucut atau mbaru niang mulai terlihat. Sebelum masuk rumah adat untuk upacara, saat menanggalkan sandal, saya baru sadar dua lintah menggigit kaki saya. Selama perjalanan, tak sedikit pun keberadaan dua binatang pengisap darah tersebut saya sadari. Saya memang tidak memakai sepatu, hanya bersandal untuk trekking.
Selesai upacara, kami diantar menuju salah satu mbaru niang yang dipakai untuk tempat inap. Di situ, yang kami cari sudah menanti: secangkir kopi khas Waerebo.
“Tak diragukan lagi, ini jenis robusta,” kata saya setelah menikmati satu tenggakan kopi. Memang betul, kopi yang tersaji jenis robusta, yang merupakan salah satu jenis kopi yang dibudidayakan masyarakat Waerebo selain arabika.
Kopi hitam kental dan sedikit terasa pahit itu mampu mengusir hawa dingin Waerebo. Menyeruput kopi pada malam itu merupakan penawar besar setelah tertatih-tatih berjalan selama 3,5 jam dari Pos Satu ke Kampung Waerebo. Kopi pun terasa lebih nikmat dari biasanya.
Kampung Liur
Setelah menikmati kopi di Waerebo, kami berniat bertandang ke Kampung Liur, sebuah dusun terpencil di Desa Rana Mese, Kecamatan Sambirampas, Kabupaten Manggarai Timur. Kami ingin melihat bagaimana petani kopi beragama Katolik dan Islam hidup berdampingan penuh damai dan toleransi.
Persoalannya, akses menuju lokasi itu sulit karena berada di perbukitan dengan akses infrastruktur buruk. Sopir yang mengantar kami dari Labuan Bajo saja langsung mengernyitkan dahi begitu mendengar tujuan kami itu. Di Ruteng, dia terang-terangan keberatan mengantar kami hingga Kampung Liur.
Minggu (11/2/2018) pagi, kami berangkat menuju Kampung Liur dari Pastoran Paroki Colol, tempat kami menginap karena kemalaman di perjalanan. Setelah berpamitan kepada Romo Sonny, pastor paroki yang kebetulan teman saya sewaktu sekolah, kami melanjutkan perjalanan menggunakan mobil.
Awal perjalanan, jalan masih lumayan. Setelah 1,5 jam perjalanan, jalan berlubang mulai menghadang. Wajah Fredo, sang sopir, mulai masam. Mungkin, karena mobil yang dia kendarai hanya biasa dibawa melahap jalanan mulus di jalur utama Pulau Flores.
Jalanan semakin rusak. Kian sulit menghindari lubang-lubang menganga yang kadang dalamnya hingga 20 sentimeter dengan diameter rata-rata 1 meter. Hingga di satu jalanan berlubang, Om Fredo pun berujar, “Saya berhenti di sini saja.”
Om Fredo ternyata tidak bisa lagi dibujuk. Mungkin, dia khawatir pada mobilnya. Namun, kami benar-benar berhenti di lokasi yang tidak ada mobil pengganti lainnya.
Setelah saling menengok satu sama lain, kami pun satu demi satu turun dari mobil. Perjalanan masih jauh, tak mungkin kembali. Saat mencoba bertanya-tanya apakah ada ojek yang bisa mengantar, dari kejauhan tampak sebuah bus hendak melintas ke arah kami.
Segera saja terpikir ide untuk menyewa bus tersebut. Kami beruntung, bus itu memang menuju Desa Rana Mese. Akhirnya, setelah mengambil perlengkapan liputan, kami berempat langsung menumpang bus.
Mobil diparkir di Watunggong, Kecamatan Sambi Rampas, titik pertengahan antara Colol dan Liur.
Perjalanan dengan bus menghabiskan waktu 45 menit dengan tarif Rp 50.000 untuk empat orang. Dengan kondisi jalan berlubang, deru mesin bus sama kencangnya dengan benturan pintu dan lantai bus, getaran kaca jendela, dan onderdil lain.
Jalanan kian ekstrem. Aspal mengelupas, menyisakan kerikil-kerikil lepas menghampar hampir di sepanjang jalan. Kondisi ini diperparah kontur jalan yang curam. Setelah 1 jam perjalanan, sampailah kami di pertigaan Desa Rana Mese, tepatnya Kampung Wangkar.
Kami rehat sejenak di rumah mantan Kepala Desa Rana Mese, Rofinus, sambil menunggu sejumlah warga Kampung Liur turun menjemput kami. Sajian pisang goreng dan kopi cukup menenteramkan hati selepas pusing sepanjang perjalanan dengan bus.
Tak lama kemudian, empat pemuda muncul dengan sepeda motor masing-masing. Setelah bersiap, kami langsung melaju dengan sepeda motor mendaki jalan menanjak menuju Kampung Liur.
Sempat ada insiden saat salah satu rantai sepeda motor yang kami tumpangi terlepas. Namun, akhirnya kami tiba di Liur pukul 12.00 Wita. Kami berkumpul bersama-sama dengan umat Katolik dan Islam di rumah imam Masjid Fatahillah Liur, Jakob Ladus (62).
Dalam suasana penuh tawa, kami menikmati kopi. Hujan siang hingga sore itu tak mendinginkan suasana karena pelbagai obrolan ringan yang asyik dan tentu saja suguhan kopi toleransi yang menghangatkan.
Menumpang otokol
Selesai liputan, kami kesulitan pulang ke Watunggong karena hujan tak kunjung reda. Kami tetap berniat nekat naik sepeda motor, tetapi tiba-tiba suara truk menderu dari arah utara. Bus kayu yang lebih dikenal dengan nama “otokol” itu menuju Ruteng.
Gregorius dan Totok langsung melompat ke otokol, sementara saya dan Rony tetap naik sepeda motor mendahului truk ke Wangkar. Kami mesti mengembalikan sepeda motor milik Rofinus.
Dari Wangkar, kami berempat kemudian kembali menumpang otokol. Perjalanan ditemani gerimis. Tiris hujan pun masuk ke dalam bus karena jendela hanya berupa ventilasi.
Otokol merupakan salah satu angkutan favorit di Manggarai Raya. Bus tersebut bisa menjangkau pelosok, baik di jalan yang rusak maupun jalan yang belum diaspal. Otokol memang bukan bus seperti di Jawa, tetapi merupakan truk yang dipasangi bak kayu menyerupai bentuk bus.
Panjang bak otokol biasanya 5 meter. Bangku-bangku dijejer di dalam bak. Bangku di otokol yang kami tumpangi untungnya dilapisi busa, tidak hanya papan kayu.
Otokol juga tidak dilengkapi penyejuk ruangan sehingga kami kepanasan di dalamnya. Temuan lain adalah pengeras suara berukuran besar yang dihadapkan langsung ke kursi-kursi penumpang. Kami kerap menutup telinga apabila suaranya begitu memekik.
Dari dalam otokol pula, kami merasakan betul infrastruktur jalan yang buruk. Tubuh tidak pernah tenang karena kendaraan selalu berguncang. Kami menahan sensasi tersebut dalam diam.
Hanya Totok yang banyak bergerak dengan terus menjepret panorama berupa sawah berundak-undak yang diselingi sungai dan pegunungan. Ia sepertinya tak peduli pada suasana di otokol. Alam Flores yang eksotis sungguh telah memikat dirinya. (VIDELIS JEMALI/GREGORIUS MAGNUS FINESSO)