Perburuan kopi di Pulau Flores belum tuntas rasanya jika tidak singgah di Dataran Tinggi Colol, Kabupaten Manggarai Timur. Di Dataran Tinggi Colol, terdapat kopi juria, varietas juara yang konon termasuk tanaman kopi tertua di Manggarai Raya.

“Kebanyakan kopi juria di lereng gunung karena termasuk kopi tua yang dibudidaya di Colol,” ujar Agustinus Songsi (45), petani kopi di Dataran Tinggi Colol, Desa Uluwae, Kecamatan Poco Ranaka Timur, Kabupaten Manggarai Timur, saat menemani Kompas menelusuri kebun-kebun juria, Sabtu (10/2/2018). Kebun-kebun itu berada pada ketinggian 1.200-1.400 meter di atas permukaan laut.

Kopi juria bercirikan, antara lain, batang tegak lurus, tinggi berkisar 4-5 meter, dan daun kecil. Selain itu, jarak antarranting lebih rapat, tidak serimbun arabika atau robusta. Biji juria juga lebih besar dan jika disangrai aromanya tajam.

Juria masuk ke Colol pada 1950-an. Bibit kopi tersebut dibawa Rudolf Kawur, tokoh warga yang merantau ke Makassar, Sulawesi Selatan. Dari bibit yang sedikit, juria berkembang dan menjadi salah satu varietas favorit petani. Cita rasa juria kaya cokelat, melon, kacang, dengan rasa manis. Juria diyakini merupakan varietas arabika typika.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Agustinus Songsi, petani kopi di Desa Uluwae, Kecamatan Poco Ranaka, Manggarai Timur, NTT, menunjukkan sisa-sisa pohon kopi jenis juria, Sabtu (10/2/2018). Juria yang dibudidayakan sekitar 50 tahun lalu saat ini sudah jarang ditemui karena sebagian sudah digantikan dengan jenis arabika dan robusta.

Kini, luas kebun kopi juria di Colol tersisa 50-60 hektar dari total lebih dari 10.000 hektar lahan kopi di daerah yang merupakan cikal bakal kopi di Manggarai Raya. Tanaman kopi juria terdesak oleh jenis arabika dan robusta yang batangnya lebih ramping. Selain itu, juria juga jarang berbuah lebat setiap tahun. Biasanya, juria dapat dipanen raya sekali dalam dua tahun.

Ketua Asnikom Ludovikus Vaderman mengatakan, saat menuju matang, daun kopi juria gugur total, hanya terlihat buah kopinya hingga panen. Kala memanen pohon yang tingginya mencapai 5 meter itu, petani harus memanjat dan berdiri pada sebuah bambu panjang yang dibentangkan antardahan tanaman. Bambu ini membantu petani agar lebih mudah menjangkau dahan yang tinggi.

Sakral
Bagi petani, varietas juria juga disakralkan. Mereka tak berani mengganti varietas tersebut dengan tanaman baru. Juria dianggap telah menyatu dengan tanah dan leluhur mereka. Pembibitan ulang juria di lokasi lain juga tak pernah sebaik tanaman asli.

“Kami juga punya pantangan menebang pohon yang ditanam leluhur. Kami tidak punya hak karena itulah yang dulu memberi kehidupan bagi mereka,” ujar Agustinus. Walau sebelum juria masuk, tahun 1920-an, petani Colol juga telah mengenal kopi yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Meski cita rasanya istimewa, mirisnya, juria selama bertahun-tahun dijual ke pasar dengan harga sama dengan kopi lain. Harganya berkisar Rp 25.000-Rp 35.000 per kilogram dalam bentuk greenbean.

Harga juria baru mulai melambung setelah Asnikom yang berdiri pada 2012 memulai promosi. Lembaga tersebut memang menjembatani pedagang kopi dengan petani. Sejak saat itu, juria dijual hingga Rp 100.000 per kg kopi beras.

Agustinus, misalnya, turut menikmati keistimewaan harga juria. Pada 2015, dari 1 hektar lahan, ia memanen 100 kg. Artinya, ia mendapat Rp 10 juta. Namun, pada tahun 2016 dan 2017, dua tahun berturut-turut tanaman juria tak berbuah. “Tahun ini diperkirakan panen lagi 100 kg,” ujarnya. (VIDELIS JEMALI/GREGORIUS M FINESSO)