Selama hampir seabad, petani tak pernah tahu nikmatnya meminum kopi arabika (Coffea arabica). Hasil panen tak diolah menjadi minuman. Kopi itu disangka merupakan bahan pembuat mesiu.
”Kalau diminum, kamu bisa mati,” kenang penyair asal Gayo, Fikar W Eda, Desember 2017. Ia menirukan nasihat ayahnya sewaktu dirinya masih kecil.
Sejak kopi arabika dibawa masuk Belanda ke tanah Gayo, tahun 1904, beragam mitos merebak. Biji kopi itu disebut-sebut hanya berguna sebagai bahan pembuat mesiu. Karena itulah masyarakat dilarang mengolahnya.
Mitos lain yang berkembang, minum kopi arabika bisa bikin rambut berwarna keputihan. Persis seperti rambut pasukan penjajah dari Belanda sehingga orang Gayo menjadi takut.
Masyarakat akhirnya hanya menikmati kopi yang tumbuh liar di hutan.
Lebih parah lagi, mitos itu dikait-kaitkan dengan keyakinan. Petani disebut kafir jika meminumnya.
Masyarakat akhirnya hanya menikmati kopi yang tumbuh liar di hutan. Yang diolah pun daunnya saja, yang mereka sebut kewe atau kawa.
Selanjutnya, ketika kebun kopi meluas di tanah Gayo, hasil buahnya dijual kepada pedagang-pedagang kopi. Lalu, kopi dipasok kepada perusahaan kongsi dagang Belanda (VOC).
Setelah tumbuh besar dan merantau ke Jakarta, Fikar baru mengetahui hal yang sebenarnya. Mitos-mitos itu dibangun tujuannya untuk meraup hasil kopi arabika sebesar-besarnya dari petani Gayo.
Tanah yang sangat subur di tanah Gayo merupakan penghasil komoditas kopi bercita rasa terbaik. Gayo pun sejak lama dikenal sebagai salah satu kopi termahal di dunia.
Baru saya sadari, betapa bodohnya kami selama ini. Hidup dalam mitos yang dibangun sekian lama.
Sewaktu mampir di sebuah kedai kopi di Jakarta, Fikar heran. Beragam menu minuman kopi arabika ditawarkan. Setelah dicoba, rasanya memang berbeda. Harganya pun mahal.
Beberapa kali ia mampir di kedai, lalu kembali mencicipi minumannya. Semakin ia menyukai. Rasanya tak pahit. Tidak seperti kopi yang setiap hari diminum ayahnya. Malah ada sedikit manis, asam, dan aroma yang unik sehingga minum kopi tidak perlu ditambah gula.
Pintu kesadaran akhirnya terbuka. ”Baru saya sadari, betapa bodohnya kami selama ini. Hidup dalam mitos yang dibangun sekian lama,” katanya.
Tumpuan hidup
Sejak budidayanya berkembang di tanah Gayo, awal abad ke-20, kopi menjadi tumpuan hidup masyarakat. Tanaman itu tersebar di hamparan berlahan subur. Lokasinya mencakup perbukitan barisan Sumatera, ekosistem Leuser, dan sekeliling Danau Laut Tawar. Letaknya di Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tengah, dan Bener Meriah.
Luasan panen kopi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh tahun 2016, mencapai 103.148 hektar. Adapun data Kementerian Pertanian menunjukkan, luas kebun kopi di Gayo mencapai 121.226 hektar (2017). Hamparan itu menjadi kebun kopi arabika rakyat terluas di negeri ini.
Hasil beras biji kopi (greenbean) mencapai 43.410 ton per tahun. Lebih dari 80 persen kopi Gayo diekspor ke luar negeri.
Mitos keliru seputar kopi arabika dipercaya selama puluhan tahun oleh petani di sekeliling Danau Toba hingga kaki Gunung Sinabung, Sumatera Utara. Petani tak pernah sekali pun menikmati hasil kopi arabika. Padahal, tanaman itu mereka rawat dengan susah payah.
Pada masa lalu, semua hasil kopi dipasok untuk pemerintah kolonial. Praktiknya terus berlanjut setelah era kemerdekaan.
Hingga kini, warga terbiasa menikmati minuman kopi robusta. Arabika hanya untuk dijual. Harganya pun lebih mahal. “Yang kami tahu, kopi ini untuk bahan peledak. Tapi, di mana pabrik pembuatannya, kami tak tahu,” kata Dahlia, petani di Desa Ndokusiroga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo.
Hamparan kebun kopinya di lereng Gunung Sinabung belakangan ditanami dua jenis kopi. Arabika mengisi hampir seluruh areal kebun, sedangkan batang robusta ditanam jadi pembatas kebun.
Dalam penjelajahannya di Nusantara, bangsa Belanda akhirnya mengetahui bahwa kopi arabika sangat cocok ditanam di Pulau Sumatera. Penanamannya pun digenjot. Hingga kini luas kebun kopi di Nusantara mencapai 1,2 juta hektar. Lebih dari setengahnya menghampar di Sumatera.
Kopi daun
Mitos serupa pernah diterapkan penjajah di tanah Minangkabau. Namun, bagi masyarakat Minang yang telah menanam kopi jauh sebelum kedatangan Belanda, mitos tak mengasingkan mereka dari kopi. Pasalnya, telah lama kehidupan masyarakat lekat dengan tradisi meminum kopi daun atau kawa.
Sejarawan Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, memperkirakan tradisi minum kopi daun telah membudaya sejak abad ke-16 atau ke-17.
Masyarakat mengolah daunnya yang telah dilayukan di atas api dengan cara digodok. Minuman ini lebih disukai karena rasanya lebih lembut, tetapi memberikan sensasi segar dan menyenangkan.
Sewaktu Belanda menerapkan sistem tanam paksa kopi pada akhir abad ke-19, orang Minangkabau diperintahkan untuk menanam bibit kopi juga. Hasil panen harus disetor ke gudang kopi (pakhuis) pemerintah.
Namun, ujar Mestika, bagi orang Minang, itu bukan masalah. Soalnya, lidah orang Minang berbeda dengan lidah penjajah. Orang Minang lebih suka minuman kopi daun. Biji kopi tidaklah lebih penting dari daunnya. (IRMA TAMBUNAN/ZULKARNAINI/NIKSON SINAGA)