Kawasan Ulee Kareng bagai tak pernah tidur. Silih berganti orang menyambangi kedai-kedai kopi demi secangkir minuman dan serangkai cerita. Dari subuh hingga tengah malam, kedai kopi paling dicari.

Ratusan bangku telah terisi. Namun, beranjak sore, kian ramai pengunjung mendatangi Kedai Kopi Solong di Jalan Iskandar, Ulee Kareng, Banda Aceh, Rabu (20/12/2017).

Di salah satu sudut kedai, Ali (65) berbincang santai dengan seorang rekan. Minuman kopi dan sepiring kue basah tersaji di hadapan mereka.

”Beginilah nikmatnya hidup. Sore-sore mampir ke sini buat ngopi sambil ngobrol. Hmmm…,” ujar Ali sembari menyeruput kopinya.

Sanger diartikan kopi saling pengertian. Bubuk kopinya dikurangi dan diseduh di dalam gelas kecil. Harga pun lebih murah.

Sejak berdiri tahun 1974, kedai itu bagaikan rumah kedua. ”Subuh selepas shalat, langsung mampir. Ngopi. Ngobrol. Lalu, sorenya mampir lagi,” lanjutnya.

Ali pun akrab dengan para peracik kopi. Kalau tanggal muda, biasanya ia mendapatkan seporsi minuman kopi tebal. Memasuki tanggal tua, pesanan beralih ke kopi ”sanger”.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Suasana kedai kopi Solong Coffee, Ulee Kareng, Banda Aceh, Aceh, yang ramai dikunjungi penikmat kopi, Rabu (20/12/2017).

Sanger diartikan kopi saling pengertian. Bubuk kopinya dikurangi dan diseduh di dalam gelas kecil. Harga pun lebih murah. ”Pokoknya, menyesuaikan situasi di kantong,” ucapnya sembari tertawa.

Di Banda Aceh masih banyak kedai kopi tua. Mereka bertahan dengan cara seduh tradisional, yakni dengan teknik saring kain. Selain Solong, ada juga Kedai Cut Nun dan Kedai Cut Zen.

Kedai-kedai itu berhasil melintasi zaman dan generasi. Semua kedai itu kini dikelola oleh generasi kedua.

Solong menjadi kedai kopi tertua, sekaligus primadona penghasil kopi robusta di kawasan produksi kopi Kecamatan Ulee Kareng. Keunikan cita rasa kopinya khas.

Tebal tetapi tidak pahit gosong. Bubuk kopinya pun murni. Tidak bercampur tepung jagung atau beras.

Yang menarik adalah hangatnya suasana masa lampau di dalam kedai. Pengunjung akrab bercakap-cakap. Jarak antarmeja berdekatan.

Sering kali mereka bertemu dengan sesama teman dalam kedai. Bahkan sampai ada istilah, kalau mau mencari si anu, datanglah ke Solong. Itu karena orang yang dimaksud hampir sepanjang hari berada di kedai.

Sejumlah pekerja menggiling hasil sangraian kopi di belakang kedai. Aroma wangi kopi pun menguar.

Aroma khas robusta memang selalu memenuhi ruangan kedai itu. Di dapur terbuka, para barista sibuk menyeduh kopi.

Mereka menggunakan metode penyeduhan saring. Keterampilan barista Solong menyeduh kopi bisa menjadi atraksi tersendiri bagi pengunjung.

Setelah bubuk kopi diseduh dengan air mendidih, saringan kopi yang berada di dalam wadah diangkat tinggi-tinggi. Tangan kiri memegang wadah, sedangkan tangan kanan memainkan saringan ke atas lalu ke bawah. Naik dan turun dengan cekatan. Sari kopi pun mengucur dari ujung saringan.

Teknik penyaringan itulah yang membentuk rasa kopi robusta yang mantap. Semakin tinggi tangan diangkat, ditahan di atas, makin tebal sari kopinya tersaji.

Sementara tambahan gula atau susu bergantung pada selera pemesan. Sebagian orang lebih suka menikmati kopi robusta tanpa gula. Memang, jika disangrai dengan sempurna, kopi robusta takkan pahit.

Solong mempekerjakan tiga barista. Mereka telah bekerja lebih dari 15 tahun dan sudah hafal selera pelanggan.

Sepanjang kedai masih buka, pesanan minuman tak kenal henti. Itu sebabnya, barista harus diganti setiap tiga jam. Jika dibiarkan bekerja kelelahan, itu dapat menurunkan cita rasa kopi seduhannya.

Tak hanya barista. Bubuk kopi juga cepat diganti. Satu kilogram bubuk hanya untuk menyeduh 70 hingga 80 cangkir.

Sejarah Solong

Kedai Kopi Solong dirintis oleh Muhammad Saman (96). Orang-orang memanggilnya Abu Solong. Saat ditemui Kompas di rumahnya, Desember lalu, Muhammad menceritakan kisah di balik nama Solong.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Muhammad atau dikenal dengan Abu Solong, pendiri Solong Coffee Ulee Kareng.

Awalnya ia bekerja di sebuah produksi kopi di Peunayong, Banda Aceh, tahun 1960-an. Tak lama, Muhammad berhenti bekerja karena ingin membuka usaha sendiri.

Dia tetap mengambil bubuk kopi pada tempat bekerja dulu. Belakangan kopinya tidak lagi nikmat. ”Saya dikasih bubuk yang kurang bagus,” ujarnya.

Syarifuddin menuturkan, kunci dari kesuksesan usaha itu adalah menjaga kualitas. Ayahnya selalu mengingatkan, kualitas adalah kepercayaan pelanggan.

Sejak itu, dia belajar cara menyangrai kopi yang benar. Muhammad akhirnya mahir. Kedai kopinya pun kian ramai. ”Dulu kedainya dari kayu. Sekarang permanen,” ujar Muhammad.

Kedai kopi semula diberi nama Jasa Ayah. Muhammad memang berniat suatu saat usahanya akan diwariskan kepada anak-anak.

Suatu hari, seseorang mencari dirinya. Orang itu mengatakan, ayahnya pernah dipinjami uang oleh Muhammad. Ia bermaksud berterima kasih dan membayar utang yang dimaksud kepada Abu Amad (Muhammad).

Dengan dialek khasnya, kata tolong berubah menjadi solong. ”Di mana abu yang solong ayah saya,” begitulah kira-kira ucapan orang itu. Sejak itulah, nama Muhammad akrab dipanggil Abu Solong.

Sang perintis kini telah lanjut usia dan tak mampu lagi mengelola kedai. Usaha dilanjutkan anak-anaknya. Ketiga putranya, Nawawi, Hasballah, dan Syarifuddin, berbagi peran mengembangkan usaha kopi.

Kini, mereka mengelola enam Kedai Kopi Solong. Mereka juga mengembangkan usaha produksi kopi sangrai dan bubuk.

Syarifuddin menuturkan, kunci dari kesuksesan usaha itu adalah menjaga kualitas. Ayahnya selalu mengingatkan, kualitas adalah kepercayaan pelanggan.

Sangrai tradisional

Solong menggunakan kopi robusta dari Kabupaten Aceh Barat. Biji kopi itu diproses melalui beberapa tahapan untuk menghasilkan kopi bercita rasa terbaik.

Biji kopi terlebih dahulu digudangkan selama 3-4 bulan. Kata Syarifuddin, proses ini untuk menurunkan kadar asam pada kopi. Kadar asam robusta lebih tinggi daripada arabika.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Pekerja menyangrai biji kopi secara manual di tempat sangrai dan giling kopi tradisional di Kampung Ie Masen, Ulee Kareng, Banda Aceh, Kamis (21/12/2017). Usaha tersebut masih mempertahankan pengolahan secara tradisional dengan menggunakan tenaga manusia karena alasan sosial. Setiap hari tempat itu mampu memproduski hingga 280 kilogram kopi dengan harga jual Rp 60.000 per kilogram.

Selanjutnya, biji kopi disangrai dengan menggunakan bara api hingga 1,5 jam. Sangrai cara tradisional untuk mempertahankan kekhasan cita rasa kopi Solong.

”Dalam proses roasting, kami tidak mencampur kopi dengan jagung, mentega, dan lainnya. Kopi Solong murni kopi robusta terbaik,” ujar Syarifuddin.

Biasanya, yang mengawasi proses sangrai adalah Hasballah. Dengan mencium aroma saja, Hasballah tahu tingkat kematangan kopi. Mereka bertiga belajar tentang kopi kepada sang ayah.

Bubuk kopi produksi Solong sebagian untuk diseduh di kedai sendiri. Sisanya dipasok ke kedai-kedai lain yang ada di Banda Aceh dan wilayah Jawa. Harga bubuk kopi Rp 80.000 hingga Rp 90.000 per kilogram.

Kopi arabika

Perubahan pola konsumsi kopi pada masyarakat mendesak Solong bertransformasi. Kini, kedai itu menyediakan kopi jenis arabika Gayo.

Adalah pemandangan menarik menyaksikan dua kopi terbaik di Aceh, baik arabika maupun robusta, bersanding di satu meja.

Harga secangkir espresso arabika Rp 10.000, sedangkan robusta Rp 5.000. Arabika rasanya lebih lembut karena kadar asam rendah, sedangkan robusta kadar asam lebih tinggi. Karena itu, robusta lebih nikmat disajikan dengan sistem saring daripada diseduh dengan air panas.

Kini, kafe-kafe baru tumbuh subur di Banda Aceh. Kehadiran kafe berkonsep modern tidak menjadi ancaman terhadap kedai tua.

Justru saat semua serba modern, orang merindukan nuansa tradisional. Untuk itulah, Solong tetap konsisten di jalurnya. Ia menjadi kedai kopi legendaris yang menyimpan banyak cerita dan kenangan. (ZULKARNAINI/IRMA TAMBUNAN)