Bos Ammana Gappa Berkelahi
TUJUH AWAK ASAL SULSEL TINGGALKAN PINISI
Antananarivo, Kompas
Sungguh sayang, sukses besar pelayaran pinisi Ammana Gappa ternyata diakhiri dengan kekecewaan para awaknya. Tujuh awak asal Desa Bira, Sulawesi Selatan, yang berperan besar atas keberhasilan Ammana Gappa menyeberangi Samudera Hindia ini terpaksa meninggalkan pinisi tersebut di Antsiranana lebih cepat beberapa hari dari rencana semula.
Mereka juga terpaksa mengembalikan sebagian uang sakunya sebagai awak pinisi kepada pemilik kapal berkebangsaan Inggris, suami istri Anne dan Michael Carr, karena memutuskan hubungan kerja beberapa hari sebelum kontrak mereka berakhir. “Lebih baik kami cepat-cepat pergi, karena kami tidak tahan lagi diperlakukan seenaknya oleh mereka,” ujar Appong (46), jurumudi yang sebelumnya berpengalaman melayarkan pinisi sampai ke Darwin (Australia), seperti dilaporkan wartawan Norman Edwin dari Antananarivo Rabu kemarin.
Tidak serasinya hubungan antara para awak pinisi dengan pemilik kapal sebenarnya telah dimulai pada awal keberangkatan Ammana Gappa dari Ujungpandang medio Agustus lalu. Ketika itu Michael Carr bersikeras membuang batu-batu di kapal yang secara tradisional menjadi balas (pemberat supaya kapal stabil).
Menurut dia, batu-batu ini hanya membuat kapal berat dan tidak bisa berlayar cepat. Ketika itu kompromi berhasil dicapai dengan membuang sebagian batu-batu balas itu. “Tapi hati kami jadi tidak tenang, karena kami percaya batu-batu itu membuat kapal aman,” tutur Muhammad (25).
Makanan dan uang saku
Ketika berlayar ketegangan-ketegangan berikutnya terjadi, kadang-kadang hanya persoalan sepele saja. Soal makanan misalnya, Anne sering marah dan menganggap para awak kapal makan terlalu berlebihan. Hal ini membuat orang-orang sederhana dari desa nelayan ini sakit hati.
Ketika berlabuh di Pulau Christmas, sakit hati ini terungkap dan meledak. “Saya betul-betul sakit hati kalau makanan selalu dipersoalkan. Saya bukan anak kecil kagi!” ujar M. Yunus (70), nakhoda pinisi Ammana Gappa. Atas usul Yunus pula, akhirnya diputuskan sejak dari Pulau Christmas makan dibatasi hanya dua kali setiap harinya.
Persoalan agak serius adalah soal uang saku. Sebagai nelayan miskin para awak kapal ini jelas membutuhkan uang untuk keluarga yang ditinggalkan. Hanya saja mereka merasa heran, kenapa uang saku itu tidak langsung diberikan kepada yang bersangkutan, tetapi kepada orang lain. “Kami waktu itu ada di sana, kenapa tidak diberikan langsung kepada kami? Sekarang kami ragu, apakah uang itu betul- betul sampai ke istri dan anak kami di kampung?” kata Yunus.
Menurut Yunus, mereka bukan tak percaya, tetapi merasa khawatir karena sampai mereka berangkat tidak ada kepastian bahwa uang itu sudah sampai di tangan istri mereka di rumah. “Kami berlayar setengah hati, karena bagaimana nasib anak dan istri saya kalau uang itu tidak sampai ke mereka tepat waktunya?” ujar Tutu Abba (61).
Ketegangan sebenarnya telah meledak di Pulau Christmas. Michael Carr marah dan mengancam pulang kembali ke Indonesia. Para awak juga marah dan mengatakan tak keberatan kalau kembali saja. Untunglah, setelah para awak kapal diingatkan akan misi pelayaran bersejarah ini, mereka bersedia menahan diri dan melanjutkan pelayaran.
Tetapi tidak bisa dihindarkan, selama pelayaran lanjutan hal- hal kecil saja kemudian bisa menjadi persoalan besar. Para awak yang sederhana dan berpendidikan rendah ini tak bisa lain kecuali mengalah. Pernah misalnya, ketika cipratan gelombang laut membuat kamera video Carr rusak, Tutu yang ketika itu memegang kemudi menjadi sasaran kemarahan. Padahal, di laut gelombang laut tidak berjanji kapan dia bakal menyembur dan membasahi dek kapal. Begitu juga ketika mesin cadangan ternyata rusak, kesalahan ditimpakan kepada para awak yang memang pelaut tradisional yang tak mengerti mesin.
Ketegangan memuncak
Ketegangan memuncak ketika Ammana Gappa telah lego jangkar di Antsiranana, Madagaskar. Carr ketika itu berniat melayarkan kembali pinisi ke Tamatava, pelabuhan dekat ibukota Madagaskar, selama empat hari dengan alasan uangnya tidak cukup untuk menerbangkan mereka. Para awak menolak, karena selain mereka sudah sangat lelah, kontrak mereka sebetulnya sudah selesai begitu Madagaskar tercapai.
Rencana ini kemudian batal, setelah Duta Besar RI, Is Rachmat, turun tangan menengahinya. Tetapi kemudian terjadilah peristiwa yang tidak bisa lagi dihindarkan akibatnya. Generator pembangkit listrik di geladak kapal pada suatu malam hilang dicuri, bersamaan dengan sebuah perahu aluminium milik kapal layar Kanada yang berlabuh di sebelah Ammana Gappa.
Awak kapal lagi-lagi disalahkan dan dianggap lalai. Hari-hari berikutnya dirasakan sebagai teror oleh para awak. Puncaknya ialah ketika mereka ketakutan, karena entah bagaimana pada suatu malam terjadi perkelahian secara fisik antara kedua suami istri pemilik kapal itu. Para awak memutuskan segera meninggalkan kapal setelah menyelesaikan tugasnya membersihkan kapal, karena tidak tahan pada suasana yang bagaikan api di dalam sekam.
Dubes RI dalam situasi ini banyak membantu dan melakukan perundingan menyelesaikan masalah dengan Michael Carr. Keinginan para awak segera pergi dari Antsiranana tak bisa dicegah lagi. “Kami sudah sangat ketakutan, tolonglah bapak duta kami dibantu pergi dari sini. Kalau tidak bisa kami diterbangkan, biarlah kami naik oto (mobil) saja dua atau tiga hari ke ibukota, asal bisa pergi secepatnya,” tutur M. Yunus terbata-bata kepada Is Rachmat.
Setelah mengembalikan sebagian uang saku mereka yang berkisar antara Rp 17.000 sampai 20.000 per hari, tujuh awak pinisi hari Kamis (10/10) akan terbang ke Antananarivo, ibukota Madagaskar, dan ditampung di Wisma Indonesia oleh Kedutaan Besar RI. Belum diketahui pasti kapan mereka akan kembali ke Tanah Air.