KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Warung makan Mbak Turipah yang baru buka saat menjelang senja, Warung Makan Mbak Turipah, Batang, Jawa Tengah.

Batik Batang-Pekalongan

Rahasia Rasa Setelah Berbatik-batik

·sekitar 4 menit baca

Kabupaten Batang, Jawa Tengah, yang relatif sepi itu, menyimpan rahasia kuliner yang cita rasanya susah dilupakan. Adalah warung Turipah, nyempil di kampung, tetapi menawarkan cita rasa luar biasa.

Selepas ”berburu” batik yang merupakan salah satu produk incaran di kawasan Batang, Jawa Tengah, tiba saatnya mengisi perut. Warung Turipah dengan sajian khasnya menjadi tujuan.

Warung Turipah berada di tepi jalan di Desa Pandansari, Kecamatan Warung Asem, sekitar 38 kilometer dari pusat Kota Batang. Malam itu, pukul 18.30 kami meluncur dari pusat kota Batang menyusuri jalan aspal sempit yang banyak berlubang. Hujan membuat kami harus lebih hati-hati mengemudikan mobil.

Tak jauh dari areal persawahan, Nurul Qomar, pemandu kami, meminta mobil ditepikan dan parkir di lahan kosong. Tanah becek dan tak banyak penerangan berarti. Hanya beberapa lampu warung menerangi. Kami berjalan setengah mengendap menjaga kaki agar tak terperosok di kubangan becek.

Di seberang jalan, terlihat bangunan mirip gubuk. Berdinding anyaman bambu setinggi 1 meter. Tiang-tiang bambu menyangga atap genteng. Antara dinding dan atap itu dibiarkan terbuka sehingga angin malam bebas keluar masuk. Beberapa pelanggan duduk bersila menyantap pepes ikan campur sambal dan petai. Aroma gurih dan wangi makanan segera menyambut kami. ”Waduh, sudah pada habis. Tinggal ini saja,” kata Turipah saat melihat kami.

Saat itu yang tersisa hanya tahu, telur dadar, dan beberapa potong ayam kampung. Kami lantas makan seadanya. Meski begitu, kelezatan sambal terasi Turipah membuat kami makan lahap. Maklum, setelah seharian menjelajah Batang mencari pembatik, kami perlu banyak mengonsumsi makanan bergizi untuk pemulihan tenaga. Ayam goreng kampung dicolek sambal terasi dan nasi panas disantap di tengah derai hujan, sungguh nikmat.

”Besok ke sini lagi agak sore, Mas. Bisa mencicipi welut serundeng dan ikan pepes,” kata Turipah yang kami turuti.

Turipah menjelaskan, warungnya mulai buka pukul 17.00 dan biasanya pada pukul 19.00 sebagian dagangan sudah habis. Sisanya baru benar-benar ludes pada pukul 24.00. Kerap kali pelanggan mengantre, padahal warung belum buka. Mereka khawatir menu kesukaannya keburu ludes.

Dua kali ke sana, kami kurang beruntung karena menu andalan welut serundeng tak hadir di meja akibat pasokan belut sedang seret. Makanan ini sebenarnya berupa belut yang digoreng kering lantas dimasukkan ke dalam serundeng atau kelapa parut yang disangrai dengan bumbu.

Bagi penggemar jangan atau sayur ndeso, jangan lupa cicipi tumis kulit melinjo, kluban atau urap daun bayam, sawi, dan tauge, serta makanan khas setempat, yakni megono. Megono yang dikenal di Pekalongan dan Batang berupa cincangan gori atau nangka muda yang diberi parutan kelapa, ulekan bumbu, lantas dikukus. Racikan bumbunya berupa ketumbar, kemiri, bawang merah, bawang putih, cabai, lengkuas, salam, dan serai.

Lauknya tinggal pilih, semua terhidang di meja panjang yang dibuat rendah. Sambil lesehan, kita bebas mengambil lauk yang menggoda. Mulai dari wader goreng, sate rempelo ati, teri kacang, sate telur puyuh, pepes pindang udang, sotong santan, pepes tahu, ayam bakar, ayam goreng kampung, telur kecap, telur dadar, rendang, kembung dan bawal kecap, hingga aneka gorengan dan petai.

Berkah ibu

Turipah (45) menjelaskan, dia dulu merantau ke Jakarta berjualan nasi. Kebetulan di dekat warungnya ada rumah makan padang. Dari pemilik rumah makan padang itulah, Turipah belajar masak masakan minang. Mulai dari cara membuat rendang, gulai kepala ikan, sampai sambal balado.

Delapan tahun lalu, dia harus balik kampung lantaran ibunya, Aliyah, sakit-sakitan. Setelah ibunya meninggal, Turipah berinisiatif membuka warung. Dia dan suaminya, Sugiyanto (47), lalu menyewa lahan seluas sekitar 45 meter persegi di tepi tegalan. Tempat ini terbilang sepi karena berada di perbatasan desa. ”Waktu itu banyak juga yang bilang dagangan saya tidak akan laku. Sepi dan tidak ada pabrik. Siapa yang mau beli,” cerita Turipah.

Namun, dia berkeyakinan bahwa kalau memang rezekinya di sana, pasti ada yang beli. Dibantu suami dan anaknya, Deviyanti (17), Turipah merintis warung makan. Insting dagang Turipah benar. Makin hari makin banyak pembeli datang. Mereka rata-rata adalah pekerja yang malas memasak karena kecapekan. ”Maunya pulang kerja langsung makan, ga perlu masak lagi,” kata Marni, pelanggan.

Turipah memaknai kesuksesan dia buka warung itu sebagai berkah dari ibunya yang dia rawat selama sakit. Keikhlasan dia menjaga dan memenuhi kebutuhan ibunya berbuah manis. ”Mungkin juga karena doa ibu saya yang tidak ingin saya hidup susah,” katanya.

Melihat jumlah pelanggan yang setiap hari mengular, Turipah tak ingin balik lagi ke Jakarta. ”Saya ingin di sini saja. Ayem.”

Turipah mengambil jalan yang benar. Suasana tenang Desa Pandansari serta udara yang relatif sejuk tidak akan ditemukan di Jakarta yang semrawut. Apalagi jika sudah bertemu dengan menu masakan kampung yang sensasi gurihnya sulit dilupakan itu.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Aneka Menu Makanan.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Melayani Pembeli.

Artikel Lainnya