KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Sejumlah tamu undangan mengenakan kain batik jambi dalam sebuah acara di Balai Sidang, Senayan, Jakarta, Rabu (15/6).

Batik Jambi-Bengkulu

Batik Cermin Alam Sekitar * Selisik Batik

·sekitar 7 menit baca

Batik jambi dan batik bengkulu merupakan cerminan dari sekitarnya, terutama alam dan lingkungan. Motif-motif yang muncul banyak terinspirasi dari tumbuh-tumbuhan, selain merefleksikan perikehidupan dan karakter masyarakat setempat.

Flora menjadi inspirasi utama ragam hias batik jambi, terutama bunga, seperti melati, kaco piring, dan bungo pauh, bungo jeruk, dan bungo tanjung tabur. Bunga dekat dengan ritual adat, terutama untuk wewangian. Sedangkan motif lain adalah buah yang menjadi simbol kesuburan, seperti tampuk manggis, duren pecah, biji ketimun, dan cengkih.

Motif makhluk hidup dihindari karena pengaruh agama Islam yang melarang penggambaran makhluk bernyawa. Kalaupun ada, sudah distilir sedemikian rupa agar tidak menyerupai aslinya, misalnya, kuau berhias, riang-riang, dan merak ngeram. Burung kuau dikenal, baik di Jambi maupun Bengkulu, dengan penampilan seperti burung merak.

”Apa yang dilihat, itu yang digambar di atas kain. Terlihat kangkung digambar kangkung, terlihat kapal digambar kapal. Apa adanya, tidak distilir atau deformasi. Itulah yang menjadikan batik jambi spesifik. Pewarna kain pun berdasarkan kondisi lingkungan sekitar,” kata Edy Sunarto, tokoh batik Jambi.

Tidak heran jika warna-warna yang muncul adalah merah dan biru tua karena sumber kedua warna ini melimpah di sana. Warna lain yang juga banyak ditemui pada batik jambi adalah krem kekuningan atau coklat kehitaman yang digunakan sebagai tanah atau warna latar.

Sifat apa adanya dan spontan menuntun kepada laku sikap praktis dan berorientasi fungsional. Warna batik dibuat gelap atau pekat agar tidak terlihat cepat kotor mengingat sehari-hari kain digunakan untuk bekerja, termasuk ke kebun atau pasar. Sejumlah buku referensi tentang batik jambi memuat gambar-gambar lama yang menunjukkan penggunaan batik oleh masyarakat umum, seperti pemandangan di pasar buah tahun 1914-1926 dan perkawinan adat tahun 1912-1926.

Bahan pewarna menyumbang keistimewaan pada batik jambi karena sangat khas. Jika di Jawa, sumber warna alam untuk merah adalah ekstrak akar mengkudu. Di Jambi, warna merah lebih banyak dibuat dari getah jerenang, secang atau sepang, dan ekstrak buah rotan. Edy mengatakan, warna merah tua seperti kulit manggis ini terdapat pada kain-kain batik jambi lama. ”Merahnya batik jambi itu dijuluki Lasem-nya Sumatera,” ujar Edy.

Sementara warna kuning kecoklatan yang banyak muncul sebagai warna latar berasal dari kayu pohon lempato. Adapun warna jingga kecoklatan di atas warna latar biru diperoleh dari kulit kayu marelang.

Orang Jambi juga terbiasa berbagi peran. Kaum perempuan membatik, sedangkan para pria mencari bahan pewarna. Itu sebabnya, ketika sang laki-laki tiada, hilang pula resep pewarnanya. ”Dulu laki-laki pergi ke hutan untuk mencari pewarna alam. Setelah itu kaum perempuan yang mewarnai kain,” kata Edy.

Salah satu motif paling populer pada batik jambi adalah kapal sanggat dan batanghari. Kapal sanggat atau kapal karam merupakan pemandangan yang kerap dilihat masyarakat Jambi. Wilayah ini dibelah oleh aliran Sungai Batanghari yang lebar sehingga dapat dilayari kapal laut. Pada masa lalu, jalur Batanghari yang termasuk jalur perdagangan dunia banyak dikunjungi pedagang asing, seperti Tiongkok, India, Arab, hingga Belanda. Kapal sanggat berbentuk seperti kapal dengan dua layar, tetapi berlawanan arah.

Filosofinya, menurut budayawan Jambi, Junaidi T Noor, adalah dalam satu kapal tidak bisa ada dua nakhoda yang menjalankan kapal sendiri-sendiri, artinya dalam satu rumah tangga tidak boleh ada dua pemimpin. Jika tidak, kapal akan sanggat atau karam. Adapun motif batanghari serupa aliran sungai, meliuk-liuk, seperti Sungai Batanghari yang melintasi Jambi.

Refleksi lingkungan sekitar juga tampak dari motif awal batik jambi berupa ragam hias ukiran pada rumah adat yang disebut tawing. Ukiran itu terdapat pada bagian genteng atau atap rumah adat Jambi.

Komposisi batik jambi berupa penataan simetris dengan pola berulang. Motif inti jadi fokus utama berupa bunga, buah, biji, rempah, dan daun. Motif isiannya berupa tabur bengkok, tabur titik, dan tabur intan. Motif pucuk rebung ditambahkan pada kedua ujung kain sebagai tumpal.

Serupa dengan di Jambi, pada batik bengkulu flora juga muncul meski bukan sebagai motif utama melainkan sebagai isian. Dominasi motif tetap berupa kaligrafi huruf arab. Warna dominan batik klasik bengkulu juga serupa, yakni warna merah dan biru tua. Namun, dengan tingkat kepekatan yang berbeda.

Saat ini, batik-batik Jambi sudah dihiasi dengan aneka warna. Sedangkan di Bengkulu masih cenderung pada warna-warna klasiknya.

Batik jambi sebenarnya dicanting dengan rapi, tetapi motif utamanya diwarnai dengan cara dicolet cepat dengan lidi berbalut kapas. Ini membuat warna tersebut sedikit mbleber atau merembes melewati batas garis malam oleh karena pembatikannya yang hanya dilakukan di satu sisi bidang kain. Namun, justru ini menjadi ciri khas batik jambi.

”Itu sebabnya, batik jambi itu bagus jika dilihat tidak terlalu dekat. Dia harus dilihat secara satu kesatuan, paduan motif dan warna,” kata Bukhari, pemilik Batik Zhorif.

Perjalanan batik jambi dan bengkulu tidak selalu mulus. Bahkan, ada suatu masa ketika kegiatan membatik harus dilakukan sembunyi-sembunyi hingga batik menuju keredupan.

Kegigihan dan kesetiaan para pembatik untuk terus berkarya dan merekam nilai-nilai luhur nenek moyang dalam selembar kainlah yang membuat batik jambi dan bengkulu tetap bertahan hingga kini. Mereka bertahan di tengah ketiadaan bahan baku karena semua harus didatangkan dari Jawa, mulai dari kain, lilin, hingga pewarna sintetis.

Batik jambi pernah mengalami masa keemasan ketika perdagangan karet membawa kesejahteraan di negeri itu sekitar tahun 1920-an. Batik jambi mengalami masa suram saat penjajah Belanda dan Jepang melarang perdagangan kain tersebut ke luar daerah mereka.

Fiona Kerlogue dalam bukunya Scattered Flowers: Textiles from Jambi, Sumatra, menyebutkan, kemiskinan dan kesulitan hidup akibat penjajahan hingga pada awal masa kemerdekaan Indonesia membuat kegiatan membatik terhenti total. Kain-kain batik bisa bertahan berkat para ibu yang menyembunyikannya dengan baik di rumah mereka lalu mewariskannya kepada anak-anaknya.

Keluarga pembatik Azmiah (49) di Olak Kemang, Jambi, keluar masuk kampung sejak tahun 1985 demi mencari motif-motif lawas batik jambi. Ada lebih dari 50 lembar kain lama yang berhasil dikumpulkan. Motif-motif itu kemudian direplika, dimodifikasi, dan batik jambi pun lahir kembali.

Kain batik jambi dipengaruhi dua jenis kain, yakni chintz atau sembagi dari pesisir Coromandel, India, dan kain patola dari Gujarat. Kain chintz berciri motif tumbuhan dengan penggunaan warna merah dan biru dan dasar kekuningan. Kain patola memiliki ciri pola geometris dan memengaruhi pola ceplok-ceplok dari batik jambi.

Mereplika motif kain batik jambi lama juga dilakukan pembatik Zainul Bahri sebagai bentuk kepedulian. Sejak tahun 1980-an, dia mulai mengumpulkan motif kain batik lawas, menyalinnya ke atas kertas, lalu mereplikanya menjadi kain baru.

”Nasib tenun jambi terputus karena tidak ada yang melakukan hal semacam ini. Lalu saya mulai kumpulkan motif-motif lama dengan melihat koleksi yang ada di museum atau milik masyarakat. (Ini) supaya kain batik jambi tidak hilang dan diteruskan generasi selanjutnya,” ujarnya.

Pasang surut batik pasca kemerdekaan sangat dipengaruhi pemimpin daerahnya, termasuk di Jambi dan Bengkulu. Batik jambi mulai menggeliat lagi sekitar tahun 1980-an ketika istri gubernur waktu itu, Sri Soedewi Masjchun Sofwan, mencanangkan program pengembangan batik jambi dengan dana dari Departemen Industri. Program ini diteruskan istri-istri gubernur berikutnya. Banyak pelatihan diberikan kepada pembatik yang masih bertahan dengan mendatangkan pembatik dari Jawa. Batik jambi kembali menggeliat hingga kini.

Hal serupa terjadi di Bengkulu. Sayangnya, batik bengkulu yang sudah kembali bangkit pada awal 1980-an, diempaskan oleh kebijakan pengadaan seragam pegawai dari kain printing motif batik. Seorang pembatik bercerita, pesanan 1.000 meter kain batik kepadanya dibatalkan karena kebijakan itu.

Penciptaan motif baru

Seiring dengan meningkatnya animo masyarakat, kini banyak motif-motif baru diciptakan sesuai dengan karakter setiap daerah. Di Jambi, pembatik Ida Maryati menciptakan motif baru untuk 11 kabupaten/kota di Jambi. Di antaranya, motif nanas dan resam (sejenis paku-pakuan) untuk Muaro Jambi, panah kubu di Merangin, pongpong (perahu untuk menyeberang sungai) di Sabak, kerang di Tanjung Jabung Barat, dan motif aksara incung di Kerinci.

Ida mempelajari kekhasan masing-masing kabupaten/kota di Jambi sebagai inspirasi motif yang diciptakannya. Dia banyak membaca buku, juga melihat sendiri ke daerah-daerah tersebut, lalu menemukan flora, fauna, atau hal-hal lain yang khas di daerah itu. Kemudian, dia merancang motif baru, mengombinasikan dengan motif yang sudah ada. Misalnya dengan motif angso duo atau motif kajang lako.

Di Bengkulu, Alcala Zamora berkreasi dengan motif batik dengan mengombinasikan motif kaligrafi pada kain besurek dengan beragam hal khas Bengkulu, seperti bunga raflesia, tabot, pakis, dan huruf kaganga. Ia semula pegawai negeri sipil yang diminta turut mengembangkan batik bengkulu pada pertengahan 1980-an. ”Motif pakis ini ada pada ukiran rumah adat tua Bengkulu,” katanya.

Huruf kaganga ini kurang lebih mirip dengan aksara incung di Kerinci karena memang berinduk pada aksara Pallawa. Nama lokalnya adalah Ulu. Peneliti aksara kaganga dari Universitas Bengkulu, Sarwit Sarwono, mulai mengajarkan aksara kaganga lewat seni rupa modifikasi tahun 1997. Sejauh ini, baru 8-10 huruf dari sekitar 23 huruf kaganga yang dikenal di Bengkulu, yang sudah diaplikasikan sebagai motif batik.

”Huruf kaganga yang ada di batik berupa huruf lepas, tidak menjadi motif yang bersambung. Di Rejang Lebong pernah diadakan lomba menciptakan motif batik yang dasarnya aksara kaganga,” katanya. (FRANSISCA ROMANA NINIK/SRI REJEKI)

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Peralatan untuk membatik di ruang kerja Ben’s Collection di kawasan Ratu Agung, Bengkulu, Minggu (5/6).

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pekerja menjemur kain batik setelah diberi pewarnaan di kolong ruang kerja Rumah Batik Azmiah di Kota Jambi, Rabu (8/6).

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Batik besurek koleksi Museum Negeri Provinsi Bengkulu, Sabtu (4/6).

Artikel Lainnya