KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Yeni menggambar batik besurek di ruang kerja Ben’s Collection, Bengkulu.

Batik Jambi-Bengkulu

Sejarah: Dari ”Bumi Rafflesia” hingga ”Bumi Seribu Candi”, Batik Berada * Selisik Batik

·sekitar 4 menit baca

Catatan tentang batik, terutama di daerah tertentu, boleh dibilang sangat minim. Informasi yang tersedia pun sering kali saling bertentangan. Selama ini, teknik dan pengetahuan tentang batik diajarkan secara turun-menurun, sementara narasi keberadaannya lebih sering hilang ditelan zaman karena tidak tertulis. Kisahnya pun lenyap bersama usangnya kain.

Belum ditemukan catatan pasti tentang asal-usul keberadaan batik jambi dan batik bengkulu. Apakah pada awalnya batik yang beredar di dua wilayah ini berasal dari Jawa atau impor dari negeri yang lebih jauh seperti India? Atau sejak awal sudah diproduksi di kedua daerah itu?

Motif yang dikenal luas di Jambi dan Bengkulu sangat khas, antara lain motif kaligrafi huruf Arab yang oleh Inger McCabe Elliott dalam bukunya, Batik Fabled Cloth of Java, disebut sebagai batik arab. Batik semacam ini pernah diproduksi di Demak dan Kudus.

Selain Demak dan Kudus, Cirebon dan Lasem juga membuat batik yang diekspor hingga ke Sumatera. Nian Djoemena dalam bukunya, Ungkapan Sehelai Batik, Its Mystery and Meaning, secara khusus menyebut batik jambi periode awal dibuat di tanah Jawa, seperti Indramayu, Cirebon, Lasem, dan Tuban. Adapun batik cap yang ditemukan di Jambi diperkirakan dari India Selatan.

Catatan tertua tentang batik jambi adalah artikel BM Goslings yang terbit 1928, seperti dikutip Fiona Kerlogue dalam bukunya, Scattered Flowers: Textiles from Jambi, Sumatera.

Goslings, kurator etnografi pada Colonial Institute, Belanda, mendasarkan tulisannya pada berbagai laporan yang diterima, antara lain dari peneliti etnografi dan fotografer Tassilo Adam yang mengatakan melihat sendiri proses membatik di Dusun Tengah, sebelah utara Sungai Batanghari.

Pengawas Heer van der Kam juga melapor kepada Goslings tentang pembuatan batik merah oleh orang lokal. Ini diperkuat oleh Residen Heer Petri yang bertugas di Jambi tahun 1918-1923. Goslings menyimpulkan, batik jambi telah ada sebelum 1857 ketika Sultan Jambi digulingkan oleh Belanda.

Dalam laporan Van der Kam kepada Goslings disebutkan seseorang bernama Mahebat tiba di Jambi dari Jawa Tengah pada 1880-an. Keluarga Mahebat membatik dan memperdagangkannya, tetapi merahasiakan teknik pembuatannya. Salah seorang perempuan nekat mencuri canting, mereplikanya, serta berusaha membuat batik dan berhasil. Kebisaan ini ditularkan kepada perempuan lain di Dusun Tengah yang berada di daerah Seberang. Disebut seberang karena berseberangan dengan pusat Kota Jambi dan terpisah Sungai Batanghari. Kini, konsentrasi terbesar pebatik tulis berada di Seberang.

Pebatik Azmiah (49) menyebut tentang orang bernama mirip Mahebat, yakni Muhibat. Ibunda Azmiah, Asmah, belajar membatik kepada Zainab yang sebelumnya belajar membatik kepada Haji Muhibat. Azmiah lantas mewarisi kebisaan membatik dari ibunya. Mereka juga tinggal di daerah Seberang, tepatnya di Desa Olak Kemang.

Yusuf Martun, Kurator Koleksi dari Museum Siginjei, Jambi, mengungkapkan, jejak ragam hias yang kemungkinan terinspirasi dari kain batik ditemukan, antara lain, pada arca batu Prajnaparamita dari abad ke-13 yang mengenakan kain bermotif patola. Arca ini ditemukan di Candi Muaro Jambi dan menandakan kontak antara Jambi dan Jawa lewat Ekspedisi Pamalayu.

Catatan mengenai batik bengkulu jauh lebih sedikit. Di Museum Negeri Provinsi Bengkulu, batik-batik yang tersimpan sebagian besar bermotifkan kaligrafi Arab yang membentuk siluet gambar lain, seperti bunga atau burung. Usianya diperkirakan paling tua 100-an tahun karena berasal dari tiga generasi ke atas saat koleksi diperoleh pada 1980-an. Kain-kainnya berbentuk segi empat yang digunakan sebagai detar (semacam kopiah) atau kain panjang dengan warna utama merah dan biru.

”Bengkulu yang terletak di garis pantai barat Sumatera berkembang belakangan dibandingkan dengan daerah di kawasan pantai timur Sumatera, seperti Palembang dan Jambi. Kawasan pantai barat baru berkembang setelah kejatuhan Malaka tahun 1511,” kata Muhardi, Kepala Seksi, Konservasi, dan Preparasi Museum Negeri Bengkulu.

Tidak seperti pantai timur yang lebar dan luas, pantai barat cenderung memiliki dataran yang sempit. Kondisi geografis Bengkulu berupa dataran rendah di bagian barat dan Bukit Barisan di bagian timur. ”Kondisi geografis seperti ini yang membuat tidak banyak terjadi interaksi antara Bengkulu dan dunia luar meski jejak peradaban sudah ada sejak zaman prasejarah. Ada periode sejarah Bengkulu seperti hilang. Baru muncul lagi setelah Islam masuk,” kata Muhardi.

Batik besurek yang dulu disebut kain besurek dengan basis kaligrafi huruf Arab merupakan hasil pengaruh Islam yang masuk ke Bengkulu pada awal abad ke-16. Surek artinya ’surat atau tulisan’, mengacu pada huruf-huruf Arab atau dahulu nukilan surat dalam Al Quran.

Ada sebagian orang setempat yang meyakini, dikenalnya batik karena kedatangan Pangeran Sentot Ali Basya bersama pasukannya di Bengkulu pada 1834. Namun, sejarawan dari Universitas Bengkulu, Agus Setiyanto, menyangsikan itu karena mereka adalah prajurit yang diperkirakan tidak memiliki kemampuan membatik. Agus juga tidak menemukan catatan tentang batik selama riset disertasinya tentang gerakan sosial masyarakat Bengkulu abad ke-19.

Program pemberdayaan perempuan lewat kegiatan batik yang digalakkan pada awal 1980-an, baik di Bengkulu maupun Jambi, membangkitkan batik yang sebelumnya pernah ada. Di Bengkulu, Alcala Zamora, pegawai Kanwil Departemen Perindustrian saat itu, menginventarisasi kain-kain besurek yang ditemukan ke dalam tujuh kelompok motif. (SRI REJEKI/FRANSISCA ROMANA NINIK)

Artikel Lainnya