Di negeri yang orang-orangnya haus kuasa ini, wong banyumasan tetap jeri menyaru jadi Werkudara sang bangsawan Pandawa. Wong banyumasan memang cablaka, bicara terus terang dan apa adanya, mirip Werkudara. Tapi wong banyumasan lebih nyaman dipadankan dengan Bawor, punakawan dari kalangan orang kebanyakan yang juga cablaka. Seperti orang-orangnya, batik banyumasan istimewa karena cablaka dan tanpa kasta.
Bawor, anak Semar itu, mbanyol dan jenaka. Tiap kali Semar membalik badan dan mengatur barisan para punakawan di tengah kirab budaya Kelenteng Boen Tek Bio Banyumas pada 16 Mei silam, Bawor tiba-tiba jadi penurut.
Di hadapan Semar, Bawor yang ditarikan Yusuf ”Bawor” Gunawan (44) memasang mimik wajah sok serius, ikut berbaris rapi di antara Gareng dan Petruk. Bawor berlagak tegap dan gagah memamerkan rompi dan celana kutungnya yang berlapis batik bermotif kawung ukuran besar.
Tapi, begitu Semar membalik badan, mengacung tangan dan mulai memimpin perjalanan, Bawor kembali berulah. Dengan mata setengah terpejam, ia melenggak-lenggok, sok-sok meniru goyang binal dengan tubuhnya yang tinggi, tetapi tambun, berjalan terlalu cepat hingga menyalip Semar, bahkan zig-zag hingga memotong-motong langkah si Semar.
Seperti layaknya Semar yang guru, Gembong Supriyono yang bukan kebetulan seorang guru di SMP 4 Purwokerto menjewer telinga Bawor. Yang dijewer mendelik kaget, tetapi begitu tahu yang menjewernya Semar langsung memasang tampang lucu dengan pipi gembulnya.
Lalu Bawor mencabut kudi—perkakas rumahan sejenis parang, yang dimiliki setiap keluarga petani Banyumas—dari pinggangnya. Lagi-lagi ia melenggak-lenggok memainkan kudinya sembarangan hingga nyaris menyambar wajah Gareng dan Petruk, membuat penonton terkekeh, mengelu-elukan tingkahnya.
”Bawor itu, ya, seperti itu, jenaka, suka membuat orang lain bersukacita,” kata Yusuf, yang sehari-hari bekerja sebagai anggota staf Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. ”Wong banyumasan, ya, Bawor itu,” kata Yusuf tertawa.
Yusuf berbisik, membuka makna cablaka. ”Cablaka itu, kecot (lapar) ya mangan (makan), sumuk (gerah) ya wuda (telanjang). Orang banyumasan kalau bilang jelek, ya jelek, tanpa dihalus-haluskan. Kalau trah Pandawa, ya mirip Werkudara. Tetapi Werkudara itu kan bangsawan, harus menjaga berwibawa. Tidak enaklah kalau orang Banyumas menyebut diri Werkudara, terlalu tinggi. Bawor kan enak, pas, punakawan pembawa kudi, perkakas rumahan tiap orang banyumasan,” ujar Yusuf yang gara-gara jadi Bawor mencicipi rasa bersalaman dengan Prabowo Subianto dan Presiden RI Joko Widodo.
Tiba-tiba, Gembong Supriyono si Semar menyela. ”Saya dulu juga menarikan Bawor lho,” tukasnya cowag (bicara keras-keras, seperti tak mau kalah). Menjadi Bawor adalah kehormatan yang jadi rebutan.
Batik yang cablaka
Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman, Bambang Lelono, menyebut Bawor lebih dari sekadar karakter punakawan yang suka cowag, ndopok (asal berkomentar daripada mendongkol menahan perasaan), ndablong (mengkritik dengan olokan lucu), atau mbanyol. Cablaka—dengan Bawor sebagai pilihan jati diri orang banyumasan—adalah jejak berjaraknya hubungan wilayah budaya banyumasan dengan kutub-kutub baru kebudayaan Jawa. Kebudayaan banyumasan jauh dari produk budaya bangsawan trah Mataram—Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Kantong kebudayaan banyumasan memang tersembunyi di balik deretan Pegunungan Perahu di bagian utara, dengan Gunung Slamet dan Gunung Perahu sebagai puncak tertingginya. Pegunungan Perahu menjadi hulu Sungai Serayu yang terbujur dari timur laut hingga barat daya wilayah kebudayaan banyumasan. Sementara bagian tenggaranya, mengalir Kali Bodho, yang menjadi batas antara wilayah kantong budaya banyumasan dan Kabupaten Kebumen. Orang banyumasan selalu dipandang udik oleh kutub-kutub kebudayaan trah Mataram.
”Pilihan karakter Bawor sebagai perlambang jati diri wong banyumasan adalah politik identitas wong banyumasan menghadapi dominasi budaya Mataram dan trah penerusnya, seperti Kasunanan Surakarta. Orang banyumasan tahu dipandang sebelah mata oleh kaum istana sehingga sengaja memilih menjadi Bawor yang jelata ketimbang menjadi Werkudara yang bangsawan demi mengolok-olok kebangsawanan. Adoh ratu, cedhek watu,” beber Bambang tertawa, se-cowag Bawor.
Bagi sastrawan sekaligus budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, jati diri orang banyumasan yang cablaka adalah kunci memahami asal-usul tradisi batik banyumasan—yang hari ini tersebar di Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, dan Banyumas, dengan Purwokerto sebagai kota terbesarnya.
”Pada 1830, wilayah Banyumas diserahkan Kasunanan Surakarta kepada Pemerintah Hindia Belanda sehingga makin berjaraklah orang Banyumas terhadap pengaruh budaya istana. Orang banyumasan justru mewarisi kebudayaan kerajaan masa Jawa Kuna abad ke-8 hingga ke-10, dengan peradaban Hindu-Buddha yang tanpa kasta. Cablaka dan egalitarianisme menjadi napas kebudayaan banyumasan. Etiket batik ala istana tidak berlaku bagi batik banyumasan yang coraknya dekat dengan alam,” kata Tohari.
Penulis roman Ronggeng Dukuh Paruk itu tidak menampik jika kain batik adalah sesuatu yang asing dalam keseharian orang banyumasan masa lampau. ”Batik dahulu hanya dikenakan oleh para gandhek, para utusan raja yang datang untuk memungut upeti, membawa pengaruh batik gaya Surakarta dalam khazanah busana dan batik gaya banyumasan. Gaya batik peranakan dari pesisir utara Jawa menjadi pengaruh lain dalam batik banyumasan,” kata Tohari.
Di butiknya yang ada di Kabupaten Banyumas, Slamet Hadiprijanto yang merupakan generasi ketiga dari perusahaan batik rintisan Kwee Lie Go, membeber dua kain batik klasik banyumasan. ”Ini motif yang sama dengan motif parang rusak atau parang klitik gaya Surakarta, tetapi berbeda langgam,” ujar Slamet menunjukkan karakter warna gelap yang khas dalam lembaran batik-batik banyumasan.
”Batik buatan pembatik banyumasan didominasi warna gelap yang menghilangkan dimensi ruang dan detail dekorasi rumit. Itu karena batik banyumasan digarap dengan teknis pencelupan yang berkebalikan dari teknik pencelupan batik gaya Surakarta. Di Banyumas, pencelupan warna sogan yang gelap didahulukan. Hingga kini, motif batik banyumasan berkembang sangat cepat, tanpa meninggalkan ketegasan warna gelap yang dihasilkan teknis pencelupan batik banyumasan yang khas,” kata Slamet.
Tanpa terbelenggu pakem, batik banyumasan dengan cepat mengadopsi langgam batik pesisir utara Jawa, yang muncul sejak Nyonya Von Oosterom memindahkan bengkel kerja batiknya dari Ungaran ke Banyumas sekitar tahun 1855. Langgam batik panastroman mengintroduksi warna merah dari pesisir utara dengan ragam merah, biru, dan hijau. Kesemuanya berpadu, dan warna tegas menjadi kekhasan batik banyumas periode berikutnya.
Banyumasan kini
Bambang Lelono, menyebut karakter cablaka yang bebas menjadi napas batik banyumasan kontemporer yang minim stilasi. Motif-motif batik kontemporer tumbuh begitu dinamis, datang dan pergi silih berganti, didorong kewirausahaan orang Banyumasan.
”Konsep dasar orang dan batik Banyumas adalah alam, yang digambarkan apa adanya, tidak simbolis. Motif bambu, ya, menyerupai gambar bambu yang realis. Ayam, ya, digambar serupa ayam. Karena bebas dari pakem, batik banyumasan punya beragam motif yang berkembang di banyak daerah. Prapringan punya motif sendiri, Sokaraja punya motif sendiri, bermunculan tiada henti. Semua berciri warna tegas kesukaan orang banyumasan, tanpa motif yang rumit-rumit,” kata Bambang.
Di Sokaraja, Banyumas, cablaka dan Bawor menjelma pada diri Anto Djamil, salah satu pengusaha batik banyumasan yang paling bersinar hari ini. Bukan cuma karena perawakan tinggi besar dan tambun, seperti Bawor, Anto Djamil juga jenaka, pintar mengolok diri sendiri, dan tak pernah rikuh bicara.
”Dengan 20 komunitas pengepul batik di Sukaraja, tiap bulan kami bisa menghasilkan puluhan motif baru. Dengan rumus kombinasi tiga warna, kami membuat motif Bawor, panganan seperti mendoan, gethuk, atau soto, segala macam. Karena saya aktif di klub motor besar, ya, saya buat batik banyumasan bermotif logo klub motor besar. Apa pun yang diminati pasar, ya kami bikin. Inovasi itu kunci,” kata Anto, yang tanpa rikuh mengakui omzetnya yang ratusan juta rupiah per bulan. Kaum cablaka memang istimewa, begitu pula batik-batiknya. (MAWAR KUSUMA/ARYO WISANGGENI G)