Batik tak sekadar lembaran kain bertulis malam yang ditorehkan dengan penuh curahan rasa dan cinta. Lewat lembaran kain batik, orang Betawi menajamkan kesadaran akan identitas etnisnya. Entitas suku yang terbentuk dari peleburan kemajemukan yang ekstrem.
Siti Laela (52), pengelola Batik Betawi Terogong di Cilandak, Jakarta Selatan, membentangkan selembar kain batik berlatar hitam bermotif ondel-ondel. Ondel-ondel adalah salah satu ikon Betawi yang selalu muncul di berbagai acara khas Betawi yang melambangkan tolak bala. Motif inilah yang paling digemari pasar.
”Ondel-ondel di batik ini saya bikin berukuran sangat besar. Sementara gedung-gedung tinggi di belakangnya yang melambangkan Jakarta, lebih kecil. Kenapa, karena saya ingin di Jakarta, Betawi tetap jaya. Enggak kalah sama gedung-gedung tinggi itu,” ujar Laela, orang Betawi yang lahir di Terogong.
Warna latar hitam pada batik ondel-ondel yang tengah dibentangkannya itu mencerminkan kondisi kelam yang dialami masyarakat Betawi yang kian terpinggirkan.
Pada motif tebar mengkudu, Laela menyuntikkan pesan lain. Ia memendam harap, orang Betawi bisa terus eksis seberat apapun kondisi yang dihadapi. Coba simak kepanjangan dari nama motif ”tebar mengkudu” ini. ”Tebar mengkudu itu maksudnya, tekun dan sabar itu emang kudu. Pas, kan? Jadi, orang Betawi di Jakarta emang kudu tekun dan sabar. Kalau enggak, ya, makin tergusur,” kata Laela.
”Dulu, di Terogong, mengkudu banyak sekali. Meski buahnya tak terlalu enak, daunnya enak sekali dibuat campuran nasi goreng,” kata Laela.
Laela juga membuat motif lain yang memiliki keterikatan dengan kebetawiannya. Beberapa di antaranya motif tapak liman, tapak dara, uribang (bunga sepatu), dan segala hal khas Betawi yang kini makin hilang.
Upaya Laela membangun dan mengembangkan batik betawi, yakni batik yang memuat identitas kebetawian itu, dirintisnya sejak 2011. Ia mengikuti pelatihan batik, mendapat bantuan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan menggandeng perempuan-perempuan di sekitar Terogong. Awalnya memang sulit. ”Mereka (ibu-ibu di Terogong) melihat ngebatik itu enggak keren,” ujar Laela.
Jauh di perbatasan Jakarta dan Bekasi melewati jalur tengkorak Cakung-Cililitan yang padat, tepatnya di Kampung Kebon Kelapa, Tarumanegara, Marunda, upaya serupa dilakukan Ernawati (27). Erna bahkan memulai lebih dulu merintis Batik Seraci ketimbang Laela.
Marunda yang disebut Erna kampung pinggiran itu memang kampung orang Betawi. Secara administratif, Marunda kini tercatat sebagai bagian wilayah Bekasi. ”Sekarang orang Betawi udah di pinggiran, pendatangnya di Jakarta. Yang punya Jakarta (orang Betawi) nyingkir,” katanya.
Lima tahun lalu, Erna bertekad memunculkan batik betawi di Marunda meski dalam sejarahnya Marunda tak dikenal sebagai daerah perbatikan seperti Palmerah dan Karet di masa lalu. Sementara, di Marunda, penduduknya didominasi petani dan nelayan.
Identitas etnis
Melalui batik, Erna mencoba mengangkat kembali identitas kebetawiannya. Dia banyak mengajak anak muda putus sekolah di Marunda untuk membatik. ”Orang Betawi terkenal males. Sampai sekarang pun masih ada yang cuma ngandelin harta orangtua. Lewat batik, saya ingin membuktikan, orang Betawi enggak seperti itu,” kata Erna.
Erna sudah menciptakan lebih dari 300 motif batik. Dia banyak mengangkat ragam kuliner, flora-fauna dan kesenian khas Betawi dalam batiknya. Seperti penganten betawi, golok, ondel-ondel, penari topeng betawi, buah kecapi, elang bondol, bajaj hingga tanjidor.
Upaya Erna dan Laela itu diwadahi oleh Keluarga Batik Betawi (KBB) yang salah satu bidannya adalah Lembaga Kebudayaan Betawi. Setelah Erna dan Laela, batik betawi juga ditularkan ke Muara Tawar, Kebon Kosong Kemayoran, Rusun Marunda, hingga Ramawangun dan Setu Babakan.
Titik-titik persebaran batik betawi itu, menurut Ketua Yayasan KBB Yahya Andi Sahputra dipilih karena pernah menjadi daerah perbatikan. ”Awalnya di kampung itu menurut nenek moyang, ibu-ibu suka nyanting dan nembok. Dari situ kita coba hidupkan lagi batiknya,” kata Yahya.
Di luar KBB, ada Emma Damayanti yang sejak 10 tahun lalu mengembangkan batik betawi dengan bendera Rumah Betawi di kawasan Jatinegara Kaum. ”Saya pikir siapa lagi yang akan menghidupkan Betawi kalau bukan saya. Saya orang Betawi, menjiwai Betawi,” katanya.
Motif yang dia kembangkan adalah motif yang sekiranya akan tetap diingat hingga lama dalam wajah kontemporer. ”Motif seperti Ciliwung, legenda Si Pitung, busway, saya tuangkan di batik, sampai penari topeng blantek. Anak cucu saya harus tahu apa itu budaya Betawi. Jadi, pembelajarannya melalui batik,” tutur Emma.
Ada juga batik khas Palbatu yang dikembangkan Rumah Batik Palbatu yang dikelola Temmy Faal Anggasa dan teman-temannya. Rumah Batik Palbatu di kawasan Tebet ini bahkan menjadi rujukan banyak mahasiswa asing yang ingin belajar membatik.
Dari Terogong, Marunda, sampai Palbatu, kegairahan membatik mulai terasa menghangat di kalangan masyarakat Betawi. Mereka bercerita, curhat, tentang dirinya melalui lembar-lembar kain batik.
Sebagai konseptor
Berbeda dengan kisah perajin batik di Jakarta zaman dulu, perempuan Betawi, seperti Erna, Laela, dan Emma yang kini melahirkan batik betawi sepenuhnya menjadi konseptor batik karya mereka. Sebagaimana dikatakan pengusaha, pemerhati dan kolektor batik, Hartono Sumarsono, yang tinggal di kawasan Karet. Menurut dia, di masa lalu, juragan batik di kawasan Karet yang umumnya orang Tionghoa biasa membuat konsep atau gambar batiknya terlebih dahulu pada lembaran kain mori yang akan dibatik. Setelah itu baru kain-kain itu dibatik atau dicanting dan ditembok para perajin orang pribumi, termasuk orang Betawi, sebelum kemudian dikembalikan lagi untuk diwarnai.
”Kalau soal penamaan motif tidak ada pakem. Tapi gambarnya saya yang konsep, lalu pesan ke teman yang pintar gambar di Jakarta. Semua saya lakukan sambil diskusi minta masukan ke berbagai pihak. Saya menuangkan sebanyak apa pun hal yang berbau Betawi di batik,” ujar Erna.
Laela pun demikian. ”Pakem motifnya enggak ada. Tapi semua ide dari saya. Biasanya saya minta digambarkan ke Cirebon, lalu kalau cocok dibalikin lagi ke saya lalu dibikin batik,” ujar Laela.
Sebagai konseptor, Laela sadar betul dengan apa saja yang dia tuangkan di batik karyanya. Dia banyak menciptakan motif batik yang kental unsur Betawi, sebagai cara untuk menyuarakan gugatannya terhadap eksistensi Betawi yang terus tergerus laju perubahan zaman di Jakarta.
Masih lekat dalam ingatannya bagaimana kawasan yang kini menjadi lapangan golf itu dahulu adalah lahan tambak ikan, sawah, kebun kacang serta kobak (mata air) yang dimanfaatkan masyarakat Betawi Terogong untuk mandi dan mencuci.
”Dulu tanah itu katanya dibeli untuk kepentingan pengembangan kota. Nyatanya malah dibuat mal dan apartemen mewah. Makanya sampai sekarang saya enggak pernah menginjakkan kaki di mal itu,” kata Laela dengan wajah masygul. Di Jakarta yang melting pot, keterpinggiran etnis Betawi itu, memang tak terelakkan. Dalam buku Betawi Tempo Doeloe, Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi karya Abdul Chaer disebutkan, masyarakat Betawi mulai tercerai berai akibat pembongkaran kampung-kampung orang Betawi untuk perluasan Jakarta dan penyediaan permukiman baru. Mulai di kawasan Kebayoran Baru di tahun 1949, disusul Kampung Senayan, Kampung Petunduan, dan seterusnya di tahun 1960-an. Setelah itu, pembongkaran di seluruh Jakarta terjadi tanpa terkendali.
Seperti diungkap Sejarawan Mona Lohanda, saat ini, dari sisi populasi, etnis Betawi di Jakarta sekarang diperkirakan hanya sekitar 5 persen.
Karakteristik Betawi
Pemerhati kain dan penulis buku Batik Betawi: Dalam Perspektif Budaya Kreatif, Suwati Kartiwa, mengatakan, batik betawi yang kini muncul, sangat berbeda dengan batik yang diproduksi di Jakarta oleh pengusaha Tionghoa yang disetir selera pasar belaka.
”Artinya kalau pasaran sudah tidak menguntungkan, ya, enggak dibikin lagi. Jadi, kalau memang mereka (pengusaha Tionghoa di masa lalu) market oriented, bukan karena tradisi,” kata Suwati.
Batik betawi saat ini, ujar Suwati, mungkin memang mencoba menampilkan apa yang menjadi keunikan mereka. Antara lain dengan menampilkan motif ondel-ondel dan dari sisi warna, banyak menggunakan warna coklat, merah ati ayam, dengan latar belakang sedikit bernuansa krem. Bila terang sekali sudah pasti dipengaruhi batik pesisiran.
”Namun demikian, tetap sulit dianalisis. Semakin intens proses melting pot sebuah tempat, akan makin kaya pula yang muncul dalam selembar kain batik. Jadi, walaupun berusaha menunjukkan ciri khasnya, batik betawi tak akan lepas dari pengaruh budaya dari wilayah lainnya, seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah yang justru memperkaya budaya aslinya,” kata Suwati.