Uswatun Hasanah (45) memperlihatkan kain tenun merah berbenang emas hasil tenunan nenek buyut neneknya. Usia kain itu menurut Uswatun mencapai 200 tahun. Meski kainnya ditawar orang dengan harga Rp 100 juta, Uswatun bergeming. Ia mempertahankan kain warisan leluhurnya itu bersama sekitar 600 lembar kain batik lawas lainnya.
Batik sulit dipisahkan dari kehidupan orang Tuban, termasuk di Kecamatan Kerek. Gores canting seirama dengan hela napas masyarakatnya. Selain melengkapi estetika penampilan, batik juga sebagai sarana untuk menyelaraskan diri dengan alam dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Uswatun, warga Desa Kedungrejo, Kecamatan Kerek, adalah satu di antara sedikit yang mempertahankan kain batik lawas peninggalan leluhur. Ia memperoleh kain itu dari nenek, ibu, kerabat, dan hasil lelang di pegadaian.
”Nenek saya anaknya lima, laki-laki semua. Kebiasaan di sini, kain batik dijadikan seserahan, jumlahnya minimal lima. Untuk orang berada bisa sampai 100 lembar,” ungkap Uswatun saat ditemui di rumahnya sekaligus ruang pajang batiknya, Sekar Ayu.
Setiap menjelang Lebaran, Uswatun mencuci kain-kainnya agar bersih dari debu. Kebiasaan yang juga diturunkan dari tradisi pendahulu. Mendiang neneknya mempersiapkan kain batik kebutuhan seserahan kelima anak lelakinya yang mencapai 500 lembar. Kebanyakan adalah batik gedhog. Batik yang dibuat di atas kain tenun gedhog memang menjadi ciri khas batik di Kerek. Disebut gedhog karena ketika alat difungsikan berbunyi dhog dhog.
Kain gedhog dibuat dari benang kapas yang dipintal sendiri. Kapasnya pun ditanam di tanah setempat. Dengan demikian, orang Kerek menguasai proses produksi batik gedhog mulai dari hulu hingga hilir. Ada dua jenis kapas yang biasa digunakan, kapas putih dan kapas coklat. Hasilnya berupa benang yang disebut lawe. Khusus untuk benang dari kapas coklat disebut lawe lawa.
Ada lima dari 17 desa di Kerek yang para perempuannya dikenal memiliki kemampuan memintal benang, menenun, membatik, hingga mewarnai, yakni Margorejo, Gaji, Kedungrejo, Karanglo, dan Temayang. Mereka membagi diri dengan bidang keahlian masing-masing sekaligus membentuk sistem ekonomi berlandaskan gotong royong. Orang Kerek dikenal akan keterampilannya membatik tanpa pola atau jiplakan kain, baik untuk motif utama maupun latar. Kain dibatik bolak-balik, bagian depan dan belakang. Mereka bagaikan seniman yang melukis kain dengan cantingnya.
”Dulu ada semacam pembagian kerja. Warga desa ini menguasai pintal dan tenun, desa lain menguasai pembatikan, membuat pasta indigo, dan seterusnya. Semua barang dulunya diperdagangkan barter di Pasar Kerek,” ungkap Rukayah (56), pembatik dari Desa Margorejo, Kerek.
Rukayah dikenal dengan keahliannya mewarnai batik dengan indigo atau nila (Indigoferasp). Kemampuan itu diturunkan dari nenek pihak bapak. Sementara sang ibu mewariskan keterampilan menenun. Salah satu resep penguat warna yang diwarisinya adalah lumpur (air limbah rumah) dan daun jetun.
”Sekarang sudah banyak berubah. Di Pasar Kerek tidak ada lagi barter. Pembagian kerja tidak terlalu kentara karena sudah banyak perorangan yang menguasai proses dari awal sampai akhir,” kata Rukayah.
Batik gedhog pada awalnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kain panjang yang disebut tapeh atau sewek beserta selendang atau sayut adalah dua hal yang harus dimiliki perempuan Kerek. Kain dan selendang bisa menjadi simbol status sosial seseorang.
”Bagi kami orang Gaji, kalau tidak punya jarik jawa (gedhog) dan jarik lasem (dari mori), rasanya bukan orang Gaji. Kalau pas buwoh (kenduri) pakai jarik dan selendang gedhog, rasanya top banget,” ungkap Wahyuni (36), pembatik dari Desa Gaji.
Hal serupa diungkapkan rekannya sesama pembatik, Sari (42) dan Sarpi (31). Orang setempat punya kebiasaan menyumbang beras ketika menghadiri hajatan yang dibawa ketika buwoh. Wadahnya adalah bokor kuningan yang digendong dengan selendang gedhog.
Dalam pernikahan, jika orangtua laki-laki punya semacam kewajiban menyiapkan kain batik sebagai seserahan, orangtua perempuan punya kewajiban menyiapkan baju dan sarung batik gedhog bagi calon menantu pria.
Selain sebagai seserahan, batik gedhog juga dipakai sebagai kostum pengantin, yakni sebagai bawahan untuk perempuan serta celana panjang dan jas bagi laki-laki. Kini, tradisi itu telah banyak digantikan batik berbahan mori keluaran pabrik. Selain terkait pernikahan, batik atau kain gedhog juga erat kaitannya dengan ritual seperti sedekah bumi, musim tanam dan panen, tingkeban (kehamilan tujuh bulan), serta kelahiran bayi.
Hingga saat ini, pada musim panen masih sering ditemukan wadah sesaji di sudut sawah. Isinya satu ukel (gulung) benang kapas beserta uba rampe lainnya, seperti tumpeng, ayam panggang, telur, sisir kecil, dan cermin. ”Sesaji sebagai tanda syukur kepada Yang Maha Kuasa,” kata Rukayah.
Busana batik juga dianggap sebagai penjaga perilaku sehingga muncul ungkapan ajining raga saka busana. Seseorang yang memakai batik diharapkan dapat menjaga perilakunya. ”Apalagi, kalau pakainya batik motif klasik, tidak boleh pencilakan dan ngomong sembarangan,” kata Karsam, ahli batik yang menulis disertasi tentang perbandingan batik tuban dan batik malaysia.
Selain Kerek, daerah pembatikan juga ditemukan di Kecamatan Palang, Semanding, Tuban, dan Merakurak. Orang Tuban meyakini, motif-motif batik mereka hasil pengaruh Majapahit dan Mataram, Tiongkok, serta Islam. Sekarang ini, motif-motif batik tuban yang muncul memperlihatkan adanya imbuhan motif yang disebut ren-renan.
”Pada motif batik tuban sekarang hampir selalu kita temui ren-renan, termasuk pada motif daun atau bunga. Ren-renan asal katanya dari ren atau eri (duri). Bentuknya garis-garis seperti duri ikan,” kata Karsam yang juga dosen pada Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Teknik Komputer Surabaya.
Ini bisa dianggap sebagai pengaruh dari posisi Tuban yang berada di pesisir sehingga warganya dekat dengan kehidupan laut. Namun, beberapa pembatik mengungkapkan, ren-renan sengaja dibubuhkan pada segala motif untuk menegaskan ciri khas batik tuban, seperti diungkapkan pembatik Nanik Hariningsih (41) dari Desa Margorejo. Corak ren-renan kemungkinan juga terinspirasi dari motif porselen Tiongkok.
Batik gedhog, yang kainnya tebal dengan tekstur agak kasar, kini sudah jarang dikenakan orang setempat karena cenderung panas di tengah cuaca tropis, kecuali dalam bentuk selendang. Batik gedhog lebih banyak dikirim ke Bali dan Jakarta sebagai bahan interior, seperti dilakukan Uswatun dan Nanik. Rukayah bahkan sesekali mendapat pesanan dari Jepang.
Keunikan batik tuban lainnya, menurut Karsam, penamaan batik mengacu pada latar dan bukan motif utamanya. Misalnya, gringsing, uker rantai, nam katil, dudo brengos, atau galaran. ”Motifnya banyak berunsurkan alam, geometri, tumbuhan, hewan, dan manusia,” kata Karsam.
Berdasarkan tekniknya, batik tuban dibagi menjadi batik irengan, putihan, dan cocohan. Batik irengan jika latarnya terlihat gelap karena diwarnai dan sebaliknya untuk putihan. Untuk memasukkan warna soga atau coklat tua, malam dikerok dengan pisau lantas dicelup zat warna soga. Disebut cocohan jika tutupan malam pada latar ditusuki (cocoh) dengan duri sehingga meninggalkan motif titik-titik.
Jika batik kerek dikenal dengan batik gedhog-nya, batik palang dikenal akan kehalusannya yang dihiasi motif klasik pengaruh Mataram dan Majapahit. Di sana, dikenal motif mentaraman, sidomukti, liris, lereng, dan gurdo, tetapi dengan motif yang sedikit beda dengan motif batik yogyakarta dan solo. ”Pembatik Palang sengaja bertahan dengan motif klasik sebagai ciri khas kami,” kata Kustini (48), pembatik dari Desa Gesikharjo.
Batik tuban secara umum dipengaruhi budaya Tiongkok, Islam, dan Jawa. Ini terlihat dari motif-motifnya, seperti motif kijing miring yang dipercaya orang setempat diciptakan Sunan Bonang. Motif burung hong tentu saja hasil pengaruh dari Tiongkok. Motif seperti panji ori, panji puro, dan panji serong diyakini sebagai motif warisan dari Majapahit. Sementara motif seperti sidomukti, gurdo, liris, dan kawung dekat dengan motif dari Yogyakarta dan Solo.
Batik palang bisa dibilang memperlihatkan teknik membatik paling halus dan detail di Kabupaten Tuban. Harga jualnya juga paling tinggi, mulai dari Rp 1 juta per lembar kain. Harga yang tinggi menyebabkan penjualannya tidak terlalu ramai. Membatik yang dilakukan sebagai sambilan semakin ditinggalkan. Banyak yang beralih menjadi pedagang di tempat wisata ziarah, seperti makam Syek Maulana Ibrahim Asmoroqondi yang merupakan ayahanda Sunan Ampel. Pembatik seperti Rina dan Sri Endah masih bertahan membatik, tetapi lebih mengutamakan operasional warungnya yang berlokasi di luar kompleks makam. ”Kalau membatik dapat uangnya sebulan sekali, kalau warung menghasilkan uang setiap hari,” kata Rina.
Sementara itu, di Semanding, dengan kualitas batikan sedikit di bawah batik palang, menyiasati pasar dengan menawarkan batik-batik berwarna cerah selain tetap membuat batik motif klasik. ”Batik berwarna-warni yang cerah lebih disukai pembeli sekarang,” kata Emmy Supangesti (58).
Batik-batik cerah tentu saja diperoleh dari pewarna kimia. Namun, Emmy yang berwawasan lingkungan mengimbanginya dengan instalasi pengolah limbah yang membuat limbah cair batiknya sudah bersih ketika dibuang ke selokan umum.
Lain lagi dengan pembatik di Desa Sumurgung, Kecamatan Tuban, dan di Kecamatan Merakurak yang menyiasati pasar dengan membuat kaus-kaus batik dengan teknik cap atau tulis. Harga jualnya di bawah Rp 100.000 per potong. Kebanyakan dipasarkan di tempat wisata ziarah di Tuban dan sekitarnya di Jawa Timur. Bagaikan motif burung hong yang meliuk-liuk, begitu pula para pembatik yang sigap meliukkan strateginya agar tetap mampu bertahan mengikuti perjalanan zaman.