KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Yanti Floriza melayani calon pembeli melihat batik-batik khas Bengkulu di Toko Joewada, Kota Bengkulu, Bengkulu, Minggu (5/6).

Batik Jambi-Bengkulu

Membatik untuk Merawat Tradisi * Selisik Batik

·sekitar 6 menit baca

Siang itu, pertengahan Juli lalu, kawasan Simpang Pulai, Kota Jambi, cukup ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang di depan deretan pertokoan. Di dalam salah satu toko tampak deretan rak yang memajang puluhan kain batik warna-warni. Tak kurang dari 10 pengunjung memadati ruangan berukuran sekitar 5 x 8 meter.

Rita (20), salah satu pramuniaga toko Batik Rizky, cukup kewalahan melayani pembeli. Setiap pengunjung yang datang setidaknya membeli lebih dari satu potong kain batik. Meskipun Batik Rizky juga menjual kain tenun songket jambi, siang itu batik tampak lebih diminati pengunjung.

Simpang Pulai merupakan sentra penjualan batik jambi di Kota Jambi. Awalnya, tahun 2003 di kawasan ini hanya terdapat satu-dua toko yang menjual batik khas Jambi. Kini belasan toko telah berdiri dan menawarkan beragam kain batik, baik batik tulis, cap, maupun kombinasi tulis dan cap. Kawasan ini telah menjadi salah satu tujuan membeli oleh-oleh khas Jambi.

Hidupnya pasar batik jambi ditandai oleh kemunculan usaha perbatikan yang tersebar di sejumlah kabupaten di tanah Angso Duo ini. Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jambi memperlihatkan, hingga pertengahan tahun 2016 ini terdapat 238 perajin batik yang tersebar di sembilan kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, sebanyak 121 perajin berada di Kota Jambi. Sisanya tersebar di Kota Sungai Penuh, Kabupaten Tebo, Tanjung Jabung Timur, Sarolangun, Merangin, Kerinci, Bungo, dan Batanghari.

Menilik produksi usaha perbatikan Jambi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jambi mencatat nilainya mencapai Rp 127,767 miliar pada pertengahan 2016. Nilai investasinya bahkan mencapai Rp 3,1 triliun. Usaha perbatikan di Jambi tersebut berhasil menyerap 1.437 tenaga kerja, mulai dari pebatik hingga karyawan bagian ekspedisi, administrasi, dan pramuniaga.

Bangkit

Kebangkitan batik jambi tak bisa dilepaskan dari peran pemerintah lokal, baik provinsi maupun kabupaten kota. Batik jambi mendapat perhatian saat pemerintahan Gubernur Abdurrahman Sayoeti pada 1989-1999. Melalui istrinya, Lily Abdurrahman Sayoeti, yang saat itu menjabat Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Jambi, menggalakkan kembali pemakaian kain batik jambi dalam pentas-pentas tari.

Lily Sayoeti juga mendirikan Yayasan Bina Lestari Budaya yang bersalin rupa menjadi Sanggar Kerajinan Selaras Pinang Masak yang menampung perajin batik Provinsi Jambi. Dari sinilah pembinaan dan pendampingan dilakukan untuk sejumlah perajin batik. Tak hanya itu, pada medio November 1996, Jambi menggelar simposium internasional tekstil yang dihadiri 116 negara. Peristiwa internasional ini membukakan mata masyarakat Jambi tentang kekayaan budaya lokal, khususnya motif-motif batik jambi.

Sejak saat itu, batik jambi kembali mendapat tempat di hati masyarakat Jambi dan perajin kain batik jambi bermunculan bak jamur pada musim hujan. Sentra perajin batik jambi berlokasi di sejumlah kecamatan di seberang Sungai Batanghari, atau lebih dikenal dengan kawasan Jambi Seberang.

Fokus untuk membangkitkan batik jambi dilanjutkan pada masa pemerintahan Gubernur Zulkifli Nurdin periode 1999-2004 dan 2005-2010. Di tangan istrinya, Ratu Munawaroh, tengkuluk atau penutup kepala tradisional khas Jambi yang menggunakan kain batik digencarkan pemakaiannya untuk acara pesta ataupun hajatan. Batik jambi semakin dicari orang karena penggunaan tengkuluk juga dibarengi dengan pemakaian batik sebagai kain bawahan atau sarung.

Hingga kini dukungan pemerintah provinsi terhadap batik jambi tak kecil. Kerja sama antara Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), koperasi, Dekranasda, dengan BUMN semuanya bahu-membahu untuk memajukan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Jambi, termasuk UMKM batik.

Bentuk dukungan berupa pelatihan, promosi, hingga pinjaman kredit dengan syarat mudah disediakan bagi mereka yang memenuhi syarat. ”Perajin bisa saja dapat pinjaman hingga ratusan juta. Syaratnya hanya satu, jujur,” kata Ida Maryanti, penyuluh perindustrian Disperindag Provinsi Jambi.

Tradisi

Meskipun saat ini kemunculan tekstil bermotif batik dinilai cukup mengganggu, sejumlah pengusaha batik jambi tetap setia memproduksi batik tulis, cap maupun kombinasi tulis dan cap. Seperti Ratu Hasnah (60), pemilik batik Melati Putih, tidak tergerak menggeluti tekstil bermotif batik. ”Batik printing (tekstil bermotif batik) itu secara budaya sudah merusak batik jambi,” ujar Hasnah.

Ia tidak tergerak membuat tekstil bermotif batik meskipun ongkos produksinya lebih murah. ”Batik jambi adalah bagian dari kehidupan kami,” kata Hasnah. Ia telah membuat batik sejak 1987 dengan bermodalkan Rp 20.000 untuk membeli lima kain putih. Kini omzet usahanya berkisar Rp 3 juta-Rp 10 juta sehari. Semua anggota keluarganya pun saat ini menggeluti batik sebagai mata pencarian.

Membatik sebagai panggilan hati juga dilakukan Zainul (55), pegiat batik. Ketika gelaran Simposium Tekstil Internasional tahun 1996, dirinya ditantang untuk membuat kembali kain batik dengan pewarnaan dan motif kuno. Padahal, pewarnaan batik kuno menggunakan bahan-bahan alami yang sudah sulit ditemui.

Namun, tekadnya untuk melestarikan batik Jambi mendorongnya melakukan riset kain-kain batik lawas Jambi, termasuk teknik pewarnaan dari alam. Hingga kini, meski pernah vakum karena musibah kebakaran yang sempat membuatnya trauma, Zainul tetap mendedikasikan diri sebagai pelestari motif batik jambi kuno. Baginya, membatik tidak sekadar mencari penghasilan, tetapi lebih sebagai pengabdian kepada tradisi batik jambi.

”Saya membatik tergantung mood,” ujar Zainul. Ia tidak memiliki target produksi tertentu. Zainul lebih suka membatik saat menemukan motif lawas yang perlu dibuat replikanya. Atau saat menemukan pewarna alami baru yang bisa digunakan untuk produksi batiknya. Karena unik, biasanya kain batik hasil produksinya langsung terjual ke tangan kolektor.

Meski masih mengandalkan bahan baku dari Pulau Jawa, komoditas batik jambi bisa bertahan hingga kini karena terdapat individu-individu yang tetap setia memproduksinya. Kombinasi sebagai komoditas ekonomi dan keinginan menjaga tradisi menjadikan batik jambi tetap bertahan, bahkan berpotensi terus berkembang.

Besurek

Di wilayah pesisir barat Sumatera, geliat kain besurek bengkulu tak sedinamis batik jambi. Kain besurek (bersurat) dulu lebih banyak digunakan sebagai perlengkapan upacara adat, seperti perkawinan, kelahiran, dan kematian. ”Awalnya kain besurek dibuat secara terbatas untuk keluarga oleh perempuan Bengkulu,” kata Muhardi, Kepala Seksi Koleksi Konservasi dan Preparasi Museum Negeri Bengkulu.

Dalam perkembangannya, kain besurek juga dikenakan sebagai pakaian sehari-hari dengan motif yang semakin beragam. Momen popularitas kain besurek terjadi pada periode Gubernur Razie Yahya tahun 1989-1994. Gubernur mendorong penggunaan kain besurek di setiap instansi pemerintah, mulai dari BUMD, acara-acara seperti syukuran ulang tahun Provinsi Bengkulu, syukuran kemerdekaan RI, di sekolah-sekolah, jemaah haji, hingga kontingen olahraga.

Namun, upaya itu belum membuahkan hasil maksimal. Motif batik besurek kurang mampu menarik minat masyarakat memajukan usaha ini. Data Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bengkulu memperlihatkan saat ini jumlah perajin batik besurek di Bengkulu tak lebih dari 10 orang. Jumlah ini tersebar di beberapa kelurahan di Kota Bengkulu. Nilai produksi hingga pertengahan 2016 hanya Rp 629 juta.

Salah satu faktor yang menghalangi perkembangan kain besurek adalah sulitnya menyediakan tenaga kerja. Seperti diungkapkan Atiq Opet, pemilik batik besurek Atiq, ”Anak-anak sekarang tidak suka bekerja membatik. Mereka lebih suka pekerjaan lain yang tidak butuh ketelatenan, seperti membatik.”

Perempuan yang mewarisi usaha batik besurek dari ibunya, Uni Opet, menyatakan, penghasilan dari membatik sebenarnya tak terlalu rendah. Jika rajin, bisa mendapat Rp 1,5 juta per bulan. Tetapi, jumlah ini belum berhasil menarik minat kaum muda. Para pebatik di Batik Atiq didominasi ibu rumah tangga yang membawa pulang kain untuk dibatik.

Upaya regenerasi memang tidak mudah. Untuk merawat tradisi tidak cukup dengan hanya mengajarkan keterampilan. Lebih dari itu, dibutuhkan penanaman kesadaran akan pentingnya nilai-nilai budaya pada selembar kain besurek. (C13/PALUPI PANCA ASTUTI/Litbang Kompas)

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Tempat tisu bermotif batik khas Bengkulu di Toko Joewada.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Asniarti mengontrol pekerjaan pegawainya yang sedang membatik di ruang kerjanya di Kota Bengkulu, Selasa (7/6).

Artikel Lainnya