Mbah Dainah (75) duduk menghadap kain putih yang separuhnya bertorehkan malam. Di bawah kain putih, terdapat selembar kain batik jadi yang sama-sama terpasang di gawangan. Ia membatik dengan cara ”nurun” atau mencontoh dari kain batik lama. Teknisnya, Dainah akan menggoreskan motif dengan cara ”ngeblad” atau menjiplak motif utama dari kain batik di bawah kain putih. Latar atau isian motif utama (”isen-isen”) menjadi ranah bebas ekspresinya.
Begitulah, hampir seluruh hidup Dainah diabdikan untuk membatik yang sekaligus menjadi tumpuan penghidupannya.
Dainah menjadi benteng terakhir pembatik di dusunnya. Tidak ditemukan pembatik lain selain dirinya di Dusun Boresan, Desa Karangasem, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Hal serupa tampak di Dusun Kramalan, Desa Karangasem Selatan, Kecamatan Batang, yang menyisakan pembatik Suyamti (65).
Di Dusun Masin, Desa Masin, Kecamatan Warung Asem, hanya tinggal Rujaemah (60) dan Muslikhah (45), ibu dan anak yang masih membatik. ”Dulu hampir setiap rumah di kampung ini ada yang membatik. Sekarang tinggal kami,” kata Muslikhah.
Begitu pula dengan batik batangan yang hanya tinggal menyisakan kira-kira 12 pembatik tulis. Sebagian besar juga sudah berusia lanjut. ”Itu sebabnya produksi batik tulis batangan tidak banyak,” kata Walyadin, Ketua Kluster Batik Batangan.
Batik rifa’iyah sedikit lebih beruntung. Jumlah pembatiknya 83 orang di Desa Kalipucang Wetan dan Kulon, Kecamatan Batang, ditambah 50 orang di Desa Wates Alit, Kecamatan Warung Asem.
Miftakhutin (38), tokoh batik rifa’iyah, menuturkan, kebanyakan anak muda lebih tertarik bekerja di pabrik konfeksi, pabrik garmen, atau menjadi penjaga toko karena tempat kerja yang lebih bersih meski penghasilan belum tentu lebih besar. Gaji pekerjaan jenis ini Rp 600.000-Rp 700.000 per bulan, sementara membatik jika dilakukan penuh waktu dapat menghasilkan satu lembar kain per bulan dengan harga berkisar Rp 1 juta-Rp 1,7 juta per lembar.
Untuk Pekalongan
Regenerasi boleh jadi menjadi isu pengembangan batik batang walaupun tidak sepenuhnya benar. Di Desa Denasri, Kecamatan Batang, terdapat ratusan pembatik halus. Namun, status mereka hanya buruh yang menjadi tulang punggung produksi batik halus para juragan di Pekalongan.
”Saya tidak pernah usaha batik sendiri, takut tidak laku. Batik halusan seperti ini susah menjualnya kalau tidak punya pasar karena sangat mahal,” kata Mariam (38) yang membatik sejak usia 12 tahun.
Keahlian Mariam yang bekerja untuk seorang juragan batik pekalongan ini adalah membatik dengan canting nol. Ini adalah diameter ujung canting terkecil yang setara dengan pena Rapido ukuran 0,1 milimeter. Bagi Mariam dan kebanyakan pembatik lainnya di desa itu, lebih mudah bekerja dengan gaji Rp 28.000 per hari.
Juri (40), buruh ngecap batik, juga belum tertarik membuka usaha batik sendiri. ”Kalau pemasaran mungkin tidak masalah, titip teman atau setor ke pasar-pasar grosir. Namun, untuk modal, butuh besar. Beli cap saja sudah Rp 1,2 juta per set. Itu baru satu motif. Belum kainnya,” kata Juri.
Perkembangan Batang sebagai daerah agraris agaknya memengaruhi karakter dan pola pikir warga Batang. Sementara Pekalongan sejak awal tumbuh sebagai kota dagang dan industri sehingga berkembang lebih dinamis. ”Orang Batang terbiasa bekerja untuk orang Pekalongan sehingga tidak banyak keberanian untuk mengangkat ciri khas batiknya. Identitas batik batang tidak pernah mandiri, tertutup oleh popularitas batik pekalongan meski batik batang sebenarnya punya ornamen dan warna yang beda dengan daerah lain,” kata Zahir Widadi, Dekan Fakultas Batik Universitas Pekalongan.
Orang Pekalongan dinilai lebih terasah jiwa kewirausahaannya dengan usaha batik sebagai saluran. Ilmu tentang seluk-beluk batik dipelajari lewat kegiatan sehari-hari, seperti diungkapkan Failasuf, pengusaha batik yang juga Ketua Kamar Dagang dan Industri Kota Pekalongan. ”Sejak kecil, kami sudah dilibatkan dalam proses batik, mulai dari mencampur warna sampai membuat nota. Ketika kuliah di luar kota pun, kami harus membawa batik untuk dijual. Hasilnya digunakan untuk kuliah,” ungkap Failasuf.
Di Batang, anak-anak pengusaha batik banyak yang tidak meneruskan usaha orangtua mereka karena beralih ke bidang lain. Jiwa priayi sekaligus jiwa abdi dalem membuat pekerjaan sebagai pegawai atau abdi negara dipandang lebih tinggi. ”Anak-anak juragan sekolah tinggi lalu menjadi guru, PNS, atau bekerja di bank,” kata Abusaeri, Ketua Paguyuban Batik Manunggal, Batang.
Kota Pekalongan yang hanya berjarak 7 kilometer dari pusat kota Batang mulai tumbuh sebagai industri batik sejak 1850. Hingga saat ini, industri ini menjadi sumber pendapatan utama warga setempat. Dari 200.000 penduduknya saat itu, etnis Jawa, Tionghoa, dan Arab menguasai industri batik.
Industrialisasi
Pada paruh pertama abad ke-19, Belanda mengekspor tekstil bermotif batik ke Jawa yang berbahan baku katun dari Amerika Serikat. Perang Sipil Amerika yang terjadi pada 1860-an menghentikan kiriman katun dari Amerika. Padahal, perluasan daerah kolonial Belanda telah meningkatkan kebutuhan pakaian. Melihat peluang ini, bermunculan usaha-usaha batik dari skala rumahan hingga pabrik yang dijalankan oleh orang Tionghoa, Arab, Jawa, dan bahkan Belanda yang berada di Pekalongan, seperti tertuang dalam buku Inger McCabe Elliott dalam bukunya Batik Fabled Cloth of Java.
”Batik pekalongan dikenal karena terjadi industrialisasi di sana. Orang-orang asing datang dan meminta orang desa membatik. Kemungkinan sejak dulu orang Batang sudah boro (merantau) sebagai pembatik atau mengerjakan pesanan batik di rumah,” kata MJA Nashir, tokoh Batang yang terlibat penelitian kain Nusantara bersama Sandra Niessen.
Batang yang dulunya merupakan bagian dari Keresidenan Pekalongan memiliki lebih banyak lahan pertanian. Perkembangannya lebih mengarah sebagai daerah agraris. Pekerjaan membatik dikerjakan sebagai sambilan setelah pekerjaan rumah dan bertani selesai dilakukan.
Pekalongan sebagai pusat dari Keresidenan Pekalongan mendapat banyak keuntungan dibandingkan daerah sekelilingnya. Posisinya di tengah pesisir utara Jawa membuatnya sejak dulu kerap didatangi pendatang dan pedagang asing. Ini membuat masyarakat Pekalongan terbiasa berinteraksi dengan kebudayaan asing yang membentuk pola pikir terbuka, responsif, dan pintar berdagang. Ini tecermin lewat batik pekalongan yang memperlihatkan banyak pengaruh asing, seperti Belanda/Eropa, Tionghoa, Islam/Arab, dan Jepang selain Hindu Buddha. Contoh-contohnya bisa dilihat di Museum Batik Pekalongan. Sementara Batang lebih singkat periode interaksinya dengan budaya asing
Perajin batik pekalongan, Mustar Sidiq, mengungkapkan, orang Pekalongan tidak pernah menolak tawaran pekerjaan membatik. Permintaan motif apa pun dikerjakan. Itu sebabnya pesanan datang dari seluruh Nusantara. ”Meskipun belum yakin bisa, kami selalu menerima pesanan sambil memikirkan cara mengerjakannya,” kata Sidiq.
Peniruan
Dinamika batik di Kota Pekalongan begitu tinggi. Motif dan jenis batik dengan cepat bermunculan. Ini didukung tersedianya sumber bahan baku dan pendukung, mulai dari pabrik kain, malam, canting dan cap, pasar grosir yang menampung produksi batik, hingga sumber daya yang melimpah. Ini membuat ongkos produksi rendah yang berujung pada harga batik yang murah. Di sisi lain, kondisi ini menimbulkan persaingan ketat. Motif yang digemari pasar segera saja ditiru.
”Kalau orang mau meniru suatu motif batik, dia tinggal pura-pura lewat agar bisa mengintip batik-batik yang sedang dijemur. Dengan melihat sekilas saja, orang sudah bisa meniru. Makanya kemudian banyak jemuran batik ditutupi seng,” ungkap Sidiq.
Hal serupa diungkapkan Wulan Utoyo (51), pengusaha batik pekalongan yang membuka bengkel kerja di Denasri. Ia membangun dinding tinggi melingkari bengkel kerja agar motif batiknya tidak mudah dibajak. Ia juga memilih para penjahit dari daerah timur Batang yang berjarak sejam bermobil dari pusat kota Pekalongan agar model pakaiannya tidak cepat ditiru.
Kini, jumlah industri batik di Kota Pekalongan di masa kini terus meningkat. Dari semula 634 industri kecil, menengah, dan besar (IKMB) pada tahun 2012 menjadi 1.077 IKMB pada tahun 2015.
Sementara itu, di Batang, menurut catatan terakhir Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Batang, hanya ada 96 unit usaha, terdiri dari 56 unit usaha batik tulis dan 40 unit usaha batik cap, dengan jumlah tenaga kerja 240 orang.
Jumlah ini tidak berkembang sejak awal tahun 1900-an. Catatan antropolog Belanda yang juga Inspektur Perburuhan Hindia Belanda P de Kat Angelino, yang dikutip peneliti batik William Kwan, pada tahun 1928 terdapat 95 pengusaha batik di Batang. Mereka terdiri dari 73 pengusaha Jawa dan 22 pengusaha Tionghoa. Saat ini tidak terdapat lagi pengusaha batik keturunan Tionghoa. Kemungkinan karena tidak ada keturunan yang melanjutkan. Sementara di Pekalongan, pada masa yang sama terdapat 236 pengusaha pribumi, 86 pengusaha Arab, dan 60 pengusaha Tionghoa.
”Mbah saya pernah nikah dengan orang Tiongkok yang membuat usaha batik. Suaminya lalu kembali ke Tiongkok. Usaha batiknya yang ditinggalkan tidak laku, lalu tutup begitu saja, tidak ada yang melanjutkan,” kata Sugiyati (58), warga Boresan.
Iklim usaha
Ada beberapa pengusaha baru muncul, tetapi lebih karena mereka sejak dini terbiasa berdagang atau berwirausaha, seperti Abusaeri dan Walyadin. Keturunan pengusaha batik yang masih meneruskan usaha orangtua cenderung sekadar mengikuti jaringan lama.
Amalinda Savirani dalam disertasinya ”Business and Politics in Provincial Indonesia: The Batik and Construction Sectors in Pekalongan, Central Java” menyebutkan, pada pertengahan tahun 1960-an, 80 persen produsen batik di Indonesia bangkrut, termasuk di Pekalongan. Semestinya juga di Batang. Ini akibat kebijakan pemerintah Orde Baru yang menghapuskan Program Benteng dan proteksi UKM, lalu mengalihkannya pada industri besar, termasuk pabrik tekstil yang lalu mendatangkan mesin printing motif batik. Program Benteng yang diluncurkan tahun 1951 memberi perlindungan kepada pengusaha pribumi, termasuk batik berupa pinjaman dan kemudahan memperoleh kain dan pewarna. Usaha batik semakin buruk dengan membanjirnya kain printing motif batik.
Merosotnya batik pada masa itu, kemungkinan membuat usaha ini di Batang banyak ditinggalkan. Pengolahan batik sebagai produk mode membantu pamornya naik kembali. Begitu pula pemakaian batik sebagai seragam pegawai. Namun, agaknya Batang butuh upaya ekstra agar usaha batik lebih bergairah dan mampu mengimbangi kemajuan tetangganya. (WIE)