“Akhirnya saya dapat pekerjaan tetap di Tambang Arang, Bayah. Di sinilah saya mendapat pekerjaan sedikit lebih tinggi dari romusha biasa (maklumlah orang tak punya diploma dan surat keterangan!) sampai menjadi pengurus semua romusha dan penduduk kota Bayah dan sekitarnya dalam hal makanan, kesehatan, pulang-pergi dan sakit-matinya romusha ribuan orang, dengan perantaraan kantor urusan prajurit pekerja”. (Tan Malaka,1946)
Kalimat di dalam kata pengantar buku Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika, menegaskan beratnya menjadi Romusha semasa penjajahan Jepang. Bayah menjadi saksi penulisan karya penting Tan Malaka. ”Madilog ikut lari bersembunyi ke Bayah, Banten, ikut pergi mengantarkan Romusha ke Jawa Tengah dan ikut menggeleng-gelengkan kepala memperhatikan proklamasi Republik Indonesia,” katanya (Madilog: penerbit LPPM Tan Malaka, cetakan kedua 2008).
Menarik dan penting mengaitkan Tan Malaka dengan Bayah, dengan rel kereta api sepanjang 89 kilometer dari Desa Saketi hingga Bayah, dan berujung di Gunung Mandur, tempat penambangan batubara. Aktivis kemerdekaan itu ikut berjibaku bersama Romusha yang membangun jalur kereta itu hanya dalam setahun (Februari 1943 hingga 1 April 1944), di bawah todongan senjata tentara Jepang.
Tan Malaka ada di Bayah, menyaksikan hasil tambang diangkut lori-lori untuk dimanfaatkan, salah satunya, sebagai bahan bakar kapal milik Jepang. Dia merasakan naik kereta api yang dibangun Romusha yang ia urus kesehatan dan makannya.
Sesepuh masyarakat dari Bayah, Bajaji (80), mendengarkan cerita dari ayahnya yang juga tukang urus Romusha bahwa Tan Malaka pernah berseru kencang ketika Bung Karno melawat ke Bayah. ”Kapan Indonesia merdeka?” seru Tan Malaka. ”Tan Malaka ada di tengah-tengah ribuan Romusha saat Bung Karno pidato. Tapi, lalu menghilang. Orang-orang tahu kalau itu Tan Malaka. Jepang mencari-cari asal suara, tapi tidak ketemu,” kata Bajaji di Bayah, September 2015.
Saketi, tak terhingga
Lokasi penambangan batubara di Bayah, Kabupaten Lebak, Banten, tentu menarik hati Jepang. Namun, bagaimana cara mengangkut hasil tambang? KA jadi alternatif paling masuk akal, apalagi sudah ada Stasiun Saketi, yang dibangun Pemerintah Belanda melalui perusahaan KA Staatsspoorwegen pada 1906, yang menghubungkan Rangkasbitung ke Labuan. Dari Saketi, tinggal ditarik garis sampai Bayah-Gunung Mandur.
Saketi berarti tak terhingga, begitu kata Momo Mujaya (66), warga setempat yang menempati bekas Stasiun Saketi bersama keluarganya. Sumber lain menyebutkan, Saketi berarti 100.000, dikaitkan dengan ramalan akan jatuhnya banyak korban nyawa Romusha. Terlepas dari arti itu, nyatanya Saketi memberi gagasan bagi Jepang untuk menjadikannya sebagai simpul baru jalur KA menuju Bayah.
Menjengkelkan sekaligus mencederai harkat kemanusiaan karena untuk pekerjaan kasar pembangunan lintasan Saketi-Bayah Jepang hanya memanfaatkan tenaga kerja paksa dari pribumi. Tenaga ahlinya dari orang interniran Belanda. Sebagian besar Romusha, yang berusia antara 14-30 tahun, berasal dari Jawa Tengah, seperti Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi, Semarang, dan Yogyakarta.
Ketua Komunitas Kereta Anak Bangsa Aditya Dwi Laksana menggambarkan rute pembangunan jalur baru itu. Para Romusha harus menembus hutan belukar, melewati bukit-bukit, menyeberangi beberapa jurang, serta sungai besar dan kecil. Terbayang tubuh-tubuh ceking bermandi keringat, kulit gosong ditempa terik matahari, bekerja menyusun jalur dengan lebar sepur 1.067 milimeter.
Terdapat 20 jembatan di sepanjang Saketi-Bayah. Data dari Unit Pusat Pelestarian, Perawatan, dan Desain Arsitektur PT KAI (Persero), sebagian rel yang digunakan adalah limpahan dari jalur pabrik gula di Jawa Tengah yang ditutup. Ini merupakan jalur sepur tunggal yang menjadi ganda pada setiap stasiun atau halte. Strukturnya lebih kuat dari jembatan lintas baru Muaro-Pekanbaru karena pada setiap ujung jembatan disusun dari material batu.
Kereta api pertama yang dioperasikan pada 1 April 1944 dihela oleh lokomotif seri BB 10.6. Saban hari, sekitar 300 ton batubara muda diangkut dari Bayah ke Saketi. Sekitar 800 penumpang bepergian dengan kereta kelas tiga.
Jalur mati
Sayang, jalur yang memiliki sembilan stasiun dan lima halte (Saketi, Simangu, Kaduhauk, Jalupang, Picung, Kerta, Gintung, Malingping, Cilangkahan, Sukahujan, Cihara, Panyawungan, Bayah, berakhir di Gunung Mandur) berumur singkat. Satu-satunya jalur KA yang dibangun pada masa penjajahan Jepang itu beroperasi pada 1944 dan ditutup pada 1950-an. Jalur itu kini mati. Besi-besi lenyap, halte-halte hilang. Tanah-tanah di sekitar jalur rel telah menjadi rumah. Bekas Stasiun Bayah hanya berupa tanah kosong. Untuk menembus semua jalur juga sukar. Paling-paling dari Saketi lalu singgah ke eks Stasiun Malingping dan sekitarnya serta Bayah, dilanjutkan ke Gunung Mandur.
”Padahal, bekas jalur Saketi-Bayah menyajikan pemandangan menawan. Namun, tak banyak yang tersisa selain bekas badan jalur rel (roadbed), bekas fondasi jembatan KA, serta fondasi emplasemen di beberapa tempat,” tutur Aditya.
Menyedihkan, jalur KA yang eksis saat ini lebih pendek dari yang mati. Panjang total rel kereta api di Provinsi Banten 305 kilometer. Jaringan yang beroperasi di Provinsi Banten sepanjang 147,64 km dan jalur mati 158,46 km (Akhmad Sujadi, Membangun Perkeretaapian Jakarta-Banten, 2011).
Kepala Laboratorium Transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno optimistis, dihidupkannya jalur Saketi-Bayah akan memicu ekonomi rakyat serta memberi akses mudah menuju pantai-pantai indah.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten perlu mendesak pemerintah pusat untuk mengaktifkan jalur Rangkasbitung-Saketi-Bayah. Dari Saketi juga bisa menyimpang ke Labuan. Jika pengaktifan jalur KA yang mati itu masuk akal dan diperlukan, kenapa tidak?
Jalur Saketi-Bayah niscaya bersejarah. Ada Tan Malaka, Romusha, juga Bung Karno, yang ikut makan bersama Romusha. Dibangun selama setahun dengan mengorbankan puluhan ribu nyawa, lalu Saketi-Bayah lenyap dalam sekejap.