Stasiun yang selesai dibangun sekitar 1930 ini merupakan salah satu kebanggaan pemerintah kolonial Belanda saat itu. Dalam berbagai literatur, terdokumentasikan dengan baik foto-foto saat kereta api berangkat dari Stasiun Cikajang, lengkap dengan orang-orang ”bule” yang berpakaian rapi di sekitar stasiun. Di latar belakangnya menjulang tinggi Gunung Cikuray yang menjadi kebanggaan masyarakat Garut.
Jika diambil foto stasiun saat ini, kondisi gunung di sekitarnya tidak banyak berubah. Gunung Cikuray tetap berdiri angkuh meski hutannya mulai gundul. Namun, kondisi stasiun sudah sangat jauh berbeda. Stasiun yang dulunya megah, kini telantar dan rusak di banyak bagian. Atapnya hancur, sedangkan dindingnya roboh di beberapa bagian. Tiang penyangga atap mulai rapuh, sedangkan kayu jendela raib entah ke mana. Lebih menyedihkan lagi, masyarakat mendirikan bangunan seenaknya di lahan stasiun bersejarah itu.
Jalur rel kereta api, misalnya, hanya sebagian kecil yang tersisa. Sebagian besar lainnya terkubur dan diokupasi perumahan penduduk. Papan bertuliskan ”Tanah Milik PT KAI” bukan hanya diabaikan, melainkan dilecehkan warga. Dengan leluasa warga membangun warung, rumah, kandang hewan, hingga gudang di tanah milik PT Kereta Api Indonesia (KAI).
”Penyerobotan lahan sangat cepat terjadi. Mei 2013, kami ke sini, penyerobotan lahan tidak separah sekarang,” kata Deden Suprayitno, Koordinator Wilayah Bandung Indonesian Railways Preservation Society (IRPS), yang menyaksikan kondisi Stasiun Cikajang sekarang.
Sentra perkebunan
Ketika membangun rel kereta api Garut-Cikajang sepanjang 28 kilometer sekitar 1928, pemerintah kolonial Belanda tentu memiliki perhitungan matang. Investasi yang dikeluarkan untuk membangun rel kereta api pastilah tidak sedikit karena jalur Cikajang-Garut berada di dataran tinggi penuh perbukitan.
Meskipun demikian, hanya dalam waktu sekitar dua tahun, jalur itu selesai dibangun dan 30 Agustus 1930, Stasiun Cikajang Garut mulai beroperasi. Jalur ini terhubung ke Garut-Cibatu sepanjang 19 kilometer, lalu Cibatu ke Bandung dan terus ke Batavia.
Pemerintah kolonial Belanda berambisi membangun jalur rel kereta api ke Garut karena Garut yang berhawa dingin, saat itu menjadi sentra perkebunan teh yang terkenal berkualitas tinggi.
”Selain teh, kereta api juga mengangkut kina, karet dan berbagai hasil perkebunan lainnya ke Batavia,” kata Undang (82), yang sejak 1936 menetap di sekitar Stasiun Cikajang dan menjadi petugas stasiun hingga 1972.
Jadi ”garasi” mobil
Sisa-sisa kehebatan Garut sebagai sentra perkebunan masih terlihat hingga kini. Di Stasiun Cisurupan, yang terletak sekitar tiga kilometer setelah Stasiun Cikajang, jarak antara peron stasiun dan rel kereta api relatif jauh dibandingkan stasiun-stasiun lainnya di Jawa.
”Ini menunjukkan lahan stasiun dipakai untuk menumpuk hasil bumi sehingga mudah saat dinaikkan ke atas kereta api,” kata Deden.
Namun, seperti Stasiun Cikajang, Stasiun Cisurupan yang merupakan stasiun tertinggi kedua di Tanah Air dengan ketinggian 1.215 meter di atas permukaan laut, kondisinya telantar. Stasiun ini sekarang dijadikan ”garasi” mobil-mobil tua yang rusak.
Antara Stasiun Cikajang dan Stasiun Cisurupan, terdapat jembatan berangka 1928 setinggi 30 meter yang masih kokoh hingga kini. ”Kemungkinan angka ini menunjukkan, jembatan selesai dibangun 1928,” kata Deden.
Sayangnya, jembatan ini telah berubah fungsi. Jembatan yang menghubungkan dua bukit ini tidak lagi dilintasi kereta api. Jalur rel ditutup beton, kemudian digunakan penduduk untuk lintasan orang dan sepeda motor.
Perubahan fungsi jembatan, seiring dengan ”penutupan sementara” jalur kereta api Garut-Cikajang sepanjang 28 kilometer pada November 1982. Disusul penutupan lintasan kereta api Garut-Cibatu sepanjang 19 kilometer sejak 9 Februari 1983.
Meski dinyatakan ”tutup sementara”, hingga kini atau 30 tahun kemudian, jalur kereta api tersebut tetap tidak berfungsi. Rel-rel lama dibiarkan telantar tanpa perawatan sehingga diokupasi menjadi permukiman.
Stasiun-stasiun yang berdiri sepanjang Cikajang-Garut juga dibiarkan rusak dan tidak dipedulikan. Stasiun Bayongbong yang sangat tersohor, misalnya, kini sulit dicari karena bangunan utama sudah tertutup permukiman liar. Stasiun Garut bahkan berubah fungsi menjadi kantor sekretariat organisasi kepemudaan. Warna alami stasiun berubah menjadi oranye terang, khas warna organisasi kepemudaan.
Nasib stasiun-stasiun bersejarah itu sama dengan Stasiun Cikajang yang dalam buku Sejarah Perkeretaapian di Indonesia I ketinggiannya sama dengan Terowongan St Gotthard di Swiss. Bedanya, terowongan Gotthard di Swiss masih terpelihara dengan baik.
Stasiun Cikajang tinggal kenangan karena termakan zaman. Sayang, Stasiun Cikajang yang menyimpan sejarah sebagai stasiun tertinggi di Tanah Air tidak berumur panjang.