Borobodur merupakan magnet pariwisata dunia, tetapi untuk menjangkaunya tidak semudah magnet-magnet pariwisata dunia di negara lain yang memiliki jalur kereta api. Ternyata, mimpi berkereta api ke Borobudur itu sebenarnya bukan mustahil. Pada era kolonial Belanda, pernah dirintis jalurnya, yang menghubungkan Muntilan dan Purworejo.
Ada peta kunonya dari Leiden, Belanda, yang pernah saya lihat di internet. Kalau dilihat di lapangan, memungkinkan untuk menghubungkan jalur kereta api dari Muntilan ke Purworejo, Jawa Tengah, yang akan menyisir daerah di sekitar Borobudur,” kata Adhitya Hatmawan (37), salah satu petugas PT Kereta Api Indonesia (KAI). Dia menangani museum perkeretaapian di Ambarawa, Jawa Tengah, pertengahan Maret 2015.
Adhitya menunjukkan situs internet https://maps.library.leiden.edu. Di situlah dia berselancar dan pernah menjumpai peta kuno rencana Belanda yang akan menghubungkan jalur kereta api dari Muntilan ke Purworejo.
Ketika ditarik garis lurus dari Muntilan ke Purworejo, jalur itu memang akan melintasi sekitar area Candi Borobudur dan Candi Mendut. Jika jalur kereta api itu terealisasi, sangat memungkinkan untuk dijadikan sarana angkutan menuju kawasan Candi Borobudur dari berbagai kota. Namun, rencana itu tidak pernah terwujud.
Menurut Adhitya, krisis ekonomi global pada akhir tahun 1929 menyebabkan rencana itu tertunda sampai sekarang. Krisis ekonomi global pada saat itu menjadi gejala akan meletusnya Perang Dunia I dan II.
Pada akhirnya, perang dunia itu pun meletus. Wilayah Hindia Belanda (Indonesia) jatuh ke tangan Jepang (1942-1945).
Di mulai pada masa pendudukan Jepang itulah, perkeretaapian di Indonesia mengalami kemunduran. Rencana-rencana pengembangan jalur rel yang sudah dirancang Belanda tidak pernah terealisasikan hingga sekarang.
Riwayat
Buku Sekilas 125 Tahun kereta Api Kita, 1867-1992 (Iman Subarkah, 1992) mencantumkan riwayat pembangunan jalur Muntilan dan Purworejo sebagai berikut. Muntilan menjadi bagian dari jalur sepanjang 47 kilometer yang selesai dibangun dari Yogyakarta ke Magelang pada 1 Juli 1898.
Purworejo menjadi stasiun ujung dari jalur Kutoarjo yang selesai dibangun pada 20 Juli 1887. Keduanya dibangun oleh dua perusahaan berbeda.
Jalur melalui Muntilan dibangun perusahaan swasta, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Jalur Kutoarjo-Purworejo dibangun perusahaan Pemerintah Hindia Belanda, Staatspoorwegen (SS).
Perbedaan perusahaan itu ada konsekuensinya, karena lebar rel yang dipasang masing-masing perusahaan ternyata berbeda. Di dalam bukunya, Iman Subarkah menyebutkan, pada waktu itu berlangsung politik mementingkan keuntungan pada masing-masing perusahaan.
Pada kuartal pertama memasuki abad ke-20, disebutkan Iman, hampir seluruh daerah di Pulau Jawa memiliki jaringan rel. Namun, politik mementingkan keuntungan masing-masing perusahaan kereta api tadi mengakibatkan jaringan-jaringan kereta api di Pulau Jawa tak saling terhubung.
Di Semarang, misalnya, pada waktu itu, ada tiga stasiun kereta api yang tergolong paling maju dan besar dengan masing-masing jalur dimiliki perusahaan berbeda. Stasiun Poncol dimiliki perusahaan Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij/SCS). Stasiun Jurnatan kepunyaan Semarang Joana Stoomtram Maatschappij/SJS) dan Stasiun tawang milik NIS.
Pengangkutan secara terpadu belum terjadi. Sudah ada beberapa upaya menghubungkan jalur yang berbeda lebar rel dan perusahaan itu. Salah satunya ialah dengan menambahkan satu rel di antara sepasang rel yang berukuran lebar 1.435 milimeter, supaya dapat dilintasi kereta api dengan lebar 1.067 milimeter.
Jalur seperti itu pernah dibuat untuk menghubungkan Solo-Yogyakarta. Pada mulanya, jalur itu dimiliki perusahaan NIS dengan lebar rel 1.435 milimeter. Perusahaan SS menambahkan satu rel di antaranya, sehingga kereta api SS dengan lebar 1.067 milimeter bisa melintasi jalur NIS itu.
Jepang kemudian mengubahnya. Jaringan rel mulai disamakan semua dengan lebar 1.067 milimeter sampai sekarang. Jalur-jalur yang belum terhubung, lalu dihubungkan.
Jepang juga melepas rel di berbagai jalur. Pada waktu itu, rel dipindahkan ke Myanmar (Burma) dan Thailand untuk kepentingan ekspansi Jepang.
Menyusuri jalur
Dari Stasiun Ambarawa, Kompas menyusuri jalur rel ke arah Secang. Kemudian, berbalik arah ke Ambarawa menuju Kedungjati. Selain didampingi Adhitya, dua dosen Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno dan Tjahjono Rahardjo, juga turut menyertai.
Kini, pemandangan di sekitar Stasiun Ambarawa lebih terbuka. Banyak bangunan di kawasan stasiun dirobohkan.
Tidak sulit untuk menyusuri rel dari Stasiun Ambarawa hingga Stasiun Jambu, sekitar 5 kilometer. Dari Stasiun Jambu, sekitar 5 kilometer pula terdapat Stasiun Bedono. Setelah melintasi stasiun itulah ada jalur menurun yang curam.
”Posisi lokomotif akan tidak sama untuk setiap posisi turun atau naik,” kata Tjahjono.
Oleh karena itulah, Stasiun Bedono dilengkapi meja putar untuk memutar arah lokomotif. Di stasiun berikutnya, Stasiun Secang, juga ada meja putar tersebut. Menurut Tjahjono, posisi lokomotif harus ada di belakang rangkaian gerbong, ketika kereta api berjalan naik.
Ketika turun, lokomotif itu harus ada di depan rangkaian gerbong. Lokomotifnya, juga khusus karena dilengkapi dengan gerigi. Dari Stasiun Bedono ke arah Secang, mulai bisa dijumpai jalur rel bergerigi. Di antara dua rel, terdapat rangkaian besi searah jalur rel dengan lubang-lubang berbentuk persegi panjang ditengahnya.
Di lubang-lubang itulah kemudian terkait gerigi dari salah satu roda lokomotif. Tujuan dipasang rel bergerigi itu karena jalur tersebut terletak pada tanjakan yang ekstrem. Tanpa rel bergerigi, dikhawatirkan lokomotif kereta tidak kuat menarik atau mendorong gerbong di jalur miring.
Sepanjang perjalanan menyusuri jalur rel Ambarawa-Secang itulah, terbayang betapa jaringan kereta api dari Ambarawa menuju Yogyakarta, jika dihidupkan, akan membangkitkan potensi pariwisata. Apalagi, kalau dibangun jalur baru menuju Borobudur. Dunia akan kian menatap magnet pariwisata kita, Borobudur.