Debur ombak yang membawa gulungan buih berdebur mengempas pesisir diselingi suara desir angin. Suasana syahdu itu mengiringi senja di pesisir Pulau Nusa Penida, Bali, Rabu (25/10), saat I Gede Wahyu Sena Wisesa berjalan ke arah laut sambil mengenakan alat snorkeling.

Sore itu, Gede Wahyu bersama lima orang asal Perancis berenang menjauhi daratan. Mereka bukan hendak berwisata di situ. Dengan membawa pecahan karang, pisau, dan tali tambang, mereka adalah sukarelawan yang tergabung dengan lembaga nirlaba Coral Guardian untuk melakukan transplantasi karang.

Mereka menggunakan transplantasi dengan metode tali, bukan dicor menggunakan semen seperti umum digunakan. Pecahan karang-karang Acropora sp dipotong hingga hanya sepanjang sekitar 5 sentimeter dan diikat di tali tambang.

Salah satu dari sukarelawan menautkan tali tersebut ke pasak beton di kedalaman sekitar 1,5 meter. Mereka juga menggunakan meja dengan kerangka besi sebagai substrat untuk media transplantasi.

Aktivitas mereka dilatarbelakangi kerusakan karang yang masif di pesisir Nusa Penida. Kondisi ini membuat Gede Wahyu tergerak untuk bergabung dengan Coral Guardian, lembaga nonpemerintah asal Perancis yang fokus pada pemulihan dan pelestarian terumbu karang dengan melibatkan warga lokal.

Kompas/Ferganata Indra Riatmoko

Anggota organisasi nonpemerintah Coral Guardian dari luar negeri melakukan transplantasi terumbu karang di perairan pantai Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali, Rabu (25/10).

”Dari kecil saya senang dengan laut,” kata Gede Wahyu. Ia terlibat sejak awal upaya pemulihan karang. Kegiatan di lapangan masih terhitung baru, yaitu Juli 2017.

Secara berkala, terdapat sukarelawan asal Perancis lain yang diikutsertakan dalam upaya memulihkan lingkungan laut tersebut. Selain konservasi terumbu karang, sukarelawan Coral Guardian juga mendampingi masyarakat untuk kegiatan pemberdayaan ekonomi.

Sukarelawan asal Perancis, Julie Dasse, mengaku tertarik mengikuti kegiatan Coral Guardian di Nusa Penida karena memiliki minat terhadap terumbu karang. ”Pemulihan terumbu karang penting untuk ekosistem laut. Jika terumbu karang rusak, ikan juga akan menghilang,” kata Dasse yang juga ahli manajemen pesisir.

CTC juga membangun instalasi seni terkait terumbu karang yang mereka namakan Coral Wall.

Tidak hanya Coral Guardian, lembaga nirlaba lain juga turut ambil peran dalam pelestarian terumbu karang di Nusa Penida, seperti Coral Triangle Center (CTC). Aktivitas CTC mencakup pemantauan biofisik dan sosio-ekonomi masyarakat, memfasilitasi patroli gabungan dengan unit pengelola kawasan konservasi perairan Nusa Penida, memberi masukan teknis terhadap kebijakan dan regulasi, serta mendorong keterlibatan masyarakat lokal.

Untuk mempromosikan perlindungan terumbu karang, CTC juga membangun instalasi seni terkait terumbu karang yang mereka namakan Coral Wall. Demi keberhasilan proyek itu, CTC melibatkan dua seniman kriya muda lulusan Institut Teknologi Bandung, Alfie Rahdini dan Ricko Gabriel.

Coral Wall adalah sebuah instalasi seni yang menunjukkan keindahan bawah laut untuk mereka yang belum pernah mengembara di bawah air. Bentuknya berupa ekosistem koral yang dibuat dari tanah liat, diharapkan bisa menjadi medium untuk meningkatkan kesadaran publik akan keindahan dan perlunya menjaga keragaman hayati demi manfaat di masa mendatang.

Untuk menghasilkan pesan yang bisa mengena seperti itu, dibutuhkan replika dengan ukuran seperti aslinya di bidang sepanjang 25 meter dan tinggi 3 meter. Untuk mengisinya, sekitar 3.000 terumbu karang akan dipasang di sana dan bahan terbaik adalah dari keramik.

Di sinilah peran Alfie dan Ricko, keduanya mengerjakan separuh dari terumbu karang yang akan dipasang pada instalasi tersebut. Saat ditemui di Balai Teknologi Industri Kreatif Keramik Bali, Kamis (26/10) siang, keduanya sibuk dengan tugas masing-masing. Rico mengerjakan bentuk dari terumbu karang, sementara Alfie memberi sentuhan detail karena teksturnya yang beragam. ”Beberapa peralatan yang saya pakai mulai ujung sumpit hingga benda apa pun yang bisa menghasilkan tekstur yang mirip,” kata Alfie.

Menurut rencana, seluruh keramik itu akan dipasang sebagai instalasi seni pada bulan Maret 2018.

Dari adonan tanah liat yang dibentuk, dibakar untuk pertama kali untuk mendapatkan bisque hingga kemudian digelasir dengan pewarna keramik. Proses tersebut kadang tidak berjalan mulus, bisque yang keluar dari tempat pembakaran tidak jarang memiliki retak yang harus ditambal. Atau apabila parah dan tak bisa diperbaiki, prosesnya dimulai dari awal.

Ricko menjelaskan, mereka semua mengumpulkan satu demi satu terumbu karang keramik itu hingga akhir tahun. Menurut rencana, seluruh keramik itu akan dipasang sebagai instalasi seni pada bulan Maret 2018.

Siti Syahwali, Senior Operations and Business Manager CTC, menjelaskan, Coral Wall yang memuat keindahan terumbu karang berfungsi untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya peran terumbu karang terhadap keberlangsungan ekosistem laut dan menopang penghidupan masyarakat. Saat sudah dipamerkan, Coral Wall yang ditempatkan di Sanur, Bali, diharapkan dapat menyedot 300 pengunjung setiap hari.

Kompas/Ferganata Indra Riatmoko

Wayang dengan karakter berbagai fauna laut yang digunakan untuk sarana edukasi konservasi laut diperlihatkan di kantor lembaga nonpemerintah Coral Triangle Center di Kota Denpasar, Bali, Kamis (26/10).

Selain membuat Coral Wall, CTC juga pernah mengadakan pertunjukan wayang kulit yang seluruh tokohnya adalah biota laut, seperti penyu, ikan kerapu macan, ubur-ubur, dan semacamnya. Mereka menggelar pertunjukan wayang kulit tersebut di Nusa Penida untuk ditonton warga setempat. ”Dari pertunjukan budaya seperti ini, kami harapkan pesan untuk perlindungan terumbu karang sampai ke masyarakat,” kata Elizabeth Prawitasari, Office and Outreach Manager CTC.

Lembaga nonpemerintah mengambil peran untuk menggaungkan upaya konservasi terumbu karang sehingga mampu meningkatkan kesadaran masyarakat lokal. Sebab, keterlibatan masyarakat menjadi kunci keberhasilan upaya konservasi karena mereka yang setiap hari bersentuhan dengan laut. Mereka juga yang paling merasakan dampak kerusakan lingkungan ataupun manfaat dari pulihnya ekosistem laut. (HARRY SUSILO/DIDIT PUTRA ERLANGGA/HENDRIYO WIDI/ICHWAN SUSANTO)