Suatu kebetulan Marco Polo mendapati sejumlah warga menikmati minuman berwarna hitam tahun 1292. Semula minuman itu diduga bir hitam. Namun, setelah diperhatikan ternyata bukan bir, melainkan kopi.
Catatan perjalanan si pengelana asal Italia di daratan Aceh itu akhirnya mengungkap lembaran sejarah. Kopi telah menjadi tradisi panjang dalam kehidupan manusia di sana, setidaknya sejak 800 tahun silam, jauh sebelum kedatangan Belanda memperkenalkan kopi arabika (Coffea arabica) ke Nusantara.
Namun, temuan Marco Polo yang tertuang dalam buku Dada Meuraxa itu melekat dalam sejarah kopi Gayo. Kopi bahkan menjadi tumpuan hidup orang Gayo di masa kini.
Mereka lahir dan besar dari kopi. Tamat sarjana hingga naik haji dari kopi. Kehidupan yang terbangun begitu erat menempatkan kopi sebagai napas hidup.
Bagi orang Gayo, kopi berarti peningkatan taraf hidup dan kelangsungan penghidupan. Adapun kebun kopi adalah permata, tabungan seumur hidup.
Desember lalu, udara dingin menyelimuti hamparan hijau berbuah kopi di Desa Bebesen, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah. Sebagian buah kopi telah ranum berwarna merah ceri. Dengan cekatan, Muzakir (48) memetik buah-buah itu.
Meski panen raya telah berakhir, tanaman kopi berbuah hampir sepanjang tahun. Buahnya memang tak sebanyak masa panen raya, tetapi hasilnya cukup baik.
”Setiap dua pekan, selalu ada yang bisa dipetik,” kata Muzakir. Ia mengumpulkan gelondongan merah buah kopi itu ke dalam wadah timba plastik.
Kebunnya adalah warisan orangtua. Dengan luas 1 hektar, kebun itu ditanami kopi jenis arabika. Seluruh tanaman dirawat secara organik. Rutin dipangkas.
Tanaman tumbuh dengan pesat. Daunnya mengilat hijau. Buahnya lebat berjuntai.
”Yang penting, kita rawat dengan baik. Kita sayangi. Hasilnya pasti baik,” kata Muzakir.
Muzakir memanen 5 ton buah merah setahun. Dengan harga saat ini Rp 9.000 per kilogram, berarti ia mendapatkan Rp 45 juta per tahun.
Jika diolah menjadi beras biji kopi, volumenya menyusut menjadi 1 ton. Namun, dengan harga jual Rp 85.000 per kilogram, pendapatannya pun naik menjadi dua kali lipat.
Bagi orang Gayo, kopi berarti peningkatan taraf hidup dan kelangsungan penghidupan. Adapun kebun kopi adalah permata, tabungan seumur hidup.
Hampir setiap keluarga memiliki kebun kopi. Kebun pun kerap diburu. Pernah beberapa kali kebunnya ditawar orang, bahkan ada yang menawar hingga Rp 500 juta.
Muzakir tak tergoda. Dia paham betul kebun itu masa depannya. ”Uang habis dalam setahun, tetapi kopi seumur hidup,” ucapnya.
Sandaran hidup
Menyusuri kawasan Gayo yang terbentang di tiga kabupaten—Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues—tampak besarnya sandaran masyarakat pada kopi. Pusat-pusat produksi, usaha sangrai, dan kedai kopi tumbuh semarak di Takengon.
Di sekitarnya tanaman kopi tumbuh subur. Dengan luas mencapai 103.148 hektar, hamparan itu menjadi kebun kopi rakyat terluas di negeri ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat produksi beras biji kopi Gayo mencapai 43.410 ton per tahun. Nilai ekspor mencapai lebih dari Rp 5 triliun per tahun!
Lebih dari 80 persen pasar ekspor itu menjangkau Amerika Serikat, selebihnya Eropa, Australia, dan sebagian negara di Asia.
Cita rasa kopi Gayo yang unik menarik perhatian dunia. Kalangan industri memanfaatkannya sebagai pembentuk rasa.
Dunia mengenal Gayo akan biji-biji kopi spesial dan bermutu tinggi. Tanah itu memang dianugerahi alam subur.
Kopi ditanam di ketinggian mulai dari 900 meter hingga 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Ketinggian tanam bervariatif. Kondisi itu menghasilkan aroma dan cita rasa istimewa.
Analisis sensorial menunjukkan profil aroma kopi Gayo intens. Cita rasanya pun mewah dengan rasa asam yang bersih, perisa yang kompleks, serta kekentalan yang kuat. Jika diolah dengan benar, kopi Gayo tidaklah pahit (bitter) ataupun sepat (astringent).
Iwan Juni, barista kopi Gayo, mengatakan, cita rasa khas itu adalah anugerah dari alam. Kondisi tanah di Gayo berstruktur vulkanik dan beriklim sejuk tropis.
Kopi cocok ditanam di sekeliling kaki hingga lereng gunung. Di kawasan itu, terdapat setidaknya 10 gunung berapi.
Ada Gunung Leuser (3.140 mpdl), Gunung Meuajan (3.079 mdpl), Gunung Geureudong (2.855 mdpl), Gunung Burni Telong (2.812 mdpl), dan Gunung Kapal (2.763 mdpl). Kemudian, Gunung Tangga (2.500 mdpl), Gunung Pepanyi (2.272 mdpl), Gunung Batok (1.500 mdpl), Gunung Krueng Pase (1.462 mdpl), dan Gunung Geumpang (1.002 mdpl).
Terdapat pula sumber air Danau Lut Tawar. Danau itu adalah muara dari 24 aliran krueng (sungai). Keberadaan gunung-gunung berapi dan danau menyempurnakan kesuburan tanah Gayo.
Kopi di sepanjang hutan produksi lebih kaya oleh aroma pinus. Adapun kopi yang dibudidayakan di sekitar hutan rakyat mendapatkan sensorial aroma jeruk dan rempah.
”Keragaman rasa inilah yang menjadi keunggulan kopi Gayo,” ujar Iwan.
Namun, tak semata itu anugerah alam. Anggota Dewan Penasihat Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia, Surip Mawardi, mengatakan, kompleksitas dan kemewahan rasa Gayo adalah buah keringat petani.
Sebagian besar petani di Gayo sudah terampil menjalankan budidaya yang benar. Mereka mengenal penanaman kopi berpenaung, seperti lamtoro, jeruk, dan alpukat.
Tanaman bermanfaat melindungi kopi dari terpaan angin dan hujan, yang bisa merontokkan bunga kopi. Perlindungan itu memaksimalkan hasil panen.
Yang lebih ciamik adalah tradisi petik pilih buah kopi. Jarang sekali ia dapati petani setempat memetik buah hijau. Petani tahu betul buah kopi yang merah memiliki cita rasa yang lebih baik.
”Dengan memetik buah merah saja telah membentuk 50 persen cita rasa kopi yang baik,” kata Surip. Selebihnya disempurnakan dalam pengolahan setelah panen, penyangraian, dan penyeduhan.
Cita rasa kopi Gayo yang unik menarik perhatian dunia. Kalangan industri memanfaatkannya sebagai pembentuk rasa.
Kopi Gayo dicitrakan seperti bumbu penyedap. Kopi dari mana pun akan terasa lebih istimewa jika sudah dicampur dengan kopi Gayo. Harganya pun bisa terangkat naik.
Demi mendapat harga tinggi, banyak pelaku usaha mengklaim nama Gayo. Sebuah perusahaan multinasional, misalnya, pernah menggunakannya sebagai merek dagang bernama ”Gayo Mountain Coffee”.
Baru pada tahun 2009, Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo (MPKG) berhasil mendapatkan legalitas indikasi geografis kopi itu. Akhirnya, kopi Gayo dilindungi dengan nama ”kopi arabika Gayo”.
Sejak itu pula, harga kopi Gayo melampaui nilai tertinggi di bursa dunia. Peminatnya sangat besar.
Tradisi tutur
Tingginya mutu kopi Gayo diyakini tak semata karena faktor alam. Ada ikatan yang kuat antara manusia dan tanaman.
Penyair kopi asal Gayo, Fikar W Eda, menyebut kopi Gayo sebagai tanaman sensitif. Jika dirawat dengan sungguh-sungguh dan didoakan, hasil panennya melimpah. Ada ikatan batin antara manusia dan kopi.
”Ketika menanam ataupun memetik hasilnya, orang Gayo sering bersenandung dan berdoa untuk tanamannya,” katanya.
Suatu ketika ia mendengar seorang petani bersenandung kepada tanamannya yang sedang berbunga. Syairnya berbunyi, “Wahai Sengkewe/kunikahkan engkau dengan angin/air walimu/tanah saksimu/matahari saksi kalammu/Rimbunlah daun/maraklah buah/kuatlah akar/tegaplah batang/jauhkan penyakit/bangkitlah semangat”.
Fikar semakin meyakini eratnya hubungan petani dan tanaman kopi. ”Ketika mereka membisikkan doa, tanaman mendengar. Mereka yakin hasil buah akan semakin baik,” katanya.
Para penyair tradisi tutur didong pun menciptakan syair-syair kopi. Salah satu syair lengkap dibuat mengenai praktik menanam hingga menyeduh kopi.
Sebagian cuplikannya: Dengar kisahku tentang kopi/diriwayatkan sejak dahulu/Menanam kopi begini/Lalu kopi pun tumbuh cabang/Diembus angin bergoyang/Hati pun senang/Begini hai panjang cabangnya/Lalu kopi pun berbunga/Mulai dekat dengan hasil/Sungguh tak terkira/Begini hai mekar bunganya/Lalu kopi pun berbuah hijau/Yang menanam mulai berangan-angan/Telah sempurna”.
Masa kelam
Hingga kini, tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan asal muasal kopi Gayo. Cerita yang beredar, kopi Gayo dibawa oleh Kolonial Belanda. Namun, hal itu dibantah dalam sejumlah catatan sejarah.
Orang Gayo akrab dengan minuman sengkewe jauh sebelum kedatangan Belanda.Sengkewe atau siti kewe berarti kopi.
Sewaktu pertama kali menjejakkan kaki ke tanah Gayo, Penasihat Pemerintah Kolonial Belanda C Snouck Hurgronje mendapati fakta itu. Ia menuliskannya dalam buku berjudul Het Gajoland ez Zijne Bewoners. Buku itu diterjemahkan Hatta Hasan Asnah.
Hurgronje menyatakan keheranannya dalam buku. Di tanah Gayo, hampir di mana-mana ia jumpai batang kopi. Dari mana asalnya, tak seorang pun tahu.
Tak seorang pun sepanjang ingatannya pernah menanam kopi. Mereka menganggapnya tanaman liar. Batang dan cabangnya hanya digunakan untuk pagar kebun semata. Buah-buah kopinya dibiarkan saja dimakan burung.
Orang Gayo pun tidak tahu bahwa kopi itu bisa diolah menjadi minuman segar. Yang mereka tahu hanya memanggang daunnya, yang diolah menjadi minuman teh.
Baru belakangan orang mengetahui buah kopi yang sudah dikupas dan dikeringkan bisa menghasilkan uang. Rasanya juga lebih enak daripada daunnya. Penjualan biji kopi baru berlangsung setelah Belanda masuk ke Aceh pada awal abad ke-20.
Setelah selesai membangun Jalan Bireuen-Takengon, Belanda memperkenalkan kopi arabika ke Dataran Tinggi Gayo tahun 1924. Pertama kali kopi ditanam di kawasan Paya Tumpi, Rediness, Blang Gele, Bergendal, Burni Bius, dan Bandar Lampahan. Belakangan, Belanda juga membangun dua pabrik pengolahan kopi di Bandar Lampahan.
Budidaya kopi awalnya masih terbatas dan baru meluas setelah Indonesia meraih kemerdekaan. Sejak itulah kopi menjadi primadona dan sumber pendapatan rakyat.
Meskipun penanaman pernah meluas, Belanda gagal mengembangkan perkebunan dan industri kopi. Tidak ada perkebunan kopi milik perusahaan negara seperti di wilayah Jawa. Seluruhnya merupakan perkebunan rakyat hingga kini.
Belanda pun lebih cepat angkat kaki setelah Jepang menginjak tanah Gayo pada 1942. Kawasan perkebunan Belanda pun terbengkalai.
Kopi Gayo pernah pula melewati masa-masa sulit. Seusai Jepang takluk kepada negara sekutu dan Indonesia meraih kemerdekaan, nasib kopi tak kunjung membaik.
Tahun 1950-an muncul gerakan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Konflik berlanjut dengan pemberontakan komunis. Memasuki tahun 1974 hingga 2005, konflik baru muncul. Kali ini Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan tentara Republik Indonesia.
Berbeda dengan sebelumnya, konflik yang terakhir benar-benar membuat petani dilanda ketakutan. Sampai-sampai mereka tidak berani ke kebun.
Tanaman kopi terbengkalai hampir 30 tahun lamanya. Bahkan, banyak petani menjadi korban konflik. Jasad mereka dibuang di sekitar kebun.
Harapan baru muncul setelah perjanjian damai antara GAM dan Pemerintah RI pada 15 Agustus 2005. Kemudian, terjadi bencana tsunami yang menerjang Aceh. Meski bencana itu berdampak mengerikan, pada akhirnya perhatian dunia tertuju kepada Aceh.
Infrastruktur dibenahi. Pertanian dan perkebunan dikembangkan. Petani pun diberdayakan, termasuk petani kopi. (IRMA TAMBUNAN/ZULKARNAINI)