Sungguh tak terduga pertumbuhan bibit kopi Aman Samsir (86) di Desa Jaluk, Takengon, Aceh Tengah, 40 tahun silam. Di antara ribuan batang yang ditanam, ada satu yang tampak menonjol. Tanaman itu berbunga lebat saat masih berusia 15 bulan.

Ketika berbuah, setiap cabang menampakkan rentengan gelondongan buah merah. Ranum dan padat. Hasil panen pertamanya memukau. Samsir langsung menyadari bibit tersebut istimewa. Ia lalu menyeleksi buah merah untuk memperbanyak bibit.

Ateng Jaluk dengan cepat beredar. Jutaan bibit telah ditanam petani di Gayo, bahkan hingga wilayah Sumatera Utara.

Temuan itu segera mengguncang kawasan Gayo, Aceh. Banyak petani berdatangan. Mereka penasaran ingin melihat hasil kopi varietas Catimor tersebut, yang diperoleh dari Program Peremajaan, Rehabilitasi, dan Perluasan Tanaman Ekspor tahun 1978. Proyek itu dilanjutkan dengan Proyek Pengembangan Wilayah Khusus.

Banyak pula petani yang meminta hasil panennya untuk dijadikan bibit. Mereka menamainya Ateng Jaluk, yang berarti bibit kopi dari Aceh Tengah di Desa Jaluk.

Ateng Jaluk dengan cepat beredar. Jutaan bibit telah ditanam petani di Gayo, bahkan hingga wilayah Sumatera Utara.

Belakangan, baru disadari bahwa Ateng Jaluk punya kelemahan. Usianya pendek. Hanya produktif 10 tahun hingga 15 tahun. Setelah itu, produktivitasnya terus menurun. Jenis ini juga rentan terhadap penyakit karat daun. Itu sebabnya, pemerintah tidak menganjurkan Ateng Jaluk untuk ditanam.

Kompas/Priyombodo

Abdul Gani Silaban selaku Ketua Umum Masyarakat Pemerhati Kopi Arabika Sumatera Lintong (Maspekal) memperlihatkan kebun pembibitan kopi untuk peremajaan pohon kopi yang tengah dikembangkan di Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Rabu (13/12/2017).

Meski mengetahui kelemahan bibit itu, sebagian petani masih tetap berminat. Pertimbangannya, bibitnya murah dan mudah didapat. Panen pun lebih cepat. Volumenya terbilang besar di masa produktif.

Kemampuan petani menyeleksi bibit telah melahirkan keragaman bibit kopi di tanah Gayo. Ada setidaknya 136 varietas kopi ditanam mulai dari Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, hingga Gayo Lues. Banyaknya varietas beredar didukung kepiawaian petani dalam menyeleksi tanaman untuk calon bibit.

Tak hanya Ateng Jaluk, lahir pula sejumlah varietas baru, seperti Ateng Janda. Dinamakan begitu karena penemunya seorang petani yang kebetulan berstatus janda.

Sebagian petani juga melakukan seleksi pada populasi varietas tipe katai (dwarf) yang tahan penyakit karat daun dan berbuah lebat. Tipe itu kemudian diberi nama Ateng Super.

Jenis yang terakhir ini bahkan tergolong memukau. Dalam 1 hektar bisa menghasilkan 1,7 ton biji kopi per tahun. Ini melampaui rata-rata produktivitas kopi pada umumnya yang masih di bawah 1 ton.

Kompas/Priyombodo

Petani merawat tanaman sayur yang ditanam di antara tanaman kopi di Desa Gajah, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Jumat (15/12/2017). Perubahan iklim menyebabkan musim panen kopi bergeser sehingga berdampak pada merosotnya hasil panen kopi di hampir seluruh wilayah di Sumatera Utara.

Varietas lain yang berkembang di Gayo adalah Timtim Arabusta, Borbor, Lini S, Abessinia, dan Bergendal.

Baru dua varietas yang memiliki sertifikat bibit anjuran pemerintah. Keduanya adalah Gayo 1 dan Gayo 2. Namun, petani cenderung kurang berminat.

Di sentra pembibitan kopi di Desa Mude Benara, Kecamatan Timbang Gajah, 80 persen bibit yang diproduksi adalah Ateng Jaluk dan Ateng Super. Kawasan itu memasok lebih dari 50 persen kebutuhan kopi Gayo.

Salah seorang pembibit, Syahri Rafita, mengatakan, tahun lalu dirinya memproduksi 300.000 bibit kopi jenis Ateng, baik Super maupun Jaluk. Ia juga menyediakan 30.000 bibit Gayo 1.

Rupanya, petani lebih memilih jenis Ateng. ”Berapa pun saya bibitkan, pasti habis dibeli petani,” katanya.

 

Kompas/Priyombodo

Buah kopi di kebun rakyat di Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Rabu (13/12/2017). Perubahan iklim berdampak pada minimnya pasokan biji kopi dari sejumlah daerah di Sumatera Utara yang saat ini seharusnya masih dalam masa panen.

Berbeda dengan bibit anjuran. Walau hanya diproduksi 30.000 batang, bibit anjuran tidak laku satu batang pun. Bibit yang tidak laku akhirnya dibagi-bagikan gratis. Sisanya dimusnahkan. Untuk tahun ini, masih belum ada permintaan bibit Gayo 1 dan Gayo 2 masuk ke tempatnya.

Syahri membenarkan bahwa meski bukan bibit anjuran, jenis Ateng lebih diminati karena cepat berbuah. ”Petani sudah bisa memanen kopi saat tanaman masih berusia 15 bulan, sedangkan Gayo 1 dan Gayo 2 baru bisa panen pada usia 4 tahun,” ucapnya.

Lebih parahnya, lanjut Syahri, petani tak mendapatkan penyuluhan memadai dari petugas pertanian setempat. Sebenarnya, jika diperbandingkan, bibit anjuran jauh lebih unggul.

Pertimbangannya tak semata kecepatan dan volume panen. Bibit anjuran memiliki usia panen yang lebih panjang serta ketahanan akan hama dan penyakit. Sering kali dua keunggulan ini diabaikan petani demi mengejar hasil panen jangka pendek.

Dari sisi cita rasa, peneliti dari Badan Pengembangan Teknologi Pertanian Aceh, Khalid, mengatakan, jenis Ateng sebenarnya kurang memenuhi identitas kopi Gayo.

Kompas/Priyombodo

Buah kopi yang baru dipetik di Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Rabu (13/12/2017).

Gayo 1 dan Gayo 2 diakui lebih unggul, sesuai dengan profil khas kopi Gayo yang memiliki rasa asam yang bersih, agak manis, tidak pahit, dan tidak sepat.

Selain itu, kedua varietas anjuran ini berusia panjang, lebih dari 25 tahun. Kelebihan lain, lebih tahan serangan penyakit dan hama. Kekurangannya hanyalah dari sisi volume produksi dan usia siap panen yang cukup lama.

Anggota Dewan Penasihat Kopi Spesialti Indonesia, Surip Mawardi, mengatakan, petani sebaiknya menanam bibit-bibit anjuran. Bibit tersebut telah diteliti dan dipastikan keunggulannya.

Adapun pada bibit bukan anjuran masih ditemui sejumlah kelemahan, seperti rentan terhadap serangan hama dan penyakit serta berusia pendek, sehingga tanpa disadari, hal itu akan berdampak merugikan petani pula. (ZULKARNAINI/IRMA TAMBUNAN)

Profil Gayo 1

Potensi Produksi: rata-rata 0,9-1,2 ton per hektar untuk penanaman dengan populasi 1.600 batang per hektar. Umur ekonomis harapan 20 tahun.

Ketahanan Hama dan Penyakit

Peyakit karat daun: agak tahan sampai tahan

Nematode Radopholus similis: agak tahan sampai tahan

Penggerek buah kopi: agak tahan

Daerah Adaptasi: ketinggian > 1.000 mdpl, dengan pola sebaran hujan merata sepanjang tahun

Cita rasa: baik

Gayo 2

Potensi Produksi: rata-rata 0,9-1,1 ton per hektar untuk penanaman dengan populasi 1.600 batang per hektar. Umur ekonomis harapan 20 tahun.

Ketahanan Hama dan Penyakit

Peyakit karat daun: agak tahan

Nematode Radopholus similis: agak tahan sampai tahan

Penggerek buah kopi: agak tahan

Daerah Adaptasi: ketinggian > 1.000 mdpl di hampir semua kondisi lingkungan di tanah Gayo, dengan pola sebaran hujan merata sepanjang tahun

Cita rasa: baik