Rentangan peradaban telah membawa banyak perubahan, termasuk soal cara ngopi. Menikmati kopi di masa lalu tak berarti mereguk minuman hitam. Namun kini, kecanggihan metode seduh tumbuh pesat dan kerap mengatur selera.

Di tanah Gayo, Aceh, beragam cara dikenal dalam menikmati kopi. Mulai dari seduhan kopi kawa (daun kopi), tubruk, jeloboh, kertup, hingga saring.

Minuman kawa merupakan yang paling awal. Tradisi ini ditemukan Penasihat Pemerintah Kolonial Belanda C Snouck Hurgronje sewaktu mengunjungi tanah Gayo pada 1908. Dalam bukunya berjudul Het Gajoland ez Zijne Bewoners, ia menyebut tanaman kopi tumbuh liar di mana-mana. Namun, orang Gayo tidak tahu bahwa biji kopi bisa diolah menjadi minuman segar. Yang mereka tahu hanya memanggang daunnya, lalu mengolahnya menjadi seperti minuman teh.

Setelah budidaya kopi mulai diterapkan Kolonial Belanda, barulah masyarakat mengetahui cara lain mengolah kopi. Kulit buah dikupas. Bijinya dikeringkan, disangrai, kemudian digiling menjadi bubuk.

Bubuknya lalu diseduh di dalam gelas dengan air panas. Aroma kopi pun menguar kuat. Minuman siap dinikmati.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Barista membuat kopi dengan cara disaring di Solong Coffee, Ulee Kareng, Banda Aceh, Aceh, Rabu (20/12/2017).

Pada masa perjuangan, orang Gayo menciptakan cara lain untuk menikmati kopi. Mereka membawa bekal kopi dan gula aren selama bergerilya di tengah hutan. Setiap hari kopi dinikmati tanpa seduhan.

Akan tetapi, biji kopi sangrainya dikunyah begitu saja dalam mulut bersama gula aren. ”Bunyi kemeretup terdengar saat biji kopi dimakan. Maka itulah disebut dengan nama kopi kertup,” ujar Salman Yoga, antropolog Universitas Syiah Kuala.

Sebagai bahan perbekalan, biji kopi dan gula aren sangatlah awet, bisa tahan hingga enam bulan.

Stok kopi

Dalam tradisi masyarakat Gayo, setiap orang yang bertamu akan disuguhi kopi. Di setiap rumah pasti ada stok bubuk kopi.

Jika ada sebuah pekerjaan besar yang dilakukan bersama-sama, kopi haruslah menjadi minuman pelepas lelah. Jika tak segera tersedia, muncul ungkapan kulni buet gere be kupi (begini besar kerja kok tanpa kopi). Ungkapan ini terdengar seperti bercanda, tetapi dapat menjadi sindiran halus kepada penyelenggara kegiatan agar segera menyediakan kudapan dan minuman kopi.

Dalam hajatan besar, seperti pesta kawin atau khitanan, kopi pun menjadi hidangan minuman wajib bagi tamu. Cara meraciknya pun berbeda.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Pelayan siap mengantar kopi susu pesanan pelanggan di Solong Coffee, Ulee Kareng, Banda Aceh, Aceh, Rabu (20/12/2017).

Bubuk kopi dimasak dengan air panas terus-menerus di atas tungku kayu selama berlangsung acara. Kopi selalu tetap panas dan siap disajikan setiap kali tamu undangan datang. Cara seperti itu disebut kopi jeloboh.

Yang populer belakangan ini adalah teknik menyeduh kopi saring. Teknik ini lahir dari pengaruh Timur Tengah. Pedagang atau pesiar agama membawa misinya sembari memperkenalkan tradisi ngopi dengan cara penyeduhan unik.

Air mendidih dituang ke dalam ceret berisi bubuk kopi. Lalu, seduhan itu dituangkan ke dalam gelas melewati sebuah saringan kain berbentuk kerucut.

Seduhan kopi memakai bubuk robusta yang memiliki bodi tebal. Penyaringan dengan kain bermanfaat mengurangi ampas dan kadar asamnya. Dengan demikian, minuman terasa lebih nikmat.

Seiring dengan berjalannya waktu, cara minum kopi pun terus berkembang. Kini, banyak anak muda Aceh mulai memanfaatkan teknologi mesin untuk menyeduh kopi. Jadilah espresso, cappuccino, coffee latte, doppio, hingga macchiato. Kecanggihan penyeduhan itu tak jarang menggiring pilihan akan selera. (ZULKARNAINI/IRMA TAMBUNAN)