Pemandu kami terkejut mendengar rencana dadakan tim Jelajah Kopi Nusantara Kompas. Tiba-tiba kami berniat mengunjungi sebuah desa di pedalaman Lanny Jaya, Papua, pada Maret 2018. Padahal, desa itu dikenal sebagai sarangnya gerakan separatis.
Yudhistira, sang pemandu itu, meminta kami berpikir ulang. Dia meminta kami membatalkan rencana itu. ”Sebaiknya jangan. Risikonya terlalu besar,” katanya.
Menurut Yudhi, demikian dia biasa dipanggil, sering kali pendatang dicegat di tengah jalan, lalu dimintai ini dan itu. Tak jarang pula diintimidasi. Sekali waktu pernah ada pelintas yang dilukai dengan senjata atau bahkan ditembak.
Perjalanan menuju lokasi pun terbilang berat. Perjalanan itu juga melintasi pegunungan. Jalurnya menanjak dan menurun curam serta berkelok tajam. Jadi jelas, hanya dapat ditempuh dengan mobil bergardan ganda.
Ringkas kata, Yudhi menyimpulkan perjalanan menuju Lanny Jaya sama saja dengan perjalanan bunuh diri.
Dua hari sebelumnya, kami telah mencium gelagat kurang baik perihal masalah keamanan. Ketika meliput ke sentra kopi di Distrik Pyramid, Kabupaten Jayawijaya, berkali-kali sopir mobil kami mengingatkan kami untuk berhati-hati. Sedapat mungkin jangan mengeluarkan kamera di sembarang tempat.
Terkadang kami memintanya untuk menepikan kendaraan agar kami dapat memotret, tetapi sang sopir menolak. ”Jangan memotret di sini, berbahaya,” katanya. Kami, jurnalis Kompas, Irma Tambunan, dan videografer Kompas, Danial AK, pun kebingungan.
Perjalanan pada hari itu akhirnya tidak memuaskan. Berkali-kali keinginan kami untuk meliput kandas. Kami hanya dapat mengobrol dengan petani kopi atau memotret perkebunan dan aktivitas petani di lokasi yang letaknya dekat jalan raya.
Selebihnya, kami bahkan hanya dapat memotret dari balik kaca mobil!
Kami sebenarnya juga kecewa karena rencana untuk meliput ke Distrik Tangma, yang juga sentra utama kopi di sekitar Lembah Baliem, gagal terwujud. Dua kampung penghasil kopi terbesar, Kurima dan Woma, ternyata sedang berseteru.
Karena perseteruan itu, para kepala kampung melarang orang luar masuk ke kawasan mereka. Untuk sementara, akses jalan juga ditutup sampai perang berakhir.
Mendengarkan insting
Mendengar kekhawatiran dari berbagai pihak, terus terang kami juga mengerem beberapa rencana meski rencana untuk bertolak ke Lanny Jaya tetap sulit direm. Insting wartawan kami mengatakan, di tempat itu kami akan mendapatkan sesuatu reportase yang istimewa.
Insting itu muncul setelah kami berdiskusi dengan seorang narasumber. Sebut saja namanya Marco. Dia sebelumnya mengisahkan besarnya potensi kopi di daerah Lanny Jaya, sekaligus suramnya kehidupan petani di sana.
Marco menceritakan kebiasaan petani setempat dalam merawat dan mengolah kopi secara tradisional, tanpa sentuhan teknologi mesin. Budidaya kopi pun berlangsung secara organik.
Kami pun bertanya, adakah hama atau penyakit yang tumbuh di tanaman kopi setempat, ia menjawab tidak ada. Ketika penyakit karat daun dan hama penggerek batang mewabah di banyak sentra kopi di Nusantara, ternyata tanah Papua bersih dari ancaman. Tempat itu bagaikan surga.
”Di sini segalanya masih aman. Tanaman kopi semuanya sehat. Hanya ada kelelawar yang sesekali singgah makan buah kopi,” ujarnya.
Membayangkan surga kopi itulah yang mendorong rasa penasaran kami. Begitu pula kisah pengolahan tradisionalnya yang seakan membawa kami pada kehidupan di zaman batu.
Masalah keamanan tentu wajib dipertimbangkan. Walau, di sisi lain, kami akan sangat menyesal jika tak sampai ke sana. Perjuangan petani, kehidupan di pedalaman, beratnya akses pasar, hingga kisah surga kopi dan pengolahan ramah lingkungan sudah semestinya kami angkat. Berharap kisah mereka dapat mengetuk dan menginspirasi dunia.
Tawaran tak terduga
Dengan demikian, satu-satunya cara untuk bisa sampai dan meliput dengan aman adalah mencari kawan seperjalanan yang tepat.
Tidak diduga, sang narasumber menawarkan diri untuk mengantar. Ia adalah warga asli setempat.
Setelah berdiskusi, kami sebenarnya menduga ia dikenal baik oleh pendukung gerakan separatis. Berkelana bersama dirinya, kami pikir justru membuat keselamatan kami lebih terjamin. Kami pun sepakat untuk berangkat!
Keesokan harinya, pagi-pagi, kami bertolak ke Lanny Jaya. Kami membawa stok bahan bakar premium meski kami harus beli seharga Rp 18.000 per liter di Kabupaten Wamena. Bagi warga setempat, mungkin membeli premium seharga itu sudah menjadi keseharian. Di sisi lain, bagi kami, mahalnya keterlaluan.
Dalam perjalanan menuju Lanny Jaya, suasana begitu sepi. Hari itu adalah hari Minggu. Ternyata, ada aturan yang melarang warga beraktivitas pada hari Minggu kecuali ke gereja dan berkumpul dengan keluarga.
Alhasil, kami kelaparan karena kami sulit menemukan warung makan akibat sebagian besar kedai tutup.
Perjalanan menuju Lanny Jaya ternyata tak seseram yang dibayangkan. Di perjalanan, warga melambaikan tangan dan tersenyum ketika kami melintas. Mereka memberi salam. Marco pun beberapa kali berhenti untuk sekadar menyapa.
Tak jarang kami berhenti untuk memotret honai (rumah tradisional Papua) serta kehidupan di pedalaman. Interaksi dengan masyarakat membuka kesadaran kami akan kesederhanaan dan rasa cinta yang mereka miliki. Kami sungguh tersentuh. Kami juga membagikan permen untuk anak-anak sehingga mereka makin senang.
Kami baru tiba di Distrik Tiom, Lanny Jaya, sekitar pukul 15.00 WIT. Perjalanan itu lebih lama hampir dua jam karena kami terlalu banyak singgah. Normalnya, perjalanan dari Wamena-Lanny Jaya sekitar 3 jam.
Liputan kopi pun kembali dimulai.
Kami mengikuti aktivitas pemuda kampung yang mengembangkan kopi secara tradisional dan memberdayakan masyarakat, mulai dari panen buah kopi hingga pengolahan menjadi bubuk kopi dilakukan secara tradisional.
Mereka, misalnya, mengupas sendiri buah kopi dengan tangan bukan dengan mesin pengupas alias pulper. Biji gabah kopi ditumbuk dengan alu-alu yang disebut toki-toki, bukan dengan mesin huller. Kulit gabah dan biji beras dipisahkan dengan cara ditampi.
Biji beras lalu disangrai dalam gerabah. Perapiannya memanfaatkan kayu bakar. Lalu, biji sangrai diolah menjadi bubuk kopi dengan menggunakan toki-toki.
Kami terpesona melihat rangkaian proses jadul itu. Dari tempat sangrai, aroma kopi tanah surga itu menguar ke udara. Hmm… wanginya….
Setelah puas berbincang di kebun, di tempat sangrai, lalu di rumah petani kopi, kami diajak ke kedai kopi kecil di Pasar Tiom. Saat itu langit sudah gelap. Sudah lewat pukul 18.00. Namun, keinginan untuk mencicipi rasa kopi buatannya membuat kami tetap bertahan.
Sekitar pukul 19.00, kami kembali ke Wamena. Hujan kali ini turun dengan sangat deras. Jalanan pun menjadi gelap tanpa satu pun lampu penerangan jalan. Beberapa kali roda kendaraan nyaris tergelincir karena jalan yang menjadi licin.
Marco kemudian berupaya menenangkan kami. ”Kira-kira 3 jam, kita sudah akan sampai di Wamena,” ujarnya.
Di tengah perjalanan, kami terhadang sebuah truk yang terperosok. Sebagian muatannya, yakni batu, jatuh ke badan tanah. Untung saja masih ada cukup ruang bagi kami untuk melintas.
Dihadang warga
Sejam perjalanan dari lokasi truk yang terperosok, segerombolan warga tiba-tiba berdiri menghadang di tengah jalan. Ada beberapa orang yang terlihat membawa parang.
Marco terpaksa menghentikan mobil. Salah satu warga, yang tampaknya sedang mabuk, berbicara dalam bahasa yang tak kami pahami. Kami yang duduk di bangku deretan belakang begitu tegang. Cemas menantikan apa yang bakal terjadi.
Tak disangka, Marco membalas warga itu dengan suara keras. Suaranya menggelegar setengah menghardik, tetapi terdengar begitu tenang. Tak ada nada gentar. Dengan posturnya yang besar dan suaranya yang berat, Marco seolah di atas angin, menguasai situasi.
Ketika gerombolan itu meminta rokok kepadanya, Marco menolak. ”Sa (saya) tak punya,” katanya. Ia malah balik memarahi para pemuda itu karena berkeliaran di jalanan dan mengganggu para pelintas. ”Kitorang jangan bikin malu orang Papua. Kalau seperti ini, sa malu. Padahal, kita mau jaga Papua aman,” ujarnya.
Ia lalu balik bertanya kepada salah satu pemuda. ”Siapa nama kau punya orangtua?” Ditanya begitu, si pemuda makin ciut.
Begitu tenangnya Marco menghadapi mereka, sampai-sampai para pemuda itu berbalik meminta maaf. Marco dihargai bagaikan seorang kepala suku yang tengah membina warga kampungnya. Mereka pun mundur. Mobil kami dapat melintas kembali.
Sungguh tak disangka-sangka perjalanan itu berakhir aman. Kami tiba di Wamena sudah pukul 23.00. Perut keroncongan. Hampir seharian kami belum sempat makan meski berkali-kali mencicipi kopi dari tanah Papua.
Sebagaimana kepercayaan orang Papua, kalau kita punya rencana dan niat baik, alam akan memberi restu. Roh-roh nenek moyang diyakini akan menjaga dari segala rintangan. Kali ini, kami sepenuhnya percaya pada keyakinan itu. (IRMA TAMBUNAN)