Koloni lebah beterbangan di perkebunan kopi Nagori Sait Buttu Saribu, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Setelah selama satu dasawarsa lebah terusir oleh pestisida kimiawi, kini kebun kopi kembali semarak. Lebah hadir kembali menjaga kopi dari serangan hama.

Slamet Suryadi (31) rutin memeriksa kotak-kotak lebah (stup) di antara tanaman kopi, Selasa (27/3/2018). Sejak Oktober 2017, kopi dengan ternak lebah hidup bersama dalam satu kebun. Hasilnya memukau. Hama pergi, petani pun mendapatkan madu. ”Saya sudah tiga kali panen madu,” katanya.

Integrasi antara kebun kopi dan ternak lebah dibangun sejak tahun lalu dalam wadah Koperasi Produsen Sumatera Arabika Simalungun (Saabas). Awalnya, Slamet dan petani setempat mengikuti pelatihan di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur. Petani belajar mengkaji masalah yang dihadapi, sekaligus mencari solusi bersama.

Persoalan utama yang dihadapi petani adalah produktivitas yang menurun. Itu seiring serangan hama penggerek buah yang semakin agresif bersamaan dengan tingginya penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi.

KOMPAS/ NIKSON SINAGA

Slamet Suryadi (31), petani kopi, menunjukkan kotak lebah di kebun kopinya di Nagori Sait Buttu Saribu, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Selasa (27/3/2018).

 

Padahal, perkebunan kopi di Pamatang Sidamanik pernah bergairah sebelum tahun 2007. Tanpa pestisida atau pupuk kimia sekalipun, produktivitas kopi tinggi, yakni 1,5-2 kilogram biji beras kopi (greenbean) per hektar per tahun. Itu jauh lebih besar dari produktivitas saat ini yang hanya 0,6 kilogram. Buahnya lebat. Ukuran bijinya pun lebih besar. Kualitasnya lebih bagus karena tidak diserang hama penggerek buah.

Perkebunan kopi itu pun pernah menjadi rumah bagi lebah. Saat memanen buah kopi, petani terkadang harus mengibas-ngibaskan badan dan wajahnya untuk mengusir lebah.

Koloni lebah pun mulai meninggalkan perkebunan kopi seiring dengan maraknya pestisida dan pupuk kimia.

Koloni lebah pun mulai meninggalkan perkebunan kopi seiring dengan maraknya pestisida dan pupuk kimia. Petani kemudian menyadari lebah tak hanya bermanfaat untuk penyerbukan kopi. Ternyata, lebah adalah predator alami terbaik yang mengusir hama penggerek buah kopi. Saat lebah diternakkan, hasilnya mulai tampak. ”Hama penggerek buah kini mulai berkurang,” katanya.

KOMPAS/ NIKSON SINAGA

Slamet Suryadi (kiri), petani kopi, menunjukkan kotak lebah di kebun kopinya di Nagori Sait Buttu Saribu, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Selasa (27/3/2018).

Produktivitas meningkat

Produktivitas kopi pun berangsur meningkat. Dampak lainnya, petani mendapatkan bonus pendapatan dari hasil madu. Satu hektar kebun kopi bisa memuat hingga 250 kotak lebah. Namun, dengan jumlah lebah sebanyak itu, petani harus menanam bunga-bunga lain di kebun atau di sekitar kebun agar makanan bagi lebah terpenuhi.

Setiap kotak lebah berisi satu koloni lebah yang dapat menghasilkan 250 mililiter (ml) madu per bulan. Di tingkat peternak lebah, harga madu Rp 70.000 per botol kapasitas 220 ml. Slamet menyebarkan 20 kotak lebah pada setengah hektar kebun kopinya. ”Hasilnya sudah lumayan. Saya sudah tiga kali panen yang hasilnya total sekitar 100 botol atau sekitar Rp 7 juta,” ujarnya.

Hasilnya sudah lumayan. Saya sudah tiga kali panen yang hasilnya total sekitar 100 botol atau sekitar Rp 7 juta.

Madu hasil integrasi dengan kopi punya rasa khas, yakni ada jejak rasa kopi arabika. Rasanya sedikit asam dan tebal kopi pada madu tersebut. Pada saat tanaman kopi sedang musim berbunga, rasa itu lebih kuat lagi. Rasa kopi dan sedikit asam itu dari tanaman kopi yang dibawa lebah sewaktu mengisap nektar bunganya.

Meski kopi memengaruhi rasa madu, menurut Slamet, tidak terjadi sebaliknya. ”Rasa kopi tidak terpengaruh karena lebah hanya membantu penyerbukan,” ujarnya.

KOMPAS/ NIKSON SINAGA

Slamet Suryadi (kanan), petani kopi, menunjukkan sarang semut berisi koloni lebah yang akan diternakkan di kebun kopinya di Nagori Sait Buttu Saribu, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Selasa (27/3/2018).

Melihat hasil tambahan tersebut, petani kopi di Pamatang Sidamanik mulai tertarik mengintegrasi kopi dan lebah. Yahya Yoanda (32) kini kembali menanam kopi setelah tiga tahun lalu sempat ditebang. ”Saya lihat kebun kopi kini sangat menjanjikan, apalagi bila diintegrasikan dengan ternak lebah,” ucapnya.

Yahya pun sudah menanam 605 batang bibit tanaman kopi dan sedang menyiapkan beberapa kotak lebah. Ia melihat potensi pengembangan ternak lebah di kebunnya karena dekat hutan.

Menurut Yahya, tantangan untuk integrasi tersebut adalah tambahan modal ternak lebah, ketakutan petani disengat lebah, serta minimnya pengetahuan petani tentang manajemen ternak lebah.

Porsi modal terbesar yang harus dikeluarkan petani adalah untuk membeli kotak lebah Rp 150.000 per kotak. Untuk menghemat, petani bisa membuat sendiri dengan biaya Rp 85.000 per kotak.

Petani juga harus membuat gelodok berupa batang kelapa berlubang dengan panjang sekitar setengah meter. Gelodok itu untuk memancing koloni lebah liar yang akan diternakkan di kotak. Satu gelodok harganya sekitar Rp 80.000.

”Kelompok tani kami memilih membeli batang kelapa dan membuat sendiri gelodoknya. Harganya bisa berkurang separuh dibanding membeli jadi,” ujar Yahya.

Menurut Ketua Koperasi Produsen Saabas Ludiantoni Manik, integrasi kopi-lebah terus akan dikembangkan. Penyuluhan akan diperluas bagi 36 kelompok tani setempat yang beranggotakan lebih dari 600 petani. Mereka pun menawarkan solusi bagi petani yang takut disengat lebah untuk beternak lebah trigona, yakni lebah yang tidak menyengat. (NIKSON SINAGA)