Tahun 1900, kapal SS Gedeh milik Rotterdamsche Lloyd mendarat di Tanjung Perak, Surabaya. Sebanyak 150 bibit kopi robusta dibawa dalam lambung kapal itu untuk ditanam di kebun Sumber Agung, Malang, Jawa Timur. Sejak saat itu, wajah kebun kopi Nusantara tak lagi sama.
Kopi itu dibeli dari I’Horticulture Coloniale Brussels, Belgia, sebuah rumah kaca tempat kopi asal Kongo ditanam. Harga pembelian 150 bibit kopi saat itu dua franc.
Dikutip dari buku 100 Tahun Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia; 1911-2011, SS Gedeh berlayar lebih dari dua bulan. Berangkat pada 30 Juni 1900, bibit kopi itu tiba di Malang pada 10 September 1900.
Dari 150 bibit kopi, hanya tujuh bibit yang mati. Tanaman kopi itu itu kemudian disebar di kebun milik perusahaan perkebunan Cultuur Mij Soemberagung, Wringinanom, dan Kalibakar.
Di Malang, robusta pun meraja. Kopi itu banyak ditanam di kawasan Amstirdam; Ampelgading, Tirtoyudho, dan Dampit.
Kedatangan bibit kopi dari Brussels itu terus berlanjut. Perkebunan lain, seperti Soemberpandan, Bajoe Lor, dan Kalisepanjang, ikut memesan robusta Belgia. Setahun kemudian, Kedirische Landbouw Vereniging mendatangkan bibit robusta dan membagikannya kepada 20 maskapai (perusahaan) perkebunan anggotanya.
Pada tahun yang sama, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan 24 bibit kopi robusta. Bibit kopi itu ditanam di kebun percobaan pemerintah di Bangelan, Kabupaten Malang, dan di lereng Gunung Kawi.
Robusta pun menyeberang ke Sumatera. Bibit robusta dari Bangelan kemudian ditanam di Moera Laboeh dan Kerinci. Di Loeboek Radja belakangan juga ditanami robusta meski menggunakan bibit asal Perak, Malaysia, yang kemudian ditanam juga di Ranau Liwa.
Pengganti arabika
Kedatangan Robusta menjadi bagian dari solusi setelah wabah karat daun hampir memusnahkan kopi arabika di Jawa pada 1876. Sebelumnya, Belanda mendatangkan pula liberika tahun 1876, tetapi ternyata rentan terhadap wabah karat daun.
Robusta ternyata menjadi varietas yang paling aman ditanam di dataran rendah. Hingga saat ini, perkebunan kopi robusta telah lebih dari 80 persen dari total 1,2 juta hektar luas perkebunan kopi di Indonesia.
Robusta pun lebih tahan hama. Produktivitasnya mencapai 0,7 ton per hektar, lebih tinggi dari rata-rata arabika yang hanya 0,3 ton per hektar. Meski demikian, angka produktivitas robusta Indonesia masih kalah jauh dari produktivitas Vietnam yang dapat mencapai lebih dari 2 ton lebih per hektar.
Di Malang, robusta pun meraja. Kopi itu banyak ditanam di kawasan Amstirdam; Ampelgading, Tirtoyudho, dan Dampit. Kopi dari kawasan ini mengisi kebutuhan industri di pabrik-pabrik besar.
Pabrik kopi PT Asal Jaya adalah salah satu penampungnya. Direktur Utama PT Asal Jaya Harianto mengatakan, kopinya biasanya dipasarkan ke Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang meski kini ada pasar baru seperti penjualan kopi menuju Rusia dan Timur Tengah.
“Pasar baru kopi tersebut menyumbang 20 persen omzet kami. Kami jadi butuh tambahan sekitar 10.000 ton kopi setiap tahun. Jumlah itu bisa terus bertambah. Karena itu, terbukanya pasar luar negeri tersebut perlu disikapi dengan mendorong petani menaikkan produksi,” ujar Harianto.
Tiap tahun, kata Harianto, PT Asal Jaya mengekspor 43.000 ton kopi.
Kini, setelah 118 tahun robusta ditanam di Indonesia, tim Jelajah Kopi Nusantara mulai menyusuri jejaknya. Kawasan yang pertama kali dikunjungi adalah Bangelan, laboratorium Robusta peninggalan Belanda. Kebun percobaan Bangelan kini dimiliki PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII.
Kebun ini masih menyimpan plasma nutfah robusta. Pada tahun 1923, Belanda mendirikan pabrik setelah menanam kopi robusta di kawasan tersebut. Pabrik itu berdiri kokoh dengan mesin-mesin lama yang masih bisa beroperasi. Penggeraknya masih kayu bakar.
Dari Bangelan inilah, kopi fine robusta dibuat. Setiap saat, para R grader mengontrol kualitas kopi dengan cupping test. Mereka memastikan kopi yang diproduksi benar-benar lolos standar mereka.
Agus Sumaryanto, Manajer Kebun Belawan, menyebutkan, sampai saat ini pabrik Bangelan masih mengekspor kopi ke sejumlah negara Eropa. Kopi diolah secara klasik, tak memakai pemanas gas. “Selera konsumen masih sama dengan seabad lalu, klasik,” ucap Agus.
Sortasi di pabrik ini bisa dilakukan enam kali, mulai dari perambangan hingga sortasi dalam bentuk biji gabah.
Kebun lama
Di luar area PTPN, kami juga masih mencari jejak perkebunan kopi lama.
Sebagian petani di kawasan Malang Selatan, tepatnya di wilayah Kecamatan Ampelgading dan Tirtoyudo, misalnya, masih mempertahankan sisa tanaman kopi yang telah berumur lebih dari setengah abad. Mereka sengaja tidak menanam varietas baru, antara lain, karena tanaman kopi tua lebih tahan terhadap penyakit.
Di Ampelgading dan Tirtoyudo, tidak semua petani memiliki sisa-sisa tanaman kopi tua yang biasa dikenal dengan sebutan PB 21 atau kopi jawa. Karena itu, kami harus bertanya dari mulut ke mulut kepada petani untuk mengetahui wilayah pohon kopi jawa yang masih tersisa.
“Di sini tidak ada lagi kopi tua. Semua tanaman peremajaan. Kopi tua ada di Desa Sukorejo, Kecamatan Tirtoyudo,” ujar Mulyono (65), petani di Dusun Kalibakar, Desa Tirtoyudo, Kecamatan Tirtoyudo, yang juga Bendahara Kelompok Tani Budi Lestari.
Mulyono mulai menanam kopi robusta pada 1974 di lahan seluas 4.200 meter persegi miliknya. Awalnya ada sekitar 550 batang kopi yang ditanam Mulyono, tetapi kini yang produktif sekitar 450 batang. Sisanya, 100 batang, masih peremajaan. Produktivitas kopi di lahan Mulyono fluktuatif, pernah sebanyak 700 kilogram per hektar per tahun, tetapi pernah juga 1.700 kilogram per tahun.
Meski referensi menyebutkan tanaman kopi robusta pertama di Jawa—setelah Pangalengan, Jawa Barat—adalah dikembangkan oleh Belanda di kawasan Kalibakar (Dampit dan sekitarnya). Namun, sejumlah petani di Kalibakar mengatakan, kopi di wilayah itu tidak ada lagi. Kopi-kopi itu dibabat oleh warga tahun 1990-an saat mereka bermaksud mengambil alih tanah yang dikuasai PTPN XII.
Setelah mendapatkan informasi letak kebun kopi tua, kami masih harus menerobos lebatnya perkebunan. Tidak mudah bagi orang awam untuk menemukan kopi tua di hamparan kebun kopi yang luasnya mencapai puluhan hektar dalam satu wilayah. Bahkan, wilayahnya terdapat di lembah-lembah lereng selatan Gunung Semeru.
Sambil berjalan membungkuk, kami harus mencermati setiap tanaman. Pohon kopi tua umumnya memiliki bagian batang bawah (bonggol) lebih besar dibandingkan pohon kopi yang relatif masih muda. Namun, bonggol besar saja bukan jaminan pohon kopi tersebut merupakan peninggalan masa kolonialis. Ciri utamanya adalah tumbuh hasil pertunasan pada bonggol tersebut (bukan setek) dengan batang baru relatif lebih kecil dari bonggol.
Mudah dirawat
Kebun tua itu akhirnya dijumpai di Desa Sukorejo. Suji Ribawanto (59), salah seorang buruh perawat tanaman kopi di Sukorejo, menuturkan, selama masih produktif, pohon kopi tua itu dibiarkan tumbuh dan berbuah. Tanaman tersebut biasanya diganti dengan tanaman baru setelah tidak lagi berbuah. Jumlahnya bisa mencapai belasan hingga puluhan pohon dalam 1 hektar lahan.
“Produktivitasnya ada yang bisa berbuah banyak, tapi ada juga yang sedikit. Ukuran buahnya biasanya kecil-kecil. Berbeda dengan tanaman kopi saat ini (modern) yang buahnya cenderung agak besar,” katanya. Suji merawat kopi milik enam petani setempat dengan luas lahan sekitar 5 hektar (lebih dari 5.000 batang pohon).
Menurut Suji, pemilik memilih membiarkan kopi tuanya dengan alasan lebih mudah dirawat, umur lebih panjang dari kopi modern, dan memiliki akar yang jauh lebih lebat. Jika tanaman kopi modern butuh pemupukan setahun tiga kali dan penyemprotan, kopi tua tidak membutuhkan semua jenis perawatan itu.
Hal ini dibenarkan Sugeng Priyanto (47) dan Madi (59), keduanya petani kopi di Sukorejo. Menurut mereka, ada kebanggaan tersendiri mempertahankan kopi peninggalan orangtua. Keduanya tidak tahu pasti kapan kopi tersebut tumbuh. Yang pasti, tanaman itu sudah ada jauh sebelum mereka lahir.
Sayangnya, meski tahu itu pohon tua yang memiliki nilai lebih, petani menjual hasil panen dengan cara dicampur dengan biji kopi modern. Selain tidak tahu cara menjual biji kopi ’unik’, petani juga enggan ribet. “Jadi, ya, dijual saja campur dengan yang lain,” ujar Sugeng.
Saat ini harga kopi di daerah setempat mencapai Rp 28.000 per kilogram. (DEFRI WERDIONO/DAHLIA IRAWATI/SIWI YUNITA C)