Dalam narasi budidaya kopi, petani Nusantara seperti dibiarkan berjalan sendiri. Hasil riset jarang terakses terutama di pelosok. Alih-alih menyerah, mereka coba berdikari, menyigi potensi berbasis kearifan lokal. Perkakas dapur jadi peranti riset, kebun jadi laboratorium.

Hari masih pagi saat Hernawan bergegas dari rumah panggungnya di Way Mengaku, Liwa, Lampung Barat, Lampung, medio Februari. Kepalanya terlindung caping, golok kecil terselip di pinggang. Tak lupa tas dan kantong plastik berisi beragam perkakas ditenteng.

“Siap ngantor kita,” ucapnya. Yang dia sebut kantor tak lain kebun kopi robusta seluas 2 hektar berjarak 200 meter dari rumahnya.

Kebun kopinya terhampar rapi. Sinar matahari leluasa menyinari karena tinggi tanaman rata-rata hanya 1,5 meter. Dia rajin memangkas daun dan menyambung pohon agar tetap produktif. Areal kebun bersih dari daun-daun kering. Jarak antarpohon terjaga sekitar 2 meter. ”Ini hasil ngantor setiap hari. Bisa setengah jam per hari atau kerap lebih kalau sudah di kebun,” kata Hernawan.

Kebun itu pula yang menjadi laboratorium penelitiannya. Seperti siang itu, dia mempraktikkan pembuatan alat pengalih minat hama penggerek buah pada biji kopi merah.

Kompas/Raditya Helabumi

Proses penyortiran biji kopi robusta di salah satu perusahaan kopi di Bandar Lampung, Kamis (8/2/2018).

Cara kerja perkakas dari bekas minuman ringan itu ditiru dari alat yang dijual di pasar. Di bagian atas botol diikatkan secuil buah pisang. Di dalam botol ia bubuhkan air detergen sabun cuci.

Hasil pengamatannya, penggerek buah senang bau harum. Jadi, setelah makan buah pisang, hama akan jatuh dan tergenang di air detergen. Alat ini cocok dipasang saat musim pancaroba atau menjelang berbuah saat serangan hama mencapai puncaknya.

Bukan hanya itu, petani kopi generasi ketiga itu juga punya cara jitu mengusir semut. Itu dilakukan dengan membuat rumah semut dari daun-daun kopi kering. Setelah disusun, kemudian dipasang jauh dari dahan kopi yang terhindari sengatan matahari langsung. Tujuannya, mengalihkan perhatian semut bersarang di antara dahan bakal buah.

Hernawan mengatakan, pengetahuannya itu dari hasil riset, pengamatan, dan pengalaman. “Sudah puluhan petani menerapkan metode ini. Saya bagikan gratis. Hasilnya, dari satu pohon bisa dapat sekitar 1 kilogram saat panen,” ucapnya bangga.

Waktu pemangkasan

Riset sederhana tapi ampuh meningkatkan produktivitas kopi juga dilakukan petani di Tugusari, Sumber Jaya, Lampung Barat, dalam beberapa tahun terakhir. Penggeraknya Ahmad Ervan (54), tokoh petani setempat.

Salah satu temuannya soal waktu pemangkasan pohon robusta mengantisipasi perubahan cuaca selama rentang Juli-Agustus-September. Tujuh tahun lalu, dalam tiga bulan ideal panen itu, penghasilan petani kerap seret akibat cuaca tak bersahabat.

“Pemangkasan harus pada bulan ke-10 setiap tahun. Waktu itu dianggap ideal mempersiapkan pohon dan bunga yang baik saat panen nanti,” katanya.

Untuk menemukan sekaligus mengajak petani mempraktikkan, Ervan butuh waktu tujuh tahun pengamatan dengan banyak uji coba. Hasilnya manis. Dari sebelumnya rata-rata panen hanya 600-700 gram per pohon, kini bisa sekitar 1 kg kopi per pohon dari 15-20 ranting saja. Potensinya bisa mencapai 2 kg per pohon panen.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Petani membersihkan lumut yang merambat pohon kopi varietas typika di Dusun Nating, Kecamatan Bungin, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Selasa (16/1/2018). Kopi arabika typika tumbuh, dihibridisasi, dan disempurnakan selama berabad-abad. Kopi ini merupakan sesepuh dari semua varietas kopi.

Bukan hanya alat atau metode. Petani di pelosok yang jauh dari pusat-pusat riset juga berupaya mendapatkan benih unggul untuk mempertahankan budidaya kopi. Seperti Hasmin (48), petani kopi di Dusun Nating, Bungin, Enrekang, Sulawesi Selatan.

Setelah puluhan, bahkan lebih dari 100 tahun, varietas kopi typika yang ditanam paling awal di lereng Gunung Latimojong itu mulai tidak produktif. Namun, Hasmin masih berniat mempertahankan fisik batang varietas typika yang besar dan kokoh.

“Batang typika paling cocok di daerah dengan topografi curam seperti kebun kami di Nating. Tapi, produksinya makin tahun semakin sedikit,” ujarnya.

Meski SD pun tak tamat, Hasmin tak mundur. Berbekal pengetahuan seadanya hasil tanya sana-sini, dia mencoba mempraktikkan teknik sambung pucuk di tanaman kopinya. Varietas arabika typika di bagian pangkal, disambung dengan arabika Lini S-795 bantuan pemerintah daerah.

Hasilnya, produksi tanaman yang awalnya hanya sekitar 500 gram biji beras per batang bisa naik menjadi 800 gram, bahkan 1 kilogram. Namun, diakui Hasmin, percobaannya itu tidak semuanya berhasil, ada pula yang gagal.

Bibit

Di Gayo, Aceh, petani mencoba meriset bibit baru. Kini, sedikitnya 20 varietas baru hasil bibit tak anjuran beredar di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Mulai dari Ateng Super, Ateng Jaluk, hingga Ateng Janda.

Yang paling populer adalah Ateng Super. Dalam 1 hektar, Ateng Super bisa menghasilkan 1,7 ton biji beras kopi per tahun. Itu melampaui rata-rata produktivitas kopi pada umumnya yang masih di bawah 1 ton.

Kompas/Priyombodo

Abdul Gani Silaban selaku Ketua Umum Masyarakat Pemerhati Kopi Arabika Sumatera Lintong memperlihatkan kebun pembibitan kopi untuk peremajaan pohon kopi yang tengah dikembangkan di Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Rabu (13/12/2017).

Di sentra pembibitan kopi Desa Mude Benara, Kecamatan Timbang Gajah, Bener Meriah, yang memasok lebih dari 50 persen kebutuhan kopi Gayo, bibit paling diminati adalah Ateng Super. Bibit itu belum disertifikasi alias belum menjadi bibit anjuran.

Salah satu pembibit, Syahri Rafita, mengatakan tahun lalu memproduksi 300.000 bibit kopi jenis Ateng, tetapi langsung habis terjual. Berbeda sewaktu ia membibitkan 30.000 batang varietas Gayo 1, peminatnya minim. “Kalau Ateng Super, berapa pun saya bibitkan, pasti habis dibeli petani,” ujarnya.

Akan tetapi, riset mandiri bukan tanpa menyisakan soal. Salah satunya soal kemurnian varietas. Sutarjo, penyuluh pertanian di Enrekang, menyebutkan, tanaman kopi hasil sambung pucuk di Dusun Nating sedang diujikan ke Puslitkoka untuk diketahui kemurnian varietasnya. Ini terkait informasi yang disyaratkan pasar kopi spesial (specialty).

Di antara keterbatasan dan desakan kebutuhan, sejumlah petani memaksakan diri berkreasi. Walau sebenarnya sadar, hal itu tak ubahnya seperti berjudi. Mereka tetap mendambakan kehadiran dan perhatian negara secara nyata di kebun kopi. (CHE/VIO/ITA/REN/GRE)