Salah seorang rekan dari Kompas terbaring lemas di lantai rumah seorang peramal kopi. Lima belas menit kemudian, seorang rekan lainnya ikut terkapar. Itulah pengalaman di depan mata saat tim Jelajah Kopi Nusantara menjelajahi Kerinci, Jambi, awal Januari 2018.
Peramal kopi itu—sebut saja Marni—tampak sederhana, tidak berbeda dengan ibu-ibu usia 50-an tahun. Bibirnya dipulas lipstik tipis-tipis dengan rambut berkuncir. Suaranya sedikit berat.
Ketika kami datang, dua ibu muda telah duduk mengantre. Mereka tampak terkejut melihat kedatangan rombongan kami, dan terlihat salah tingkah seperti kurang nyaman. Tampaknya, mereka calon klien dari Marni. Melihat kami, mereka kemudian buru-buru pamit meski berjanji akan datang kembali agak sore.
Rombongan kami berjumlah empat orang, yakni jurnalis Irma Tambunan dan Zulkarnaini, fotografer Iwan Setyawan, dan videografer Danial AK. Kami ditemani Ali Surakhman, pamong budaya asal Kerinci.
Kedatangan kami ke kediaman Marni merupakan bagian dari peliputan Jelajah Kopi. Peliputan itu tidak hanya mengupas kopi dari sisi tanaman dan perdagangannya, tetapi juga terkait budayanya. Kami pun mendapatkan informasi bahwa kultur kopi di Kerinci sangat kuat.
Salah satu wujud kultur itu adalah kehadiran para peramal dengan media seduhan kopi sebagai sarana untuk meramal.
Salah satu wujud kultur itu adalah kehadiran para peramal dengan media seduhan kopi sebagai sarana untuk meramal.
Kemampuan untuk meramal biasanya diturunkan dari generasi ke generasi. Kepiawaian para peramal asal Kerinci ini pun populer setidaknya di wilayah Jambi dan Sumatera Barat.
Karena kedua tamu tadi buru-buru pergi, justru niat kami untuk meliput ramalan kopi pun kandas. Tentu, kami tidak sekadar ingin mendapatkan cerita, tetapi juga foto, bahkan video. Menunggu tamu lain datang, waktunya juga tidak pasti.
Yang terjadi berikutnya justru mengejutkan. Marni meminta salah satu dari kami untuk mendekatinya. Ia ingin meramal kami satu per satu!
Diramal Marni
Tentu saja kami menjadi gugup. Kami tidak hadir sebagai calon klien Marni. Rasa penasaran tentu ada, tetapi rasa gelisah justru lebih kuat saat berhadapan dengan Marni.
Apalagi, tidak ada ruang tertutup sebagai ruang praktiknya. Marni meramal di ruang tamu sehingga apabila dia mengucapkan ramalannya, pasti akan terdengar oleh semua orang. Bagaimana jika isi ramalannya buruk?
Namun, Marni terus merayu kami. Dia meyakinkan bahwa ramalan justru dapat menjadi pengingat di masa depan. Marni pun sukses. Empat orang dari lima anggota rombongan kami mau diramal.
Penerawangan pun dimulai. Marni meminta salah seorang dari kami untuk meminum kopi yang telah diseduh. Tidak banyak, cukup satu atau dua teguk.
Seduhan kopi yang tersisa dalam gelas dipindahkan ke dalam gelas lain. Lalu, gelas berisi ampas sisa seduhan diputar-putar. Karena gerak putar itu, butiran bubuk kopi dari dasar gelas segera menyebar, membentuk guratan di dinding gelas. Pola guratan ampas hitam kopi itulah yang dibaca oleh Marni.
Meramal relasi
Apa yang dibaca Marni dari guratan hitam itu? Dia menerawang masa lalu dan masa kini klien. Dia kemudian membaca peruntungan dan tantangan klien di masa depan. Soal pertemanan, jodoh, keluarga, pekerjaan, kesehatan, hingga nasib klien di masa mendatang juga tidak terlewatkan.
Tentu, ada banyak hal yang kami dengar meski kami bersikap pura-pura tidak mendengar. Terlebih lagi ketika Marni menyebutkan hal-hal mendetail.
Kami pura-pura tidak mendengar. Terlebih ketika Marni menyebutkan hal-hal mendetail.
Ambil contoh, Marni mengatakan, si A dalam waktu dekat akan mengalami kesibukan di rumahnya. Rekan A pun menjawab, ”Memang mau renovasi rumah.”
Namun, ada pula rekan yang ditegur karena menjalin kedekatan dengan orang lain. Kedekatan itu membuat hati orang lain tersakiti. ”Siapa ini orang yang tersakiti hatinya?” tanya Marni. Rekan kami hanya terdiam. Wajahnya kian menunduk.
Sementara itu, kami ikutan menundukkan kepala. Tidak enak mendengar masa depan orang lain diperdengarkan.
Setelah diramal, satu per satu dari anggota rombongan kami terbaring lemas di lantai rumah itu. Entah mengapa, energi kami seperti terkuras. Setelah hampir dua jam terbaring, selepas siang, baru kami pamit.
Berkunjung ke rumah dukun
Malam harinya, kami diajak Ali Surakhman ke rumah seorang dukun pengobatan. Mengapa kami perlu ke sana? Karena, kata Ali, layanan dukun itu menghadirkan hidangan minuman daun kopi atau disebut kawa. Penyajian kawa itu yang perlu kami lihat.
Sekitar pukul 21.00 WIB, kami tiba di rumah dukun Rustam (64). Belasan orang ternyata telah duduk bersila mengikuti prosesi pengobatan. Rustam pun sedang merapal mantra, yang kata orang di sebelahnya sedang meminta petunjuk dari arwah nenek moyang.
Di tengah-tengah para tamu, terdapat sebuah bambu berukir. Sejumput sabut dari pohon enau menyumpal bagian atas bambu. Di sebelah bambu, tersusun wadah-wadah dari batok kelapa. Bambu dan batok-batok kelapa itu menjadi perhatian kami.
Setelah selesai mengobati pasien, Rustam mempersilakan kami dan para tamu mencicipi air kawa hangat. Air segera dituang ke dalam batok. Minuman itu pun langsung kami seruput karena kami penasaran ingin mencicipi rasa air kawa.
Sehari sebelumnya, kami sebenarnya telah mencicipi minuman kawa. Bedanya, air kawa dijerang langsung oleh petani kopi di kebun mereka di dekat Danau Kerinci. Menjerang daun kopi di tengah kebun tentu beda rasanya dibandingkan di rumah seorang dukun.
Di rumah itu, minuman kawa cukup hangat, tetapi terasa sepat. Buat kami, tentu hal itu tak jadi masalah. Diteguk pada malam hari yang dingin, minuman kawa hangat terasa begitu nikmat.
Namun, melihat minuman itu, untuk ukuran kopi, penampakannya tidak tergolong pekat. Warnanya kuning kecoklatan, bahkan cenderung mirip teh.
Dua pengalaman itu tentu makin menegaskan kuatnya posisi tradisi kopi di Kerinci. Kami tidak menduga bawah kopi punya fungsi-fungsi lain daripada sekedar diminum.
Keesokan harinya, kami kembali berkelana menuju rimba Taman Nasional Kerinci Seblat. Perjalanan selama tiga jam ditempuh bersama Emma Fatma, aktivis lingkungan dan pendamping petani kopi.
Perjalanan itu tidak mudah. Kami keluar masuk desa juga melintasi jalan-jalan non aspal untuk dapat menjangkau ke kebun-kebun rakyat. Kami ingin hadir langsung di lapangan untuk mendengarkan kisah-kisah dari para petani kopi.
Menjelang siang, kami tiba di jantung taman nasional itu. Kami diajak Emma bertemu sejumlah petani yang menghutankan lahan-lahan kritis lewat penanaman kopi berkonsep agroforestri.
Pendampingan petani kopi di Kerinci Seblat cukup mengagumkan kami. Baru selepas sore, kami kembali ke sebuah kamp di tengah rimba. Di kamp itu, beberapa orang terlihat memasak air, menanak nasi, dan mengolah lauk. Sebagian lagi bersenda gurau dan mengobrol.
Memperbaiki diri
Entah siapa yang memulai, obrolan tentang ramalan kopi tiba-tiba kembali muncul. Kami pun bercerita tentang pengalaman kami saat diramal. Mendengar cerita kami, Emma pun tersenyum.
Emma lalu mengisahkan pengalamannya. Ibu dari Emma ternyata pernah menjadi peramal kopi saat Emma masih muda. Belakangan, ibunya memutuskan berhenti meramal. Penyebabnya, Emma kecil kerap dirundung penyakit ketika ibunya aktif meramal. Setelah kegiatan meramal dihentikan, anehnya, kesehatan Emma kecil membaik.
Terlepas dari pengalaman di masa kecilnya, Emma mengingatkan bahwa tak selalu isi ramalan kopi benar adanya. ”Hal yang baik boleh disimpan, tetapi yang tidak baik anggap saja menjadi teguran bagi kita untuk segera memperbaiki diri,” katanya.