Kegelisahannya muncul acap kali memandangi bukit-bukit yang gundul. Pegunungan Bukit Barisan di Nagari Aie Dingin, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat, itu berpotensi untuk dikembangkan, tetapi rusak akibat salah urus. Alfadriansyah (32) pun mengajak para pemuda perantau pulang untuk memulihkan nagari lewat kopi.

Pemulihan alam pun menemukan jalannya. Seiring dengan semaraknya kembali budidaya kopi di wilayah itu tiga tahun terakhir, sudah 80.000 tanaman pelindung atau penaung ditanam. Penanaman menyebar di kawasan hutan lindung yang mengelilingi desa mereka. Pohon-pohon penaung menjaga tanaman kopi dari gugur bunga dan buah. Tanaman juga melindungi desa dari ancaman bencana.

Masih lekat dalam ingatan Adi, panggilan akrab Alfadriansyah, bencana banjir dan longsor melanda beberapa tahun silam. Satu warga tewas terbawa arus banjir. Dari situ, ia sadari dahsyatnya dampak dari sebuah kerusakan lingkungan.

Alfadriansyah, pelopor dan Ketua Koperasi Solok Radjo, di Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.

Kehancuran hutan bermula saat dikembangkannya pertanian markisa di Nagari Aie Dingin. Hutan-hutan sepanjang perbukitan nan asri pun gundul dalam waktu singkat. Hamparan itu menjadi sentra budidaya markisa unggulan Sumatera Barat.

Parahnya, pembukaan lahan kerap didahului pembakaran. Bukit-bukit itu semakin lama kian gundul dan kering. “Sedikit saja tersulut api, kebakaran dengan cepat meluas,” kata Adi yang menceritakan, sungai-sungai pun lebih mudah surut pada musim kemarau dan cepat meluap saat musim hujan.

Hancurnya harga markisa belakangan membuat petani meninggalkan lahan. Sebagian besar hamparan hutan nagari yang gundul itu membutuhkan pemulihan.

Turun-temurun

Hutan nagari tak dapat lepas dari kisah kopi dan kehidupan manusia di Solok. Selama empat abad kopi telah ditanam di hutan-hutan nagari. Turun-temurun masyarakat memanfaatkan daun kopi, bukan buah kopi, untuk dijadikan minuman hangat pelepas lelah.

Petani memeriksa tanaman kopi arabika yang ditanam di bekas lahan kritis bekas ladang sayur yang ditinggalkan di Desa Aie Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Sabtu (27/1/2018).

Masyarakat baru mengenal pengolahan buah kopi menjadi seduhan nikmat setelah masuknya penjajah Belanda. Penjajah menerapkan tanam paksa Tanah Minang. Kopi Solok pun mendunia. Hasil panen tak hanya memasok kebutuhan kopi bagi penjajah, malahan sebagian besar dibawa berlayar hingga Amerika Serikat dan Inggris.

Mewabahnya serangan karat daun kopi membuat Belanda mengganti tanaman dengan robusta. Kisah kopi arabika pun cukup lama meredup. Belakangan, komoditas kopi bahkan digantikan pula dengan teh dan hortikultura, atau markisa, termasuk di hamparan Lembah Gumanti.

Arabika sebenarnya sangat cocok tumbuh di sana. Kondisi iklim dan ketinggiannya pada 1.500 hingga 1.800 meter di atas permukaan laut sangat mendukung. Namun, belum terbukanya pasar membuat hasil kopi yang melimpah tak punya nilai jual. “Pedagang di pasar pun enggan membeli kopi,” ujar Adi.

Bukannya membuka akses pasar, budidaya kopi terus digalakkan pemerintah daerah setempat. Bibit dibagi-bagikan agar petani mau menanam kopi. Setelah program selesai, petani ditinggalkan. Akibatnya, ketika tanaman mulai menghasilkan, petani makin kebingungan memasarkan hasil kopinya.

Setelah program selesai, petani ditinggalkan.

Situasi itu berbanding terbalik dengan besarnya gairah dunia akan kopi arabika. Rasa penasaran akhirnya membawa Adi kembali ke nagari tahun 2012. Di kampung halaman, ia dapati kopi arabika tak dikelola. Di pasar, biji kopi ini bercampur aduk dengan robusta. Keunikan cita rasanya pun lenyap.

Adi tak sengaja bertemu dengan Windy Adhapa dan Teuku Firmansyah, para pemuda sarjana perantau yang juga sedang pulang. Mereka berdiskusi dengan petani setempat, Ardi Sunarya dan Bakri Rahman Syah. Dari pertamuan, berlima mereka sepakat ingin serius mengelola kopi.

Alfadriansyah di tengah hamparan biji kopi Solok yang dijemur di Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Januari 2018.

Mereka pun berbagi tugas. Adi mencarikan pasar untuk hasil kopi. Yang lain bertugas mendampingi petani, memuliakan tanaman kopi, merehabilitasi lahan yang rusak, dan membangun usaha hilir kopi. Kerja gotong royong ini mereka namai “Radjo’s Project”. Mereka lalu mendirikan Koperasi Serba Usaha (KSU) Solok Radjo.

Melalui proyek ini, para pemuda mengumpulkan seluruh hasil panen kopi arabika petani, tepatnya di sekitar kaki Gunung Talang, Danau Di Atas dan Danau Di Bawah. Hasil kopi diolah bersama, lalu dijajakan ke kedai-kedai kopi di Kota Padang.

Gayung bersambut, seorang pemilik kedai di Padang membukakan akses pasar baru ke Jakarta. Seorang pengusaha roastery (pengolahan) kopi bersedia membeli kopi Solok dengan harga hampir dua kali lipat di atas pasaran saat itu. Syaratnya, biji beras kopi yang dihasilkan haruslah berkualitas.

Syaratnya, biji beras kopi yang dihasilkan haruslah berkualitas.

Mereka pun belajar mengolah pascapanen yang baik untuk menciptakan hasil kopi bercita rasa menarik. Seduhannya terasa manis, dengan rasa asam lemon, serta terasa fruity dan sedikit spicy. Semakin tinggi tanaman kopinya berada, kian terasa pula kekentalan bodinya.

Meski berhasil mendapatkan pembeli, tak selamanya usaha kopi lancar. Pada tahun kedua, secara sepihak, pengusaha menurunkan harga belinya. Hal itu membuat petani gelisah. “Kami tidak tahu apa sebabnya beliau menurunkan harga,” ujarnya.

Anggota Koperasi Solok Radjo menjemur buah ceri merah kopi arabika di fasilitas pengeringan milik koperasi di Desa Aie Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Sabtu (27/1/2018).

Rasa penasaran membawa Adi bertekad menemui langsung si pengusaha di Jakarta. Di saat lain, ia mencoba mencari akses pasar lain. Hingga hampir sepekan di Jakarta, menumpang di rumah teman sekampung, Adi akhirnya dipertemukan dengan Q grader kondang, Mira Yudhawati. Mira pun tertarik untuk mengetes cita rasa kopi Solok. Setelah cupping, Mira terkesan. Katanya, rasa kopi Solok tak seperti kopi Sumatera pada umumnya.

Sejak itulah, kopi Solok kian dikenal. “Bisa dibilang, bahkan sekarang kopi petani cepat habis terserap. Ini yang terpenting, bahwa petani bisa sejahtera dari kopi,” katanya.

Bersamaan dengan makin tingginya gairah pasar akan kopi Solok, penanaman kopi terus diperluas. Namun, satu-satunya jalan agar pengembangannya bisa sejalan dengan pemulihan alam adalah menanam kopi secara agroforestri. Kopi dan hutan semarak bersama.

Demi memperluas pemulihan hutan yang rusak, mereka pun mengajukan izin kelola hutan adat dan hutan nagari. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyerahkan hak kelola hutan adat seluas 3.200 hektar di sekitar Lembah Gumanti. Pada saat yang sama, pemangku adat setempat memberikan hak kelola hutan nagari. Upaya pemulihan alam akhirnya menemukan jalannya. (ZULKARNAINI/IRMA TAMBUNAN)

 

Lahan kritis bekas ladang sayur yang ditinggalkan di Desa Aie Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Sabtu (27/1/2018). Lahan ini akan ditanami kopi arabika oleh anggota Koperasi Solok Radjo agar kembali produktif dan mencegah bencana.

 

Alfadriansyah
Lahir: 13 Februari 1986
Alamat: Nagari Aie Dingin, Jorong Data, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat

Organisasi:
– Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Solok Radjo
– KSU membangun proyek-proyek serupa di sejumlah nagari lain, seperti Danau di Ateh, Aie Sonsang, Koto Baru, Lembah Rimbo, Limau Cirago
– Solok Radjo juga menjadi pelopor terbentuknya Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Kopi Arabika Minang Solok