Sinar terik matahari menyertai laju mobil minibus yang kami tumpangi. Setelah sekitar 1,5 jam membelah Jalan Trans-Papua dari pusat Kabupaten Nabire, mobil kami berbelok menembus jalan tanah berdebu menuju arah pantai. Kemudian, tampak deretan rumah kayu yang dibangun berjarak satu sama lain dan sebuah sekolah dasar.

Mobil kami pun berhenti. Kami tiba di Kampung Sima, sebuah kampung terpencil di Distrik Yaur, Nabire, Provinsi Papua. Anak-anak berlarian keluar dari gedung sekolah yang berdinding kusam. Ketika melihat kami, mereka melempar senyum hingga terlihat gigi.

Kasus Covid-19 di Indonesia belum mereda saat kami datang ke Kampung Sima, tetapi tidak tampak satu pun warga yang mengenakan masker. Sebagian justru menatap curiga orang yang bermasker sembari menyebut tidak ada Covid-19 di kampung mereka.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Anak bermain di Kampung Sima, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Selasa (27/4/2021). Hutan di kawasan kampung tersebut kini tergantikan oleh perkebunan kelapa sawit.

Kami menjumpai sejumlah warga kampung Sima. Salah satunya, Yohan Ramar (40), yang tengah bermuram durja. Yohan jengkel karena saat ini berburu hewan sulit sekali. “Tiga bulan ini, tidak pernah terkena (binatang) saya punya jerat. Karena hutan sudah tidak ada. Mereka sudah kabur,” keluh Yohan, pada 26 April 2021 silam.

Sama seperti Yohan, mayoritas warga Kampung Sima menyandarkan hidup dengan berburu binatang liar di hutan, seperti babi atau rusa. Mereka biasanya berjalan sekitar satu kilometer dari kampung untuk memasang jerat di hutan. Tradisi tersebut sudah dilakukan turun-temurun oleh masyarakat suku Yerisiam yang mendiami Kampung Sima.

Biasanya, mereka bisa menjerat 8 ekor – 9 ekor babi atau rusa setiap bulan. Namun, semua serba susah sekarang, bisa mendapatkan satu ekor hewan saja sudah sebuah anugerah. Belum lagi, mereka harus berjalan empat kali lebih jauh untuk memasang jerat.

Tragedi ini terjadi setelah hutan adat masyarakat Suku Yerisiam di Kampung Sima lenyap dan berganti wujud menjadi perkebunan kelapa sawit. Hutan seluas 17 ribu hektar itu kini sedang dihabisi dan masyarakat tidak berdaya.

Yohan membawa kami bertemu warga lain yang sedang berkumpul di kursi besar yang bisa diduduki hingga 10 orang, di tengah kampung. Kepala Urusan Pemerintahan Kampung Sima, Yulianus Awujani, sedang bersantai.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Yulianus Awujani sedang berada di Hutan Sagu Manawari, Kampung Sima, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Senin (26/4/2021).

Yulianus bercerita, warga kehilangan sumber penghasilan karena hutan adat direnggut perusahaan kelapa sawit milik PT Nabire Baru. Hutan adat di Distrik Yaur seluas 17.000 hektar sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.

Tidak hanya kehilangan sumber kehidupan, warga juga harus berurusan dengan bencana alam, yaitu banjir. Tanpa hutan, mereka kehilangan benteng alami untuk mencegah banjir. Daerah yang tidak pernah banjir besar sejak tahun 90-an, mengalami banjir parah setiap tahun, mulai 2017. Banjir setinggi satu meter lebih itu tidak surut sampai dua hari.

“Pernah ada banjir sebelum tahun 90-an tapi tidak seperti sesudah hutan dibongkar,” tegas Yulianus bernada kesal.

Saat di perjalanan kembali ke Nabire dari kampung Sima, kami melihat hutan alam seolah berbaris di tepi jalan Trans-Papua. Namun, jika ditengok ke dalam atau dilihat melalui udara melalui drone, tampak hutan tersebut hanya memagari perkebunan kelapa sawit yang ada di baliknya. Hutan disisakan sedikit sehingga kebun kelapa sawit tidak terlihat dari jalan.

Mengajukan gugatan

Cerita warga Kampung Sima membawa kami ke Sekretaris Adat Suku Yerisiam, Robertino Hanebora. Dia salah satu sosok yang mengetahui proses pengambilalihan hutan adat menjadi perkebunan kelapa sawit.

Robertino berkata, awal masuknya perkebunan sawit tidak sesuai prosedur. Perusahaan, semula, hanya bertujuan untuk investasi pengelolaan kayu merbau pada tahun 2008 oleh PT Sariwana Unggul Mandiri. Namun, pada 2011, warga dikejutkan karena areal hutan sudah berubah menjadi perkebunan sawit. Pengambilalihan dilakukan Good Hope melalui anak perusahaan mereka, yakni PT Nabire Baru.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Perkebunan kelapa sawit yang berbatasan dengan hutan, di Kampung Sima, Kabupaten Nabire, Senin (26/4/2021). Hutan adat masyarakat Suku Yerisiam di Kampung Sima kini beralih menjadi perkebunan kelapa sawit.

Perwakilan Masyarakat Suku Adat Yerisiam mengajukan gugatan izin usaha PT Nabire Baru pada akhir 2014 ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Jayapura, Provinsi Papua. Majelis hakim menolak gugatan mereka pada Maret 2015.

Dua tahun berselang, PT Nabire Baru kembali mendekati masyarakat kampung. Mereka berjanji untuk menjalankan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Misalnya menanggung biaya pendidikan anak, penyediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan serta pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat.

Namun, hingga saat ini, program CSR tersebut masih jauh dari rencana awal. Hanya layanan pendidikan yang diberikan oleh pihak perusahaan. Sementara penyediaan sarana infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, dan fasilitas kesehatan, belum terlihat sama sekali.

Robertino juga yang membantu kami supaya dapat bertemu pihak perusahaan. Akhirnya kami berjumpa Manajer Program Tanggung Jawab Sosial (CSR) dan Humas PT Nabire Baru, Joko Rudigdo.

Menurut Joko, perizinan kebun seluas 17.000 hektar sudah sesuai prosedur, termasuk telah melewati persetujuan masyarakat adat. Terkait CSR, dia meyakini perusaan telah berusaha memenuhi aspek pendidikan dan kesehatan warga. “Soal banjir, kami akan membangun bendungan untuk mencegahnya,” kata Joko.

Setelah bertemu Joko, kami diizinkan masuk dan melihat langsung perkebunan kelapa sawit PT Nabire Baru yang dijaga cukup ketat oleh petugas di pos-pos penjagaan.

Berdasarkan data Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Nabire hingga Maret 2021, dari total lahan PT Nabire Baru seluas 17.000 ha, hanya 9.903,2 ha yang dapat digunakan untuk perkebunan sawit.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur, begitulah nasib warga Kampung Sima yang harus hidup dalam kepahitan usai hutan mereka sirna.

(Kelvin Hianusa/Fabio Maria Lopes Costa)